Jawaban apa yang harus ku berikan pada sang masa lalu yang hendak menautkan dirinya pada ku?
Apa aku harus mengusirnya jauh-jauh supaya dia berharap lagi dan terluka?
Atau aku yang harus menjatuhkan diri pada godaannya yang dahsyat walau suatu saat nanti…
Aku yang harus siap untuk terluka…
***
Aku melihat Aldo yang masih menunggu jawaban dari ku namun mala mini aku memang belum siap untuk menghadapi Aldo. Mungkin Aldo yang melupakan kisah kami, itu jauh lebih baik dari pada jika Aldo harus mengingat segala rasa sakit dan luka.
Aku rasa tamparan dari orang tua Aldo di rumah sakit dan waktu-waktu kesakitan yang aku alami sejak Aldo pergi dari ku merupakan utang yang sudah lunas ku bayar jadi untuk apa segala luka dan hal yang menyakitkan harus diingat-ingat lagi?
"Aldo, aku rasa kamu lebih baik minta nomor ke cewek lain. Aku mau pulang dulu." Kata ku dengan tenang.
Aku berjalan meninggalkan tempat itu disusul Winner. Rasanya ingin segera tidur untuk melupakan semuanya. Aku sangat lelah.
Winner membawa ku untuk bertemu orang tuanya terlebih dahulu. Aku hanya ingin berpamitan singkat. Tak bisa ku pungkiri jika orang tua Winner terlihat sangat bersemangat untuk mendekatkan aku dengan Winner dan aku tidak mengerti apa orang tua Winner sudah tahu masa lalu ku? Tapi aku sedang malas memikirkan apapun saat ini.
Winner membukakan pintu mobil untuk ku. Aku masuk setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Aku segera bersandar pada jok mobil.
"Ruby, aku gak sempat memberi tahu kamu soal Aldo."
Aku memandang Winner yang terlihat tenang. Aku sendiri tidak akan menyalahkannya karena memang Winner tidak harus mengatakan apapun tentang Aldo pada ku.
"Aku mengerti." Jawab ku singkat.
Winner mendekat. Aku merasa aneh dengan kedekatan ini. Nafasnya menyentuh kulit ku. Beberapa saat aku membeku karena bingung dengan sikap Winner hingga ia berhasil memasangkan seatbelt untuk ku. Aku bahkan tidak sadar hingga bunyi klik menandakan bahwa seatbelt telah terpasang.
"Lebih baik kita pulang sekarang. Bisa-bisa aku diomelin mama kamu."
"Jangan mikirin yang aneh-aneh. Kamu gak bakalan diomelin sama mama."
"Baguslah kalau begitu."
Winner tersenyum kemudian mengemudikan mobilnya menuju ke rumah ku. Aku perlu memberitahu arah karena Winner tidak pernah ke rumah ku sebelumnya sehingga rencana ku untuk tidur di mobil gagal.
Saat kami sampai rumah terlihat sepi, aku tahu kalau mama belum sampai rumah. Biasanya mama akan pergi makan di luar terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah.
"Nah sudah sampai." Katanya.
"Terima kasih." Kata ku sambil melepaskan seatbelt yang terpasang.
"Ruby..."
"Ya."
"Kamu cantik malam ini."
Eh? Aku merasa aneh dengan pujian dari Winner karena dulu aku dan Winner lebih sering bertengkar jadi pujian darinya membuatku tertawa.
"Thank you tapi aneh rasanya kamu muji aku."
"Ngapa memangnya? Aku ngomong apa adanya."
Aku terdiam saat ku lihat wajahnya menunjukkan keseriusan dalam kata-kata yang diucapkan.
"Rasanya aneh karena kita dulu sering bertengkar."
"Kalau kamu mau, aku juga bisa membuat mu menderita lagi." Winner tertawa renyah. "Kamu itu maunya apa sih? Aku serius malah kamu ketawa."
Bukankah perempuan selalu seperti itu? Kadang sulit mengungkap apa yang dirasakan kemudian berharap orang lain memiliki sensitifitas tinggi untuk mengerti apa yang diinginkannya.
"Kalau gitu. Aku masuk dulu, ya."
"Ruby..."
Tangan Winner memegang lengan ku. Seolah menahan ku untuk tetap bertahan di sana lebih lama. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini namun ia terlihat sedikit tegang.
"Ya."
"Ruby, apa kamu masih suka sama Aldo?"
Pertanyaan Winner membuat ku terkejut sekaligus bingung. Delapan tahun bukan waktu yang singkat dan aku tidak pernah bertemu lagi dengannya selama ini. Aku tidak dapat memastikan bagaimana perasaan yang ku miliki kepadanya. Yang jelas semua tidak akan pernah bisa sama seperti dulu. Aku juga sudah berjanji untuk tidak bertemu dengan Aldo lagi. Apalagi kelihatan Aldo lebih menikmati hidup setelah sembuh. Bukankah ini jauh lebih baik? Untuk apa perasaan yang sudah hampir mati harus dibangkitkan kembali?
"Winner... buat aku, Aldo yang sekarang terlihat jauh lebih bahagia. Dia terlihat lebih baik. Mengapa aku harus membuatnya ingat hal yang ada di masa lalu ? Mungkin akan lebih baik seperti ini." Kata ku tenang walau ada yang mengganjal di hati. "Aldo tidak perlu mengingat aku. Biar saja seperti ini."
"Kamu yakin?" Tanya Winner.
"Ya."
"Sepertinya mantan mu ngikutin kita." Kata Winner dengan senyumnya yang khas.
"Mantan ku? Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Aldo."
Eh? Seingatku aku dan Aldo tidak pernah pacaran dan bagaimana mungkin Aldo menjadi mantan pacar? Mana bisa aku pacaran jika orang tua Aldo bersikap seperti itu padaku?
"Aku bukan mantan pacarnya." Kata ku tegas. Aku tidak ingin terlibat urusan apapun dengan Aldo.
"Mobilnya di belakang. Mungkin dia penasaran sama kamu. Kamu mau gimana sekarang?" Tanya Winner. Aku juga heran mengapa Aldo harus ngikutin aku sampai rumah. "Aldo sepertinya suka sama kamu. Aku gak nyangka kalau Aldo bisa suka sama kamu lagi walau dia udah gak ingat kamu lagi."
"Winner, jangan bercanda."
"Lho siapa yang bercanda?" Aku serius ini. Aku lihat cara Aldo menatap kamu berbeda dari cara dia menatap cewek-ceweknya yang lain.
Wait? Apa maksud cewek-ceweknya yang lain?
"Winner, aku mau tanya."
"Uhm tanya saja."
"Jadi selama ini Aldo punya banyak pacar?" Tanya ku penasaran,
"Bukan cuma Aldo, aku juga." Kata Winner dengan bangga.
"Aku gak peduli kamu punya pacar berapa." Jawab ku ketus.
Ya Tuhan! Jujur saja aku merasa cemas. Aku tidak ingin berurusan dengan Aldo maupun orang tuanya bukan karena takut tapi aku tidak akan membiarkan orang tuanya menyakiti aku lagi.
"Aku rasa Aldo gak akan berani datang ke sini." Kata ku tenang.
"Oh ya?!"
Suara Aldo mengagetkan aku apalagi Winner membuka kaca pintu sebelah ku. Aldo menunduk mendekatkan wajahnya pada ku dengan santai. Saat ini aku menghadapi Aldo yang berbeda.
"Ruby, aku baru tahu kalau ini rumah kamu." Kata Aldo dengan penuh kemenangan
"Ngapain kamu ke sini?"
"Kamu lupa. Tadi aku minta nomor hp kamu. Aku penasaran sama kamu makanya aku ikut antarin kamu pulang ke rumah. Sekedar memastikan keamanan kamu aja." Jawab Aldo santai.
Aku menatap Winner yang tertawa melihat ekspresi ku. Sepertinya Winner memang tiak pernah membiarkan aku senang walau cuma sebentar.
"Lagian kamu bilang kalau kamu bukan pacar Winner so kalau aku suka kamu, aku ga salah dong?"
Sejak kapan Aldo menjadi sosok pria yang berani menggoda seperti ini. Dulu Aldo Prasetya adalah sosok pemalu dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan perempuan. Tampaknya waktu telah mengubah Aldo menjadi seorang pria yang dikagumi banyak wanita selama ini.
"Winner, kamu suka sama Ruby?" Tanya Aldo pada Winner sekali lagi.
"Aku ga suka sama dia, yang ada aku yang selalu buat dia menderita." Winner tertawa keras seolah itu adalah candaan yang lucu. Apa aku yang terlalu serius? Entahlah. Aku cuma mau tidur sekarang.
"Kamu dengar sendiri. Kalau aku suka sama kamu. Aku rasa gak ada yang salah dengan itu. Aku single. Kamu juga ga pacaran sama Winner, iya'kan?"
"Aku memang gak pacaran sama Winner tapi kamu lupa kalau kamu udah punya cewek?"
"Dia bukan pacar ku. Diana cuma temenan sama aku. Kami cuma senang-senang saja. Lagipula aku berencana untuk serius kalau sama kamu."
Waw! Ternyata sosok Aldo kali ini benar-benar membuat lidah ku terasa kelu. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa padanya.
"Aldo, aku cukup capek hari ini. Aku pulang dulu, ya"
Aku segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah. Kepala ku pusing dengan kedatangan tiga pria sekaligus dalam satu hari. Pria-pria yang berhasil membuat kepala ku berkendut. Help me God...