Ribuan bahkan jutaan kata yang pernah ku dengar tentang cinta
Bagai lukisan sang Asmara yang memberi jiwa pada raga
gelap juga ikut memeriahkan lukisan agung yang dimiliki semesta laksana penyempurna nafas dalam hidup
***
Satu kata yang bisa ku gambarkan tentang Winner Alexander adalah gelap. Aku merasa Winner selalu membawa atmosfer yang tidak menyenangkan. Wajahnya yang selalu memberikan ekspresi dingin. Tutur katanya yang pedas melebihi pedasnya cabai merah yang harganya pasti melonjak naik di musim penghujan. Orang yang selalu membuat darah ku mendidih dalam perdebatan sengit dengannya. Mengapa selalu Winner? Mengapa harus selalu dia?
Tidak tahu sejak kapan perdebatan ku dengan Winner dimulai. Padahal dulu aku sangat mengaguminya. Winner adalah salah satu anak pintar di kelas. Tentang isi kepala Winner, tidak ada satupun yang berani meragukannya. Bisa dikatakan dia adalah sosok yang hampir sempurna. Winner memiliki banyak kelebihan lain yang membuatnya menjadi idola gadis-gadis dan para guru. Winner dianugrahi wajah yang nyaris sempurna jika tidak ada kacamata yang menutupi keindahan sinar yang dipancarkan oleh sepasang bola mata cokelat yang amat jarang dimiliki orang lain. Ketika aku mencoba mengingat mengapa aku membencinya, ku dapati tak ada jawaban yang pasti, mungkin saja jauh di dasar lubuk hatiku, aku iri padanya. Iri melihat kehidupannya yang sempurna. Kesal saat kata-katanya bak anak panah melesat menghujam jantung dan selalu berhasil melukai hatiku. Ku pikir harga diriku terluka saat anak setan itu mengatakan sesuatu yang menyiratkan ejekan karena Winner pernah melihat ku bekerja di cafe milik sepupunya.
Cuaca sepertinya tak ingin bersahabat dengan ku. Sejak kemarin malam yang ku dengar hanyalah suara air hujan yang menyerahkan dirinya pada tanah tanpa ragu. Aroma ciri khas hujan menemani sang malam. Begitu pula pagi ini hujan masih jatuh ke bumi meninggalkan jejak dan bau tanah yang menelusup melalui hidung.
Tidak ada pilihan lain bagi ku selain tetap pergi ke sekolah apalagi ini sudah persiapan ujian akhir... salah satu babak penentuan dalam hidup. Kenyataannya hidup sudah sulit jadi aku harus berjuang untuk memperbaiki nasib dengan kesempatan yang diberikan oleh sang Ilahi.
Dengan segala perjuangan akhirnya aku masih terlambat ke sekolah dan aku harus berpuas diri karena tidak diusir keluar oleh Bu Yani mengingat kegemaran guru Fisika ini hobi mengeluarkan anak yang melanggar aturan. Kali ini Bu Yani cukup tenang saat melihat ku yang basah kuyup bagai bebek kecebur kali dan menyuruh ku masuk. Aku rasa Bu Yani masih memiliki sedikit rasa kasihan padaku hingga tak tega membiarkan aku untuk belajar di luar.
Entah mengapa mataku otomatis tertuju pada Winner. Cowok itu duduk tenang di kursinya namun aku dapat mengetahui tatapan liciknya yang khas seolah sedang memikirkan sesuatu yang jahat. Aku sungguh melihat betapa liciknya Winner tapi mengapa tidak ada orang yang menyadari hal itu? Apa mereka terpedaya dengan penampilan dan ketampanan seorang Winner? Aku melewatinya menuju ke tempat duduk ku yang ada di dua baris dari belakang.
Suara protes dan kekesalan anak-anak yang lain membuat telinga ku terganggu. Aku mengerti mengapa mereka seperti itu karena air yang melekat di tubuh ku telah membuat lantai kelas becek dan menimbulkan kesan kotor karena sepatu ku yang menginjak tanah basah. Aku bukannya tidak berusaha agar tidak basah hanya saja payung sederhana yang ku miliki tak mampu bersaing dengan hujan yang bercampur angin di pagi ini. Aku saja sudah cukup bersyukur payung ku masih ada digenggaman ku mengingat betapa keras usaha angin untuk menerbangkan payung merah jambu yang selama ini telah menjadi harapan ku di saat musim penghujan.
"Ruby."
Aldo memanggil dengan suara khasnya yang membuat ku langsung melihat ke belakang hanya untuk sekedar melihat wajahnya yang manis.
"Ini dipake dulu dari pada kamu sakit." Aldo menyodorkan sebuah handuk putih kecil miliknya. Aku sering melihat Aldo dengan handuk itu saat ia bermain basket.
" Wah...terima kasih ya." Aku langsung menyambar handuk itu tanpa rasa malu atau ragu mungkin karena aku sudah tak ada waktu lagi untuk memikirkan soal malu.
Aku langsung mengeringkan rambut serta mengelap badan ku yang basah. Angin masih bertiup kencang dan membuat ku harus menahan rasa dingin dan rasa kebelet pipis selama pelajaran berlangsung. Aku harus menahannya karena walau Bu Yani mengijinkan aku masuk kelas namun ia sudah terlanjur sentimen karena keterlambatan ku tadi. Ini sungguh menyiksa. Percayalah pada ku.
Untungnya bel istirahat berbunyi di saat aku benar-benar sudah tidak kuat menahan siksaan dari kantong urine. Aku segera berlari secepat yang aku bisa. Tapi sepatu ku yang licin ini menyandung sesuatu yang membuat ku terjerembab ke lantai dan dalam sekejap aku sudah jadi pusat perhatian. Sumpah aku benar-benar malu. Aku menundukan kepala sebagai tameng. Senyuman licik yang mengembang dari bibir Winner membuat ku terpaku. Winner terlihat puas dan membalas ku dengan tatapan merendahkan.
Panggilan alam membuat kaki ku melangkah lebih cepat. Berharap masih ada waktu untuk menyelamatkan wajah ku dari rasa malu walaupun aku tahu kalau itu mustahil.
Untung saja Dewi Fortuna masih berpihak padaku. Sebuah ruang toilet masih kosong. Aku segera melepaskan hasrat dari alam kemudian keluar tanpa beban karena semua beban dan kotoran sudah berhasil di buang ke jamban tapi siapa yang akan menolong ku dari rasa malu terjerembab di kelas tadi? Oh Tuhan tolong aku dan kabar itu sepertinya lebih cepat menyebar secepat kecepatan angin. Aku keluar toilet dan menemukan Aldo. Rasanya aku mau kabur namun tatapan Aldo telah mengunci langkahku. Aldo mendekatiku dengan tatapannya yang membuatku salah tingkah.
"Ruby, kamu nggak apa-apa?" Suara Aldo yang lembut menghantarkan rasa nyaman. Aku tidak tahu mengapa suara itu begitu menenangkan dan menyenangkan saat mengetahui bahwa Aldo mencemaskan aku.
"Nggak apa kok." Kataku sambil menahan malu di hadapan Aldo.
"Aku tadi mau nyamperin kamu eh malah kamunya yang ngacir duluan."
"Maklum Pak, panggilan alam."
" Eh, nanti mau pulang bareng nggak?" Tanya Aldo penuh semangat.
Jujur saja, aku ingin sekali mengiyakan ajakan Aldo namun aku tahu ajakan itu akan menjadi rumit karena aku tak ingin Aldo berdebat dengan mamanya karena mengantarkan aku pulang.
Sebenarnya aku dan Aldo bertetangga. Rumah kami bersebrangan. Hanya saja orang tuanya tidak terlalu suka kalau aku dekat dengan Aldo. Aku berusaha untuk mengerti karena Aldo dan aku sebenarnya datang dari dunia yang berbeda. Aku harus berjuang untuk membayar uang sekolahku sedangkan Aldo adalah seorang anak tunggal yang segala keperluannya selalu terpenuhi bahkan bisa dikatakan Aldo tidak pernah merasakan hidup kekurangan. Untuk itu aku tahu kalau antara aku dan Aldo harusnya ada pembatas biarlah dunia kami tetap terpisah, aku dengan duniaku dan Aldo tetap di dunianya membiarkan dia mendapat yang lebih baik daripada aku yang masih bergelut dengan kesusahan hidup.
"Aku pulang sendiri aja." Jawabku "Aku harus menyelesaikan sesuatu dengan Winner sebelum pulang sekolah."
Aku dapat ilham itu begitu saja tepat di saat Winner berjalan mendekati kami dengan gayanya yang arrogant dan membuat darah ini kembali mendidih karena mengingat pagi tadi.
" Aku dengar kamu nyebut nama ku. Ada apa?" Tanya Winner dengan nada acuh tak acuh.
" Aku tahu kalau kamu yang sengaja buat aku jatuh." Aku berusaha mengontrol amarah yang bergejolak di dalam diriku namun Winner terlihat sangat tenang.
" Terserah kamu mau mikir apa, yang jelas sekarang aku ada urusan yang lebih penting."
Winner berjalan santai meninggalkan aku yang dengan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun. Aku heran mengapa aku bisa kenal orang yang seperti ini. Jangan pikir kalau aku tak tahu betapa liciknya Winner. Aku tahu hal yang orang lain tak tahu mengenai Winner.
***