Semesta memiliki kehendak sendiri
Langit menyatakan keinginannya dalam awan
Bumi kini hanya berserah ketika awan dan langit yang bertemu memberikan sesuatu bernama rasa...
***
Aku terperanjat melihat sosok setengah baya yang tidak asing bagi ku. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan. Tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku ingin mendekat namun aku takut. Aku tidak tahu sejak kapan aku merasa takut padanya. Aku berdiri menahan airmata yang kini seolah berlomba untuk membasahi pipi ini.
"Ruby..." Kata pria itu dengan suara serak yang dahulu terasa sangat familiar namun terasa asing saat ini. Aku tak mengingat bagaimana wajahnya namun senyumannya masih ku ingat. Aku merasa gelisah. Di saat yang sama taksi online ku sudah datang. "PAPA-"
Aku mendekatinya perlahan. Entah untuk alasan apa aku tidak ingin mama bertemu dengan pria ini sekarang. Aku harus tenang. Beberapa kali aku berusaha untuk menenangkan diri ku sendiri namun tetap saja tangan ku gemetaran. Tidak... Tidak hanya tangan namun tubuh ku juga gemetar.
"Kita bisa bicara di tempat lain?" Pintanya.
"Ya. Itu lebih baik."
Aku berjalan mendahului papa untuk segera masuk ke taksi online yang sudah ku pesan tadi. Tujuan ku saat ini otomatis berubah. Aku tidak mungkin membawa papa ke rumah. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku katakan pada pria yang adalah papa ku ini.
Dua puluh tahun telah mengubah semuanya. Aku tidak memiliki kenangan apapun kecuali rasa sakit yang menghujam jantung ku dengan hebatnya. Kemudian yang ku ingat adalah suara sirine polisi yang bergaung memecahkan keheningan malam. Ketika itu mama mendekap ku erat. Aku ingat ketika mereka membawa papa pergi. Itu terakhir kalinya aku bertemu papa dan setelah itu Mama membawa ku untuk berpindah-pindah tempat. Aku hanya mengingat senyuman papa karena dia memiliki lesung pipi yang sama seperti ku.
Aku dan papa duduk bersebelahan namun kami hanya menciptakan hening. Aku tidak tahu harus mengatakan apa begitu pula papa yang agak kikuk berada di samping ku. Aku memilih untuk berhenti di sebuah cafe yang memiliki suasana tenang. Meski aku tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan dengan papa paling tidak suasana tenang akan sangat membantu. Entahlah...aku tidak dapat berpikir.
Kami sama-sama diam. Aku tidak pernah menyangka kalau akan bertemu dengan papa lagi. Aku bahkan sudah tidak berharap jika suatu saat akan bertatap muka seperti sekarang ini. Seorang pelayan restoran datang dan memberikan menu untuk kami. Beberapa saat aku hanya memperhatikan gerak pria yang ada di hadapan ku dari pada melihat menu yang jelas-jelas sudah terbuka di hadapan ku.
"Mbak, saya pesan nasi goreng pedesnya sedang sama teh hangat. Kalau Ruby?"
Aku? Aku tidak menyadari jika papa bertanya padaku. Blank.
"Sama mbak."
Pelayan restoran pergi membawa menu setelah memastikan semua pesanan kami benar. Aku tidak tahu bagaimana harus menyapa papa.
"Papa baik?" Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkannya lagi. "Papa, gimana kabarnya?"
Akhirnya kata-kata itu keluar juga. Papa mengangguk kemudian tersenyum pada ku. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan pada papa tapi entah mengapa tidak ada satupun yang terealisasi. Apa aku terlalu gugup?
"Ruby sama Mama gimana? Baik?" Papa seperti mengulang pertanyaan ku tadi. Sepertinya kami berdua sama-sama kehabisan kosa kata. Aku hanya mengangguk.
"Sebenarnya Papa mau apa?" Akhirnya aku bisa menanyakan pertanyaan yang ada di kepala ku sejak bertemu dengannya tadi. "Ngapa Papa tiba-tiba muncul?"
"Papa cuma mau ketemu kamu sama Mama. Apa itu salah?"
"Tapi mengapa harus sekarang?" Terlalu lama bersama Papa aku tak dapat menghindari jika aku terjebak pada masa lalu yang tak mungkin diubah. Mengingat semua kenangan menyakitkan di masa lalu memang menguras hati.
"Seharusnya kamu tanyakan hal itu sama Mama kamu." Papa menatap ku kembali. Tatapannya tajam seolah menahan amarah bertahun-tahun. Aku kurang mengerti sebenarnya ada apa di antara orang tua ku. Mengapa dalam sekejap aku menjadi orang asing bagi mereka atau malah sebaliknya mereka yang menjadi asing bagi ku.
"Mama? Maksudnya?"
"Papa sudah bebas beberapa tahun yang lalu. Papa mencari kalian kemana-mana dan Papa baru saja dapat info kalau Mama kamu sudah menikah lagi."
"Mengapa Papa kayak menyalahkan Mama?" Tanya ku penuh selidik.
"Mama kamu sudah tahu kalau Papa akan bebas tapi kalian malah pindah rumah. Papa tahu mama kamu kecewa tapi itu bukan alasan untuk menghalangi papa ketemu sama kamu."
Aku jadi mengingat peristiwa di mana kami harus pindah dari tempat yang satu ke tempat lain. Aku hanya tahu waktu itu kalau mama tidak ingin papa menemukan kami. Aku tidak heran kalau saat ini aku menemukan papa yang menahan amarahnya pada mama.
"Papa sekarang sudah ketemu sama Ruby."
"Iya. Papa senang lihat Ruby sekarang. Ruby, Apa mau tinggal dengan Papa?" Papa terdiam. Aku juga bingung harus bereaksi bagaimana. "Papa serius soal ini. Kamu tahu kalau sudah lama papa gak bisa ketemu sama kamu. Papa kangen sama Ruby."
Aku tidak tahu mengapa airmata ini menetes begitu saja. Jantung ku seperti tertusuk benda tajam. Aku hanya tahu papa ku adalah seorang narapidana, namun kini ia sudah selesai menjalani masa hukuman. Aku bahkan tidak berani bertanya pada mama maupun papa, atas kesalahan apa papa bisa dihukum selama itu. Delapan belas tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Aku tidak pernah berbicara dengannya dan kini papa di hadapan ku dan meminta ku untuk tinggal bersamanya.
"Papa tahu selama ini Ruby hidup tanpa Papa. Ruby lebih bahagia. Ruby gak kenal siapa Papa dan mengapa Papa harus ada di...", aku menghentikan perkataan ku karena tidak sanggup untuk melanjutkan. Ku coba untuk menarik nafas sekedar untuk menenangkan diri. "Papa gak bisa minta itu dari Ruby. Papa gak bisa egois. Papa apa pernah mikir apa jadinya Mama tanpa papa selama ini bagaimana? Jadi Ruby mohon, Papa jangan mengharapkan Ruby untuk tinggal bersama Papa."
Aku sadar jika suara ku yang keras membuat beberapa orang yang berada di tempat ini melihat ke arah ku. Aku segera menghapus airmata yang berhasil membuat wajah ku lembab sedangkan wajah papa menjadi terlihat tegang.
"Ruby juga gak tahu apa yang Papa alami selama ini juga tidak mudah. Apa Ruby tahu kalau Papa mencari kamu dan Mama selama ini bahkan Mama memilih untuk meninggalkan Papa di saat Papa butuh Mama dan kamu. Jawab Papa, Ruby. Papa harus bagaimana?"
Aku juga tidak dapat menjawab papa karena aku sadar tidak mudah berada di posisi Papa. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan karena sekarang banyak yang ada dalam pikiran ku.
"Papa mengerti mengapa kamu seperti ini. Papa juga tahu apa yang sudah kamu lalui bersama Mama selama ini. Papa minta maaf membiarkan kamu dan Mama menderita."
Aku menangis. Di hadapan ku papa juga menahan airmatanya. Tepukan lembut Papa terasa hangat di bahu ku. Aku ingin memeluk Papa namun entah mengapa aku merasa ada yang mengganjal. Aku menutupi wajah ku yang sembab saat seseorang mengantarkan pesanan ku.
"Ini Mbak pesanannya." Kata pelayan tersebut seraya meletakkan makanan yang di pesan di atas meja.
"Terima kasih." Ucapku.
Kini dua piring nasi goreng dan dua gelas teh hangat ada di hadapan ku. Entah mengapa aku sangat kelaparan dan memutuskan untuk melahap nasi goreng yang ada di hadapan ku. Aku berharap nasi goreng dapat mengobati perut ku yang lapar dan teh dapat meringankan beban di hati ini. Aku menyantap makanan ku dengan cepat supaya aku dapat meninggalkan tempat ini sesegera mungkin.
"Ruby, pelan-pelan." Kata papa cemas. "Ini kartu nama Papa. Kamu bisa menghubungi Papa kapanpun. Sekarang sepertinya Ruby butuh waktu untuk sendiri." Kata papa dengan suara berat.
Papa meninggalkan ku menuju ke kasir kemudian kembali untuk menepuk bahu ku beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar keluar dari tempat ini dan meninggalkan aku di sini. Aku dapat merasakan penyesalan papa, namun aku juga merasa sangat kacau saat ini. Mulut ku penuh dengan nasi goreng sedangkan mata ku sembab. Aku mencoba menenangkan hati supaya airmata ku berhenti mengalir namun rasanya susah sekali.
"Boleh saya di sini?"
"Kamu?" Aku lupa untuk menutup mulut ku yang penuh hanya demi melihat sosok yang kini duduk di tempat papa tadi duduk. Pria ini tersenyum sedangkan penampilan ku saat ini pastinya bak orang yang tak pernah mendapat makanan lebih dari setahun. Oh Tuhan.... cepat-cepat aku menegak teh hangat yang kini hampir dingin.
"Kebetulan saya juga lapar. Lanjut aja makannya."
Ada apa ini? Siapa orang lagi orang tak tahu malu ini?
***