Chereads / Dear Ruby / Chapter 4 - Pemilik Siasat

Chapter 4 - Pemilik Siasat

Berjalan di hutan gelap

Ditemani langit dan bintang yang berjanji setia menemani sang malam

kini bersenandung lirih tentang cinta

Lumpur, luka dan goresan telah menjadi hiasan di kaki polos yang masih terus berjalan dalam kabut pekat

***

Mimpi itu melekat kuat di dalam benakku. Entah mengapa aku tak memiliki kuasa untuk menghapusnya. Aku masih digelanyuti rasa rindu dan merana. Cinta sanggup membuat orang pintar menjadi bodoh dan aku rasa aku adalah salah satu orang yang bodoh itu.

Setelah ujian berakhir aku tidak pernah lagi ke sekolah. Aku memilih untuk bekerja di cafe karena aku membutuhkan banyak biaya agar bisa melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi. Aku membutuhkan ijazah untuk bisa mengubah nasibku dan mama. Aku tidak bisa menutup mata bahwa selembar ijazah bisa mengubah nasib seseorang.

Cuaca yang selalu tidak bersahabat, ku lawan dengan semangatku untuk mencari uang lebih banyak lagi. Aku hanya ingin memberikan kehidupan yang layak untuk mama. Sudah cukup banyak kesulitan dan air mata yang datang di keluarga kami.

Aku menguatkan hati sekali lagi untuk tidak memikirkan Aldo tapi Aldo masih ada di sana. Di hatiku.

Aku tak punya pilihan selain semakin giat bekerja ditemani bayang kerinduan akan Aldo karena aku belum mampu melupakannya. Aku tidak pernah bertemu dengan Aldo sejak kejadian di sekolah. Aldo tidak pernah menghubungi aku. Aku juga masih berjuang untuk tidak menghubunginya. Aku tahu kalau Aldo tidak salah bila ia tidak menghubungi ataupun menemuiku lagi namun mengapa aku merasa sedih dan kecewa?

Bekerja hingga malam membuat tubuh ini terasa lelah ditambah lagi dengan keletihan jiwa yang telah menumpuk. Akhirnya airmata tertumpah di cafe yang kosong ini. Saat setiap orang telah pergi dan hanya menyisakan sepi. Aku menikmati sepi ini sendiri. Aku ingin bertemu Aldo mengapa rasanya sakit sekali. Ini kali pertama aku merasa sesak yang seperti ini. Apa ada obat yang bisa ku minum untuk mengurangi rasa sakit di dada? Seseorang tolong aku. Aldo datanglah, aku butuh kamu sekarang. Hanya sebentar saja, tolong datang. Aku berteriak dalam hati.

Langkah kaki di belakang membuat ku bahagia. Apa Tuhan sudah menjawab doa ku lebih dari kecepatan kilat? Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini? Aku ingin menghapus airmata ini tapi percuma karena mata ku malah semakin basah. Aku menghambur memeluk sosok yang ada di belakang ku. Aku tidak mengerti mengapa aku memeluk Aldo. Aku membuat kaos hitamnya basah. Aku dapat merasakan detakan jantung Aldo berdegup kencang. Ia memeluk ku, terasa hangat. Ini kali pertama aku berada dalam dekapan seorang pria. Aku baru tahu di pelukannya aku merasa nyaman saat ia mengusap punggung ku sederhana dan tidak berlebihan.

Entah darimana akal sehatku kembali. Aldo tidak mungkin memiliki tubuh setinggi ini. Aku tidak mungkin berada di dada Aldo. Lalu siapa pemilik lengan hangat ini? Aku perlahan melihat wajah dari pria ini. Mata ku tertuju pada sepasang bola mata cokelat muda yang juga menatap ku. Kami terkunci beberapa saat, tidak tahu harus bagaimana. Sontak kami sama-sama mundur beberapa langkah. Ini kali pertama aku kompak dengan Winner Alexander.

Aku ingin segera kabur tapi aku masih punya tanggung jawab untuk menutup cafe sebelum pulang. Di sini hanya ada aku dan Winner, kami terdiam. Aku menghapus airmataku dengan buru-buru. Sesaat aku melihat bayang Aldo di jalan depan cafe namun itupun segera hilang. Apa rasa cinta yang ku miliki untuk Aldo begitu besar hingga bayangnya pun menjadi nyata.

"Uhm. Aku minta maaf." Rasa malu dan salah tingkah membuat ku menundukkan kepala.

"Aku pikir kamu harus minta maaf sama Aldo." Aku terkejut saat Winner menyebutkan nama Aldo. Aku menatap Winner yang terlihat tenang. "Uhm. Tadi aku lihat Aldo ada di depan, kayaknya dia nungguin kamu dari tadi. Aku suruh dia masuk tapi-"

Aku tidak perlu mendengar penjelasan lebih lanjut dari Winner karena aku dapat menebak apa yang terjadi. Oh...tidak....kepala ku sakit. Dengan kekuatan yang ku miliki, aku berlari meninggalkan ruang cafe kosong ini. Berharap aku dapat menemukan Aldo tapi sepertinya aku sudah terlambat. Aldo sudah tidak ada lagi. Aku tidak tahu mengapa aku merasa bersalah pada Aldo padahal kami tidak memiliki status. Aku bukanlah kekasihnya tapi mengapa hatiku ikut sakit? Aku merasa takut untuk kehilangan Aldo padahal aku tahu orang tuanya tidak menyukaiku maupun keluarga ku. Aku tidak ingin menjadi konflik antara Aldo dan keluarganya meskipun begitu mengapa aku terluka saat aku tidak melihat sedikitpun usahanya untuk membelaku di hadapan keluarganya.

Aku terjebak. Satu bagian diriku menginginkan dirinya dan bagian lainnya berkata aku sebagai wanita harus sadar diri untuk mengetahui di mana posisiku. Mengapa kenyataan selalu lebih pahit?

Aku kembali lagi ke ruang cafe dan menemukan Winner masih ada di sana dan duduk di sofa. Aku heran mengapa dia ada di sini. Aku tadi tidak menanyakan karena lupa setelah ia menyebutkan nama Aldo. Aku mendekatinya. Airmata ini sudah ku hapus namun masih ada jejak kepedihan itu di pipiku yang lembab.

"Aku ke sini karena Ivan yang minta aku nemenin kamu nutup cafe. Ivan juga pesan, besok kamu harus bangun lebih pagi untuk buka cafe."

"Ya." Jawab ku singkat. Aku hanya ingin segera tidur karena aku benar-benar lelah.

"Ruby, kamu gak mau tahu perkembangan di sekolah?" Aku tidak tahu Winner tulus ingin memberi tahu atau ada maksud lain di balik semuanya.

"Memang ada apa di sekolah?" Aku masih berdiri sambil melihat Winner yang duduk di sofa dengan tenang bak seorang raja yang hendak menurunkan titah penting.

"Kamu bisa duduk dulu, kepala ku sakit kalau harus liat muka kamu yang kayak gitu." Winner terlihat tidak menikmati pembicaraannya denganku. Mengapa ia masih ingin berbicara dengan ku?

Aku duduk di sofa yang ada di hadapannya. Aku penasaran dengan apa yang ingin disampaikannya.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanya ku tidak tertarik.

Winner mengeluarkan selembar kertas pengumuman dari sekolah dan menyerahkannya padaku. Di kertas pengumuman tertulis tanggal pengumuman kelulusan serta jam masuk sekolah.

"Terima Kasih,ya." Kata ku sambil memasukkan kertas itu di saku celana jeans yang ku pakai. "Kalau gitu ayo pulang." Aku hendak berdiri namun Winner memandang ke arah ku dengan senyuman khasnya itu.

"Aku ke sini juga buat nawarin kamu kerjaan. Itu juga kalau kamu tertarik. Kalau gitu ya udah ayo kunci tempatnya.", Winner bangkit dari sofanya hendak beranjak pergi.

Aku berpikir sejenak. Aku memang butuh uang dalam jumlah banyak. Mungkin ini memang salah satu niat baik Winner. Aku berusaha untuk berpikir positif walaupun itu sangat sulit tapi mengapa tidak dicoba? Winner berjalan makin menjauh.

"Tunggu, emang apa kerjaannya?"

Winner berbalik mendekati ku. Melihat ku dengan wajah tak percaya.

"Aku mau buat pesta perpisahan. Perpisahan buat anak-anak sekelas aja. Aku butuh kamu di sana. Kalau kamu bersedia aku bisa bayar kamu lebih soalnya kamu juga akan nginap di sana. Aku gak mau nganterin kamu malem-malem. Untuk tempat tidur sama transportasi kamu bisa bareng aku. Jadi datang duluan untuk nyiapin semuanya pulangnya juga belakangan karena kamu harus bantuin beres-beres. Semua anak di kelas kita aku undang jadi kalau kamu bersedia, kamu harus bisa-"

"Berapa -?"

"Kamu minta berapapun aku kasih tapi ya itu resikonya kamu harus kerja ekstra."

Ini beneran atau Winner hanya ingin mengejek ku saja? Apalagi ia akan mengundang satu kelas. Aku benar-benar harus dibayar mahal.

"Kamu serius? Kalau kamu cuma mau ngejek aku-"

"Ruby, percayalah aku tidak pernah seserius ini untuk meminta seseorang datang ke villa ku. Kalau kamu pikir aku main-main ya kamu gak perlu menerima job ini. Gampang kan?"

Aku melihat sorot matanya yang tajam seolah ingin membelah isi kepala ku. Aku hanya ingin hidup damai apalagi sebentar lagi kami akan berpisah dan memulai menulis kisah kami masing-masing.

"Kapan acaranya?"

"Besok. Kamu bisa? "

"Okay. Aku mau bayarannya di atas UMR karena aku harus kerja sampe malam." Kata ku tegas.

"Kamu gak usah takut soal uang. Lebih baik kamu minta ijin dulu ke mama kamu dulu."

"Mama pasti mengijinkan asal itu untuk bekerja."

Mama malam ini tidak pulang ke rumah karena ada urusan pekerjaan di luar kota. Aku kadang merasa kasihan pada mama yang bekerja terlalu berat sejak perceraiannya dengan papa. Aku hanya tidak mau menyusahkan mama.

"Aku jemput kamu besok di cafe pagi habis kamu buka pintu cafe. Aku tahu besok kamu free. Owh ya...satu lagi aku gak mau kalau kamu telat."

"Ya."

Setelah menutup cafe. Kami pun berpisah. Jalanan masih lembab karena sisa hujan tadi sore. Angin dingin menusuk tulang. Aku lupa membawa jaket sehingga harus menikmati berteman dengan si angin malam. Berjalan sendirian di malam hari tidak membuat ku gentar karena aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Aku bersyukur langsung mendapatkan angkutan yang langsung menuju ke rumah.

Seperti biasa aku turun di gang depan rumah kemudian berjalan lagi. Genangan air di mana-mana. Terpaksa harus merelakan flat shoes ku basah. Mata ku tertuju pada rumah yang ada tepat di depan rumahku. Rumah Aldo terlihat tenang. Mobil Aldo juga sudah terparkir di dalam rumah. Beberapa saat aku menghela nafas mengingat betapa sialnya aku hari ini.

Aku tidak tahu jika Aldo ada di sana dan melihat aku memeluk Winner. Untuk alasan yang tidak ku mengerti, aku benar-benar menyesal. Mengapa aku langsung memeluk Winner tadi? Aku menepuk jidat ku beberapa kali. Aku merasa sangat bodoh. Aku tidak tahu apa aku harus menjelaskan ini pada Aldo atau membiarkan ini? Aku masih tidak tahu.

Rumah ku menjadi sepi tanpa kehadiran mama membuat ku bebas menikmati sepi dan bebas memikirkan Aldo. Aku tidak paham apa yang diinginkan Aldo. Mengapa ia harus pergi saat melihat ku dengan Winner? Mengapa aku baru menyadarinya? Bukankah ini aneh jika Aldo pergi begitu saja dan membuat ku merasa bersalah setengah mati. Aku bukanlah kekasihnya. Tetapi entah mengapa rasa bersalah di hati ini tak bisa lenyap. Aku ingin menghubungi Aldo namun aku terjebak di antara rasa bersalah dan gengsi. Ponsel sudah ada di genggaman namun aku tidak dapat menemukan sebuah kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan Aldo. Apakah memang lebih baik seperti ini saja? Tapi mengapa aku masih tidak rela?

Aku memutuskan untuk segera mandi mana tahu aku akan menemukan ilham di kamar mandi. Hingga selesai mandipun, sang ilham juga enggan menghampiriku. Aku mengenakan pakaian tidur yang nyaman supaya aku segera terlelap namun sepertinya percuma. Aku meraih ponsel ku kembali, menatap layarnya namun tidak menekan apapun karena gengsi.

Aku beruntung karena tubuh lelah ku menyapa sang kantuk dan berhasil membuat ku terlelap. Sejenak melupakan lelah.

***