Butuh ribuan hari untuk mengingat pemilik hati
Akankah hancur dalam detik kecepatan cahaya
Mampukah kecupan palsu sang musuh menghapus ribuan hari penuh rasa dan kenangan akan cinta pertama?
***
Pagi ini aku bangun seorang diri. Aku menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul enam pagi. Aku tahu kalau aku masih memiliki banyak waktu untuk menyiapkan keperluan ku. Ku memasukan sedikit pakaian dan peralatan mandi. Tidak lupa membawa jaket.
Aku sudah siap berangkat namun mata ini tertuju pada sosok Aldo yang sedang mencuci mobilnya di luar. Nanti aku juga akan bertemu dengannya di villa Winner. Tatapan kami bertemu. Terkunci. Sesaat menikmati keindahan wajah Aldo. Tahukah dia kalau aku merindukannya setengah mati? Meskipun saat ini Aldo ada dalam jangkauanku, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku bahkan tak mampu untuk merengkuhnya. Ini semua hanya mimpi di siang bolong
"Kamu mau ke mana?" Tanya Aldo dingin.
"Ke cafe.",Jawab ku kikuk. "Uhm, aku duluan, ya. Ketemu lagi nanti di sana."
"Di mana?" Tanya Aldo penasaran. Aku tak mengerti mengapa ekspresi Aldo seperti tak tahu jika ada pesta perpisahan di villa Winner malam ini.
"Ruby, kamu masih di sini?" Mama Aldo membuat ku sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tak terduga. Ia memandang ku dengan tatapan jengkel padahal aku tidak sengaja bertemu Aldo di depan rumah.
"Ruby pergi dulu Tante." Kata ku sambil berlalu, meninggalkan Aldo dan mamanya yang terlihat dengan wajah masam. Aku sempat mendengar omelannya mengenai diriku yang menurutnya sengaja mendekati Aldo hanya untuk meningkatkan status sosial. Langkah ini ku percepat hingga ku temukan ojek di depan gang. Aku ternyata beruntung karena langsung menemukan ojek. Biasanya aku harus menunggu sekitar sepuluh hingga lima belas menit sebelum menemukan ojek.
Aku adalah orang pertama yang tiba di cafe karena harus membuka pintu. Tidak lama kemudian datang Pak Ivan dan Winner yang tiba bersamaan kemudian disusul anak-anak yang lain. Pagi ini mendung sudah mulai terlihat. Aku sendiri tidak yakin jika hari ini hujan apa pesta perpisahan di villa Winner masih akan diadakan. Setelah semua urusan selesai aku memberikan kunci pada Pak Ivan kemudian pergi bersama Winner.
Winner terlihat sangat tenang. Baru kali ini aku pergi bersama Winner hanya aku dan dia. Winner mengemudikan mobilnya dengan sangat santai dan terkesan hati-hati.
"Baru dapat SIM, ya." Aku tidak tahu mengapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut ku. Aku juga tak merasa heran saat wajahnya berkerut menatap tajam ke arah ku.
"Kamu gak usah protes, yang penting kita selamat. Hari ini kamu kerja sama aku. Tugas kamu pas kita sampe di villa nanti, banyak."
"Aku tahu. Kamu dah bayar aku untuk kerja."
"Kalau gitu dilarang protes sama bos." Katanya dengan nada sombong.
Aku memilih untuk diam. Aku tak melihat ada tanda-tanda Winner untuk mempercepat laju kendaraan jadi aku harus bergulat dengan rasa bosan sedangkan Winner terlihat sangat serius menyetir mobil. Ku pasang headset untuk mendengarkan musik dari handphone ku selama di perjalanan dan membiarkan alunan lagu memanjakan telinga ini.
Jalanan didominasi truk dan mobil. Tak ketinggalan mendung yang menaungi dengan setia. Aku tidak tahu berapa lama lagi perjalanan ini akan berakhir jika Winner menyetir mobil dengan terlalu sangat hati-hati ditambah dengan kemacetan jalan. Baterei handphone ku sudah sekarat namun tidak ada tanda-tanda kalau kami akan tiba di tujuan. Ya Tuhan...tolong!!!
Hampir enam jam aku menghabiskan waktu bersama Winner di mobil hingga akhirnya kami tiba di villanya sekitar jam empat sore. Angin dingin bertiup kencang saat menginjak kaki di sana. Sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu dikelilingi pepohonan pinus. Agak terisolasi namun tak mengurangi keindahan tempat ini. Ku nikmati udaranya yang sejuk. Karya sang pencipta nan maha sempurna.
"Jangan cuma bengong." Omelan Winner membuat ku sadar jika masih ada manusia lain selain diriku. " Ruby, kamu sekalian bawain barang-barang ku ke kamar."
Apa? Bukannya aku bekerja saat pesta perpisahan mengapa aku harus membawakan barang-barangnya juga? Ingin rasanya protes tapi mengingat uang bayarannya, aku memilih untuk membawakan tas-tas Winner yang ada di bagasi belakang. Aku agak terkejut karena barang yang dibawanya jauh lebih banyak dari pada barang kepunyaan ku.
"Kamar ku ada di lantai dua."
Yang benar saja?! Sekali lagi aku ku tahan diriku agar tak meledak. Tubuh ini terasa sangat lelah dan sekarang kami sudah tiba di tempat ini rasanya sayang jika aku kembali dengan sia-sia. Akhirnya aku melakukan seperti yang diinginkannya dan aku harus bolak-balik untuk memindahkan barang-barang Winner ke kamarnya.
Jujur saja saat pertama kali memasuki kamarnya aku tak dapat menyembunyikan rasa kagum. Dinding didominasi kayu dan batu yang menambah suasana asri. Tempat tidur yang terlihat sangat nyaman membuat ku merasa mengantuk. Dari balkon luar bisa melihat pegunungan yang tampak biru karena pembiasan cahaya. Antara balkon dan kamar dibatasi pintu geser kaca berbingkai kayu dihiasi gorden putih transparan yang melambai tertiup angin sepoi-sepoi. Di kamar itu terdapat sofa hitam serta karpet bulu berwarna cream yang tampil serasi dengan lantai parkit. Ada rak yang berisi buku dan hiasan keramik. Di sana juga terdapat meja kerja di samping rak yang tertata rapi dan dilengkapi keindahan bunga mawar merah yang tertata sempurna di vas kaca.
"Ruby, kamu ngapain di sini?" Suara Winner mengagetkan ku yang tengah asyik mengagumi keindahan kamarnya.
"Ya.. naruh barang kamu." Kata ku sambil menunjuk barang-barang yang berhasil aku angkut ke kamar ini.
"Kamu bisa naruh barangnya di luar,kan?"
"Pintu kamarnya terbuka jadi aku pikir kamu yang nyuruh aku masukin barang-barang kamu ke kamar."
"Pintu kamarnya terbuka?" Winner memandang ku dengan penasaran. "Tapi kamar ini gak pernah dibuka." Katanya penuh curiga.
"Kalau itu aku gak tahu. Ada bunga juga di sana jadi mungkin yang biasa bersihin yang buka kamarnya. Kamu jangan buat aku takut." Aku mulai begidik saat memikirkan jika ini adalah villa angker seperti yang ada di film-film.
"Kayalan kamu itu tingkat dewa. Aku lupa bilang kalau ini kamar kamu selama di sini. Kamar ku ada di sebelahnya setiap hari ada yang ngebersihin villa. Aku lupa bilang sama kamu." Winner tersenyum puas saat melihat ku.
"Aku gak mau di sini. Jadi horror gara-gara kamu bilang gitu." Aku protes terang-terangan. "Barang-barang kamu udah ku angkut ke sini jadi kamu yang di sini." Winner tertawa keras.
"Ngapain kamu ketawa?"
Winner membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya untuk bisa berbicara dengan ku.
"Aku yang memang minta tolong ama Pak Seno bersihin kamar ini khusus buat kamu. Sungguhan aku gak nyangka kalau kamu bakal ketakutan kayak gini. Aku senang."
"Senang?" Aku menahan kejengkelan ku lagi. "Sepertinya kamu senang kalau aku menderita. " sindir ku.
"Aku memang senang kalau kamu menderita." Winner mengintimidasi ku dengan tatapan tajamnya. "Kamu sekarang pindahkan barang-barang ku ke kamar sebelah." Aku balas menatapnya jengkel. "Nunggu apa lagi? Mana ada orang kerja tapi protes kayak kamu."
"Iya. Pak Bos."
Dengan berat hati aku memindahkan barang-barang Winner dari kamar ini ke kamar sebelah sedang Winner mengikuti dari belakang dan membukakan pintu kamar yang di sebelah.
Kamar ini sama besar namun beda tata ruangnya. Kamar ini lebih moderen dengan adanya televisi dan kulkas. Balkon di kamar Winner terhubung dengan balkon kamar ku. Di kamarnya aku melihat sinar mentari yang meredup perlahan ditelan kegelapan.
"Kapan anak-anak mau datang?" Tanya ku setelah menurunkan barang Winner di sana.
"Agak maleman itupun kalau jadi. Kamu gak lihat ini udah mendung? Tinggal nunggu hujan aja."
"Masa kita cuma berdua?!"
Aku panas dingin memikirkan kemungkinan yang bisa terjadi.
"Kamu jangan bilang sapa-sapa kalau gitu. Aku gak mau nyetir kalau hujan. Aku masih sayang nyawa dan mobil ku. Kalau kamu mau pulang sendiri ya silahkan. Itu kemungkinan terburuk kalau gak ada yang datang."
"Ngapain gak kamu pastiin dulu." Aku kembali protes.
"Hadeh...mereka datang atau enggak. Satu hal yang pasti kamu tetap harus membersihkan villa ini. Jangan lupa masak nanti."
"Kamu gak pesan ketring?"
"Ngapain aku bayar kamu kalau aku masih harus pesan ketring?"
"Kamu mau aku -"
"Bersih-bersih, masak, trus kalau jadi kamu juga bantu-bantu melayani teman-teman."
Apa yang dikatakan Winner memang benar. Aku tetap harus bekerja sesuai kesepakatan. Handphone Winner berbunyi nyaring.
"Halo...ya.. ya udah kalau gitu. Ga apa-apa. Yup..." Winner memutus sambungannya. " Mereka gak jadi datang."
"Alasannya malas." Winner terlihat kesal. " Kamu jangan lupa masak. Semua bahannya ada di kulkas dekat dapur. Aku mau istirahat."
"Iya."
Aku segera keluar dari kamar dan langsung mengerjakan pekerjaan bersih-bersih di sana. Aku bisa mengerti mengapa anak-anak lain tidak datang. Perjalanan ke villa sudah menguras waktu dan emosi saat macet. Aku tidak tahu setelah ini harus gimana apalagi hujan mulai turun disertai guntur. Kami terjebak di sini.
Aku memilih bahan-bahan dari kulkas untukku masak. Tidak memerlukan waktu yang banyak untuk menumis kangkung dan memasak nasi serta menggoreng ayam. Suara halilintar yang menggelegar membuat ku ngeri juga. Makanan sudah ku letakkan di meja makan tepat saat Winner turun ke bawah.
"Gak sia-sia aku menggaji kamu."
Aku tertohok namun tidak dapat berkata apa-apa hanya menarik nafas panjang. Aku berharap akan ada seseorang yang datang. Winner semakin mendekat senyumannya bak senyuman setan dan membuatku takut karena membayangkan adegan-adegan di sinetron..
"Kamu mau ngapain?"
Winner tidak menjawab pertanyaan ku malah menyentuhkan bibirnya pada keningku. Aku heran sampai aku menyadari sesuatu yang busuk telah terjadi saat pandanganku membentur tatapan Aldo yang berada di ambang pintu memperhatikan aku dan Winner. Beberapa kali aku ingin melepaskan diri dari rengkuhan Winner namun tak bisa. Winner mengunci kepala ku dengan tangannya di tengkuk ku, sedangkan tangannya satu lagi melingkar di pinggang ku dengan mantap. Winner sebenarnya tak menyentuhku namun karena Aldo melihatku dari belakang punggung Winner pastilah Aldo berpikir kalau aku dan Winner sedang berciuman. Aku berusaha mendorong tubuh Winner namun Winner tak ingin menjauh dan malah ku lihat senyum dinginnya seolah memang ini tujuan utamanya membawaku ke tempat ini. Air mataku turun saat melihat Aldo berbalik dengan tatapan kecewa dan membuat hati ini terasa bak disayat pisau.
Aku ingin mengejarnya namun aku tak mampu. Aldo telah pergi di tengah hujan. Aku ingin pergi menyusulnya tapi aku kalah pada Winner. Tidak lama setelah itu Winner melepaskan ku dengan senyum penuh kemenangan. Spontan aku menamparnya cukup keras.
***