Dalam dekapan sang rindu
Aku menikmati sepi
Dalam rengkuhan malam
Aku teringat akan setiap kenangan yang tergores sebagai luka terindah dan itu adalah kerinduan akan kamu
***
Rembulan menyanyikan alunan syahdu tentang kerinduan. Dunia menjadi tenang dalam nyanyian cinta sang malam. Aku menaruh harap pada seorang pria yang raganya dapat ku jangkau namun harapan itu sepertinya harus ku bunuh karena kenyataan jauh lebih pelik. Berkali-kali aku mengingatkan diri ku sendiri agar tidak mencintai Aldo Prasetya namun sepertinya aku mulai jatuh perlahan dalam rindu. Aku ingin menyentuhnya tapi apa daya ku? Bukankah melihatnya dari jauh itu sudah cukup? Aku menjadi semakin serakah dari hari demi hari hanya untuk mendapatkan perhatian darinya.
Mengapa dia harus menyapa ku setiap hari walau dia tahu betapa kedua orangtuanya tidak menyukai ku? Di antara kami ada jarak yang terbentang luas, mengapa dia membiarkan aku memupuk benih-benih cinta yang ada di hati dengan kebaikan demi kebaikan yang selalu ku terima darinya? Apakah aku yang terlalu berlebihan dalam memaknai setiap kebaikannya?
Aku mengenal Aldo sudah cukup lama. Sewaktu papa mama masih bersama kami selalu bermain dan menghabiskan waktu bersama. Beberapa tahun yang lalu orang tuaku bercerai dengan meninggalkan banyak kesedihan. Sejak saat itu aku merasakan perubahan pada sikap kedua orang tua Aldo padaku dan juga mama. Aku sadar tidak ada yang namanya keabadian selama raga masih bersemayam di bumi. Aku sadar status dan harta adalah hal penting bagi orang tua Aldo. Mungkin waktu itu aku yang terlalu naif dan menganggap bahwa semua orang itu baik namun kini mata ku telah terbuka.
Setelah berpikir cukup keras pada akhirnya aku memilih untuk menjaga jarak dengan Aldo. Selama ini Aldo dan aku tidak memiliki status apapun jadi ini akan lebih mudah untuk tidak terjebak dalam cinta. Kami hanya teman. Teman yang hanya dapat ku kagumi dalam hati.
Beberapa kali Aldo memanggil ku saat istirahat. Aku tahu Aldo ingin mengajak ku makan bareng di kantin namun aku menolak ajakannya dan memilih untuk mengerjakan tugas sekolah karena setelah pulang sekolah aku harus bekerja paruh waktu dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan semua tugas yang diberikan kalau tidak dicicil dari sekarang.
Langkah kaki Aldo berhenti tepat di samping mejaku. Ku lihat ada sekantong kue dan juga ai mineral di tangan yang disodorkan padaku. Jujur saja, aku tersentuh dengan apa yang dilakukan Aldo. Saat anak lain makan di kantin dan menghabiskan waktu bersama temannya. Aldo malah membelikan aku makanan dan menemani ku untuk memastikan kalau aku akan menghabiskan makanan yang sudah ia belikan untukku.
"Aldo, terima kasih." Aku tersenyum sederhana untuk menghargai usahanya.
"Ruby, aku mau kamu makan dulu. Nanti kamu juga kerja. Ni udah aku belikan roti jadi harus dimakan sekarang." Kata Aldo penuh penekanan.
"Tapi kalau ini gak dikerjakan sekarang, ya udah gak ada waktu lagi karena aku kerja sampe malam."
"Tuh kamu tahu kalau nanti kamu kerja sampai malam. Jadi kamu harus makan sekarang."
"Aldo..." Aku melirik ke arahnya. Dia memperhatikan ku tapi aku menjadi lebih takut bila aku kehilangannya. Menjauhinya adalah jalan yang terbaik sebelum ada salah satu dari kami yang akan terluka. Dan kemungkinan besar yang terluka adalah aku karena aku yang menyukainya. Aku rasa aku harus menjaga hati ku sendiri dari rasa sakit. " Ya. Aku makan. Terima kasih ya."
Aku langsung memakan makanan yang diberikannya setelah itu Aldo duduk di bangkunya sambil mengamati aku yang sedang menikmati pemberiannya. Aku memantapkan hati ku untuk mengerjakan soal sambil makan karena aku memang tidak memiliki banyak waktu.
"Owh iya...kamu nanti mau ke cafe bareng aku gak?" Aldo memberikan senyumannya yang sumringah padaku dan lagi-lagi hati ku hampir goyah. Aku kembali mengingatkan diri ku sendiri kalau aku harus menjauhi Aldo. Sesaat aku ragu. Aku terdiam. "Hayoooo, kamu lamunin apa?" Suara Aldo berhasil mengembalikan ku ke alam nyata. "Nanti kita ke lapangan parkir bareng ya. Kita langsung ke cafe biar kamu gak terlambat."
"Aldo, maaf aku gak bisa." Aku perlu kekuatan ekstra untuk berani mengatakan tidak untuk tawaran menggiurkan dari Aldo.
"Mengapa?"
Aku tahu Aldo tidak senang dengan jawaban yang aku berikan padanya tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya ingin hidup tenang apa itu sesuatu hal yang sulit bagi ku? Sudah cukup aku mendengar omelan dari orang tuanya. Terkadang suara mama Aldo sampai terdengar hingga kamar ku. Aku hanya merasa sangat lelah jika setiap kali aku dekat dengan Aldo itu akan menjadi masalah besar bagi keluarganya. Untung saja lonceng berbunyi menandakan istirahat telah usai.
***
Hampir dua bulan ini, aku menghindari Aldo. Aku selalu menceritakan masalah ku kepada mama dan mama mana yang ingin anaknya selalu diremehkan orang lain? Walaupun tahu anaknya tidak cantik dan jauh dari kata sempurna namun hanya anaknyalah yang paling cantik di mata seorang mama karena anak adalah seluruh dunia bagi seorang mama.
Aku sebenarnya dapat bertahan saat orang tua Aldo mengejek atau menghina ku. Itu wajar, aku bukanlah orang yang diinginkan untuk dekat dengan anaknya namun melihat airmata mama mengalir, itu benar-benar menghancurkan hati ku. Aku tahu mama sudah tahu semuanya dari perkataan tetangga namun airmatanya tertumpah saat aku menceritakannya sendiri. Jangan tanyakan apa aku menyesal karena jawabannya: Ya… aku sangat menyesal. Aku hanya terbiasa bercerita pada mama. Aku hanya merasa nyaman saat menumpahkan semua beban padanya namun aku tidak menyangka jika beban ku akan menjadi air di matanya.
Mama mendukung setiap keputusan yang akan aku ambil. Ia tahu kalau aku ingin menjauhi Aldo. Mama tidak banyak berbicara hanya memeluk ku hangat. Pelukan mama selalu terasa hangat di hati ku. Aku memantapkan langkah ku untuk segera mengakhiri kisah kedekatan ku dengan Aldo. Bahkan satu sekolah telah mengira kalau kami memiliki hubungan namun sebenarnya tidak. Aldo tidak pernah mengatakan apapun pada ku tentang status kami. Ia hanya menggantungkan ku dalam ketidakpastian karena sikap baiknya yang ambigu. Aku tahu kalau Aldo tidak enak dengan mamanya yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada ku.
***
Siang ini seperti biasa pulang sekolah, aku sudah berencana untuk meninggalkan kelas secepatnya. Ini adalah hari terakhir ujian nasional jadi setelah ini aku akan lebih jarang berkomunikasi dengan Aldo. Anak-anak yang lain tampak bersorak gembira kecuali Winner.
Aku melihat tatapan Winner yang menerawang jauh entah ke mana. Winner seolah memiliki dunianya sendiri di mana ia menikmati hening dalam keramaian kelas yang sudah seperti kapal pecah. Tatapannya sendu berbingkai sepi. Winner tiba-tiba melihat ke arah ku namun memilih untuk bersikap tidak peduli dengan keberadaan ku kemudian keluar dari kelas. Aku juga keluar kelas bukan karena mengikuti Winner tapi karena aku harus bergerak cepat bila ingin menghindari Aldo. Langkah ku semakin ku percepat dan aku berhasil mendahului Winner yang tadinya ada di depanku.
Aku langsung berhenti melangkah saat ku lihat Aldo telah menghadang ku di depan jalan.
"Aku mau bicara sama kamu." Kata Aldo matanya terlihat merah.
"Aldo kamu tahu kalau aku harus kerja setelah ini. Aku gak punya waktu kalau sekarang." Jawab ku tenang.
"Kalau begitu kapan kamu punya waktu?" Aldo bertanya dengan sorot mata penuh rasa penasaran.
"Aldo sekarang aku sibuk." Aku ingin menerobos namun Aldo bersikap tegas untuk tidak mengijinkan aku lewat. "Apa yang kamu mau?"
"Aku mau kita bicara."
"Kamu tahu ini di sekolah. Aku gak mau membuat gosip di sini." Jawab ku penuh penekanan.
"Kalau begitu kamu mau kita ngobrol di mana?" Tanya Aldo lagi.
"Aku gak mau ngomong sama kamu." Aku menatapnya seraya berperang untuk melawan rasa takut akan kehilangan Aldo tapi ini terlalu sakit bagiku untuk melihat Aldo yang menahan ledakan emosi di dadanya. "Aku mau lewat."
Kali ini aku berhasil menerobos tubuh Aldo yang membeku. Mungkin Aldo terkejut dengan sikapku yang dianggap sedikit kasar dengan menolak untuk berbicara dengannya tapi aku harus bagaimana? Dekat dengannya juga membuat ku lebih terluka. Kami masih muda. Banyak jalan yang akan dilewati. Mungkin kami akan menemukan orang yang lebih baik di hari depan, siapa yang tahu?
Tanganku ditarik oleh Aldo. Kejadiannya begitu cepat sehingga aku tidak bisa protes. Aku belum pernah melihat Aldo seperti ini sebelumnya. Aldo adalah sosok anak yang penurut dan selalu mengikuti aturan yang berlaku. Aldo membawa ku menjauh dari keramaian di sebuah kelas paling pojok.
"Ruby, kamu ingin aku buat apa supaya kamu gak menghindari aku kayak gini?" Aldo tampak sedang menahan emosinya yang sudah hampir meledak.
"Aldo, kita ini apa?" Entah mengapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku.
"Ruby, kamu tahu kalau mama kurang senang kalau kita dekat." Aku melihat Aldo mulai panik untuk memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada ku.
"Aku cuma nanya kita ini apa?!" Aku terkejut dengan nada suaraku yang sedikit meninggi. "Aldo aku gak bisa begini terus. Aku rasa kamu gak akan pernah bisa memilih." Aku menarik nafas sejenak untuk menenangkan diri ku. Aldo terdiam. " Aku gak mau kamu memilih aku daripada mama kamu. Aku tahu kamu sayang mama kamu jadi please jangan berhubungan denganku lagi. Aku juga gak mau melihat mama kamu merendahkan keluarga kami terus. Kamu tahu, aku gak akan membiarkan mama ku menangis lagi. Jadi sekarang aku yang minta tolong sama kamu. Jangan pernah hubungi aku lagi ini demi kita."
Pada akhirnya aku harus melepaskan Aldo Prasetya. Aku tidak ingin membuat hidup ku yang sudah rumit menjadi lebih rumit. Aku hanya menginginkan damai. Apa itu terlalu mahal?
Aku keluar dari kelas itu berpapasan dengan Winner yang sepertinya mendengar percakapan ku dengan Aldo namun aku tidak peduli. Aku melihat ke arah Aldo yang tampak tegang namun aku harus kuat dan tidak goyah. Aku kembali menatap ke depan dan berjalan meninggalkan sekolah dengan hati yang tercabik. Aku tidak ingin menangis di sekolah. Aku tidak mau meneteskan air mata namun mengapa pipi ku sudah lembab. Aku berhenti sejenak untuk mengusap pipiku yang basah.
"Ini buat kamu." Suara Winner membuat ku kaget. Ia menyerahkan sebuah sapu tangan. Aku tertegun karena sikapnya. Winner melihat ke arah ku dengan senyuman licik yang tidak ku sukai. "Ambil ini." Winner menghapus air mata ku tapi entah mengapa hati ku merasa aneh dan tidak tenang saat ia tersenyum sinis. "Ruby, ini baru awal."
"Ruby!"
Aku berbalik ke belakang dan melihat wajah Aldo yang merah padam mungkin saja ia melihat Winner saat mengusap air mata ku tadi. Aku berbalik ke arah Winner yang segera beranjak setelah menciptakan suasana kesalahpahaman antara aku dan Aldo. Tapi bukankah ini lebih baik? Aku juga bingung jadi aku memilih segera berjalan dan naik angkutan umum yang melintas.
***