Ku tunggu sajak cintamu
Namun aku tahu itu hanya ilusi
Aku resah di kedalaman palung rindu
Gundah sang hati mencari pemiliknya
Pertemuan dua hati yang saling mencinta apakah itu laksana surga di atas bumi?
***
Langit sudah menunjukkan warnanya yang kelabu. Seperti hatiku. Selama di angkutan umum bau apapun yang ada di sekitarku sudah tidak ku hiraukan lagi mungkin karena hatiku yang sesak juga membuat hidungku mampet. Aku tak peduli saat hujan kembali membasahi bumi dan aroma tanah cepat tersebar memberi kesan lelah. Aku ingin beristirahat sejenak namun aku tahu jika saat ini aku tak punya waktu untuk menangis. Aku harus segera tiba ke cafe untuk bekerja sampai malam.
Berkali-kali aku harus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak mengingat Aldo namun bayang wajahnya tidak bisa hilang dari ingatan. Apa yang harus aku lakukan?
Hari ini hujan turun dengan deras namun cafe ini tetap saja ramai mungkin karena pelanggan yang datang terjebak dalam hujan dan enggan untuk beranjak. Mata ku tertuju pada sosok pengacau yang tidak asing lagi. Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi hari ini. Aku tahu cafe ini milik sepupunya tapi Winner datang seorang diri. Aku heran karena selama ini ia akan datang bersama teman-temannya untuk mengejek keberadaan ku sebagai pekerja part time.
Aku ingin kabur sebelum Winner mengangkat tangannya untuk melakukan order tapi sepertinya sudah sangat terlambat karena Winner telah melihatku dan mengangkat tangannya tidak kelupaan senyum liciknya yang khas itu. Matanya berbinar ketika aku datang mendekat. Sampai di depannya aku mengambil kertas dan pena dari kantong untuk mencatat orderannya tidak lupa memberikan buku menu.
"Pesan apa?" Tanyaku berusaha untuk bersikap biasa saja walau sebenarnya aku jengkel dengannya. Aku melihat ke bawah dan memperhatikan kakinya. Aku harus hati-hati. Kali ini aku tak boleh terjatuh, mengingat Winner pernah menjegal kaki ku hingga jatuh di lantai saat di sekolah.
"Ngapain kamu liat ke bawah terus?" Winner ternyata memperhatikan ku. Aku heran mengapa sepertinya ia sangat senang kalau aku menderita. Mengapa ia suka mencari masalah dengan ku padahal aku tidak pernah mengganggunya. Terkadang kita sebagai manusia sudah menjaga sikap saja masih ada musuhnya apalagi orang yang memang niatnya nyari musuh. "Aku pesan cappuccino sama nasi goreng."
"Nasi gorengnya pedas atau-"
"Sedeng aja."
" Ada lagi yang mau dipesan?" Aku bertanya kembali namun Winner menggelengkan kepalanya. "KALAU begitu saya ulangi pesanannya. SATU CAPPUCCINO SAMA SATU PORSI NASI GORENG PEDASNYA SEDANG." Aku mengulangi orderannya dengan penuh penekanan.
Aku harus berhati-hati pada Winner karena ia bisa saja berkata yang sebaliknya dan memutarbalikkan kebenaran. Dulu Winner membuat ku harus membayar apa yang dia makan karena aku salah menulis orderannya. Padahal aku mencatat dengan benar semua yang dia pesan. Tapi siapa yang mau mempercayai ku? Alhasil gaji ku dipotong gara-gara Winner. Sekarang aku tidak ingin dia mempermainkan aku lagi. Hatiku sungguh tak tenang saat melihat senyuman Winner yang melengkung dibalik kertas orderan yang ku pegang saat ini.
"Iya, itu aja. Terima kasih."
Ini adalah ucapan terima kasih pertama yang ku dengar dari seorang Winner. Aku hargai itu walau terdengar sedikit aneh. Winner terlihat lebih santai dengan celana jeans panjang dan t-shirt putih berbingkai sweater abu-abu hangat ala Korea. Aku harus mengakui kalau dengan pakaian casual seperti ini, Winner terlihat lebih bersih dan bersinar.
"Orderan meja nomor lima."
Suara dari dapur membuat ku tersadar kini saatnya aku harus membawakan cappuccino dan nasi goreng milik Winner. Aku berharap tidak ada peristiwa seperti kemarin karena aku sedang membutuhkan uang untuk masuk kuliah. Aku menyuguhkan semua makanan di hadapan Winner. Setelah itu aku pergi dan membiarkan Winner untuk menikmati makanannya.
Winner masih ada di tempat duduknya sambil memandangi hujan yang masih belum puas mengguyur bumi. Sendirian. Aku penasaran apa dia tidak memiliki keluarga? Winner terlihat lebih tenang dari pada biasanya. Ku perhatikan beberapa orang gadis sedang melirik ke arahnya. Terkagum akan aura yang dipancarkan Winner Alexander bahkan ada yang sengaja mengambil foto Winner dari tempat duduk mereka. Aku heran mengapa banyak gadis yang menyukai Winner. Aku sering melihat banyak surat cinta dan cokelat yang diberikan untuk Winner pada saat valentine di sekolah namun ia tidak menanggapi pemberian itu. Aku tahu kalau Winner memiliki suara yang Indah. Saat ada acara di sekolah, Winner sering diminta untuk bernyanyi.
Hari semakin larut namun tidak ada tanda-tanda Winner akan beranjak pulang. Aku mendekatinya lagi.
"Cafenya udah mau tutup." Kataku.
"Okay." Jawabnya singkat. "Mana bill nya?" Aku memberikan bill yang diminta, Winner tidak melihatnya malah memberi ku dua lembaran seratus ribuan. "Ambil aja kembaliannya."
"Tapi ini-"
"Buat kamu." Jawabnya santai kemudian berlalu dari hadapanku meninggalkan banyak tanda tanya di benak ku.
Tumben orang ini berbaik hati padaku.
***
Sesampainya di rumah aku sudah basah kuyup dan mama sudah terlelap. Aku merasa akhir-akhir ini mama lebih gampang kelelahan, bisa jadi karena faktor umur yang tidak lagi muda. Aku membersihkan diri dan segera merebahkan diri di ranjang.
Benak ku melayang memikirkan Aldo. Apa yang ia lakukan saat ini? Benih kerinduan menuntun ku untuk melihat rumah Aldo yang ada di depan rumah ku. Berharap aku akan melihat bayangannya hanya untuk melepas kerinduan ku padanya. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk melihat rumahnya dari teras rumah ku. Aku tidak tahu mengapa keberanian itu lenyap seketika. Mungkin aku takut jika aku akan semakin serakah dan menginginkannya untuk memperhatikan aku lagi dan lagi. Memikirkan hal itu membuat kepala ku migrain mendadak.
Pada akhirnya aku memilih untuk merebahkan diri di kasur ku yang empuk dan menutup mata setelah meminum obat sakit kepala. Kerinduan membuat ku melihat Aldo di mimpi ku malam ini.
Mimpi melihat Aldo yang terlihat tampan dengan setelan jas dan mendekati ku dengan membawa buket bunga Mawar putih yang cantik. Aku juga mengenakan gaun warna putih sederhana. Aku tidak bisa menahan senyum bahagia saat Aldo berlutut dan memberikan buket bunga itu pada ku tanpa mengatakan apapun. Hanya senyuman manis yang terbingkai sempurna di wajahnya. Aku tak kuasa untuk segera merengkuh buket bunga Mawar putih pemberian Aldo untuk mencium wanginya. Aku menutup mata sejenak menikmati wangi dari si mawar putih yang menawan.
"Kamu suka?" Suara yang tidak asing itu membuat aku mengangguk. Aku membuka mata dan melihat mawar putih pemberian Aldo sudah berubah menjadi mawar merah gelap.
Aku melihat ke arah Aldo yang ada di hadapan ku namun di sana sudah tidak ada Aldo, aku panik saat melihat Winner berdiri dengan setelan jasnya yang menawan menggantikan posisi Aldo dengan senyum liciknya. Buket mawar merah yang ku pegang juga dipenuhi darah. Aku ingin berlari namun tidak bisa karena Winner mendekap tubuh ku hingga nafas ini terasa sesak. Bisikan Winner di telinga ku membuat ku hampir mati lemas.
"Ini baru awal,Ruby."
Suaranya yang lembut menghantarkan kegentaran di hati ku.
"Ruby! Ruby bangun." Suara mama terdengar lembut, suara yang sanggup membawa ku kembali ke alam nyata.
Perlahan ku buka mata. Aku terbangun dan menemukan peluh sudah membasahi tubuh sedangkan mama melihat ku dengan cemas.
"Ada apa?"
"Ruby mimpi buruk, Ma."
***