Ruang begitu sepi tanpa kehadiran sang cinta walau banyak yang datang dan pergi sambil menjajakan tubuh atas nama cinta
Anggaplah aku seorang rendah tapi bukankah aku memang manusia yang lebih rendah daripada langit?
***
Untuk beberapa alasan langit begitu tampak indah malam ini. Kadang angin yang berhembus membuat helai rambut ku berantakan namun entah mengapa aku seolah tidak terganggu dengan itu semua. Aku hanya ingin menikmati malam ini dengan hening.
"Ruby…" Winner memanggilku.
Kami berdua hanya menatap kolam dan terkadang menatap langit penuh bintang seolah menjadi selimut hangat bagi semesta.
"Uhm…ada apa?" Aku bertanya.
"Ruby, kamu masih…"
Apa Winner ingin bertanya soal Aldo? Ku tarik nafas panjang dan mencoba tersenyum walau itu terasa tak mudah seolah masih ada sedikit rasa sakit bila aku harus mengingat Aldo. Kadang aku berpikir mengapa hanya mendengar namanya saja membuat lara di hati ini mencuat begitu saja. Apa yang salah dengan nama Aldo? Atau akulah orang yang sebenarnya belum merelakan Aldo untuk terbang bebas dan memilih kehidupannya sendiri?
Aku sadar. Kami memang berada di dunia yang berbeda dan rasanya sangat sulit untuk digabungkan namun entah mengapa saat Winner ada di hadapanku. Aku tak bisa menghindari untuk tidak memikirkan tentang Aldo. Harus ku akui kenangan ku bersama Aldo begitu melekat bersamaan dengan kehadiran sosok Winner di kala itu.
"Ruby, apa kamu masih ingat pas waktu kita sekolah dulu?" Winner bertanya pada ku dengan senyum samar yang masih dapat ku kecap dalam remang.
"Masih." Jawab ku singkat. Untuk sesaat aku menundukkan kepala untuk mengatur ekspresi wajah yang bagaimana yang harus aku munculkan di hadapan Winner. "Aku masih ingat kalau kamu itu sok pintar."
"Aku? Sok pintar?" Winner menatapku dengan wajah tak terima karena aku mengatakannya sok pintar namun sebenarnya itu semua ku katakan hanya supaya aku tak perlu mengingat lgi sepintas kisah tentang Aldo. "Eh…Ruby aku itu bukan sok pintar tapi aku memang pintar kalau tidak kita tidak akan mungkin…" Winner terdiam begitu pula dengan diri ku yang menjadi kelu dalam sekejap mengingat kecupan pertamaku bersama Winner.
"Uhm… Iya…kamu memang pinter banget." Pada akhirnya, aku memilih untuk mengakuinya. Bukan hanya pintar tapi Winner juga terkenal tampan dan ramah. Hanya saja, Winner tak pernah menunjukkan sisi ramahnya pada ku. Tidak sekalipun.
"Kamu kayak kepaksa gitu." Protes Winner, namun entah mengapa itu malah membuat ku tertawa.
Guratan senyum Winner terlihat sangat jelas dalam remang dan itu semua seolah membangkitkan kenangan lama saat kami masih terlalu sangat muda.
"Enggak kok. Aku serius. Kamu itu memang pinter…." Aku diam dan melihat ke arah Winner yang hembusan nafasnya menyeka wajah ku dengan lembut.
"Cuma itu saja? Di mata kamu, aku ini cuma anak pintar?" Winner menatap ku tajam dan membuat ku menjadi salah tingkah, namun entah mengapa aku masih tidak dapat mengalihkan pandangan ku darinya.
"Kamu mau aku bilang apa memangnya?" Aku merasa sedikit gugup saat wajah Winner semakin mendekat. "Winner…" Suaraku tercekat di tenggorokan.
"Kamu ga ingat kalau aku juga ganteng?"
Winner menatap ku dengan senyumnya yang cemerlang. Aku pikir Winner banyak berubah namun setelah berbincang dengannya, aku sadar jika Winner masih tetaplah Winner yang sama.
"Winner… aku rasa kamu terlalu narsis, deh." Kata ku dengan nada ejekan ringan.
"Lho bukannya kamu tahu berapa banyak cewek yang ngejar aku dulu?"
"Emangnya aku peduli?"
"Kamu beneran gak peduli?" Winner kembali bertanya dan membuat ku harus geleng-geleng kepala dengan tingkat kenarsisan yang diidapnya selama ini sama sekali tidak ada perbaikan sedikitpun.
"Emangnya mengapa aku harus peduli?" Aku bertanya balik padanya.
"Kamu benar-benar gak peduli kalau banyak yang suka sama aku dulu?" Tanya Winner lagi dengan nada intimidasi.
Tapi aku benar-benar tidak pernah peduli berapapun banyak cewek yang mengejarnya di jaman dulu karena hati ku tak pernah ada untuknya. Kalau aku bilang seperti itu apa Winner akan tersinggung? Mengapa aku memikirkan perasaan Winner? Winner yang ku kenal dulu adalah Winner muka badak yang tak tahu malu lalu mengapa sekarang aku menjadi 'sedikit' mempertimbangkan perasaannya?
"Kamu tahu kalau aku gak suka sama kamu dulu jadi mengapa aku harus peduli?"
Winner melihat ku sambil menahan tawanya. Aku pikir Winner bukan hanya narsis tapi juga gila. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada di dalam isi kepalanya.
"Ya iyalah…aku tahu yang ada di kepala kamu cuma dia aja." Kata Winner sambil menggelengkan kepalanya seolah aku ini dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Hey! Itu kisah lama! Aku ingin sekali meneriakinya karena Winner dari dulu hingga detik ini masih saja sama. Aku masih belum bisa melihat perubahan signifikan padanya kecuali dari segi penampilannya yang berbeda namun selain itu, Winner masih tetap sama.
"Hadeh… mengapa cerita lama harus diungkit lagi?" Aku sebenarnya ingin berteriak sangat keras namun aku sadar ini adalah rumah Winner jadi aku harus menjaga sopan santun di tempat ini apalagi Winner mengetahui banyak rahasia ku.
"Jadi sampai sekarang kamu masih suka sama dia?" Tanya Winner sambil menatap mata ku dengan tatapan yang sulit untuk ku pahami.
Aku sendiri juga tidak menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana yang ditanyakan Winner. Jawabannya terlalu kompleks dan aku sendiri tidak pernah memikirkan tentang hal ini lagi sebelumnya jadi aku sama sekali tidak menyiapkan hati dan jawaban untuk kehadiran dan pertanyaan Winner.
"Aku udah lama banget gak pernah memikirkan soal dia. Mungkin aku juga sibuk, lagipula itu sudah lama banget." Aku memandang Winner dan berusaha tenang dan mengatur ekspresi wajah dan suaraku supaya masih terlihat seperti biasanya.
"Apa kamu yakin?" Tanya Winner lagi seolah dia tak percaya dengan jawaban yang ku berikan kepadanya.
"Yakin yang bagaimana?" Aku bertanya balik padanya karena jujur saja, aku tidak tahu bagaimana perasaanku. Harusnya aku sudah punya perasaan apapun terhadap Aldo namun itu bisa saja karena selama ini aku tidak pernah bertemu lagi dengan Aldo hingga aku mengira aku sudah tidak memiliki perasaan pada Aldo.
"Gini…" Winner menyilangkan tangannya di dada seraya menatapku lekat seolah ia sedang membangun atmosfir serius di antara kami berdua. "Seandainya Aldo ada di depan kamu saat ini, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?"
"Tapi kenyataannya Aldo gak ada di depanku." Kataku.
Winner berjalan mendekat selangkah dan menatapku lagi.
"Bagaimana seandainya dia ada di depan kamu? Apa yang mau kamu lakukan?" Aku tidak mengerti mengapa Winner memberikan ku pertanyaan yang sama. Apa Winner ingin mengorek luka lama yang ku miliki? Kalaupun iya, mengapa Winner harus melakukannya?