Arda Mega, yang biasa dipanggil Mega ketika berada di dunia sihir itu langsung berlari keluar portal. Kedua matanya lantas membelalak lebar ketika melihat seseorang terbaring di atas rerumputan. Sama seperti vision atau kilasan yang muncul di tengah rasa sakit kepalanya tadi.
"ALKA!" teriak Mega sembari berlari kencang menghampiri sosok yang terbaring di atas rerumputan.
Sontak saja, Mega mengambil posisi berjongkok. Kedua tangannya sibuk menggenggam erat tangan salah satu putranya itu.
"Alka, bertahan! Papa pasti akan marah besar ke Mama kalau kamu sampai kenapa-napa!" keluh Mega dengan air mata masih mengaliri kedua pipinya.
Mega bisa melihat bahwa tubuh putranya itu perlahan melebur. Detik itu juga, Mega mulai memejamkan matanya.
"Al-ka sa-yang Ma-ma!" lirih Alka.
Mega tak kuasa menahan tangisnya. Bibirnya terus merapal sebuah mantra, berusaha untuk menyelamatkan putranya itu.
"Ma-ma ju-ga sa-yang Al-ka kan?"
DEG!
Ada sebuah perasaan aneh yang menghantam hati Mega. Ia tersadar, bahwa ia telah sangat menyakiti Alka. Maka dari itu, Mega ingin mendapatkan kesempatan untuk bisa menebus dosanya.
"Mama sayang banget sama Alka, jadi bertahanlah!" cetus Mama.
Masih dengan memejamkan matanya, Mega kembali merapal sebuah mantra. Namun, lagi-lagi, mantranya tidak bekerja. Sungguh membuat Mega bertambah cemas.
UHUK! UHUK!
Lagi-lagi, Alka mengeluarkan batuk berdarah. Cukup membuat Mega terkaget-kaget. Dilihatnya, tubuh Alka yang telah melebur sampai ke lutut.
"Alka, bertahanlah," lirih Mega sembari menggigit bibir bawahnya.
Mega lantas memusatkan pandangannya ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya tersebut. Ah tidak, seseorang yang lebih tepatnya berada di belakang Lian. Tatapan Mega langsung menyorot tajam ke arah nenek tua yang kini tampak menatap sendu ke arah ketiga wanita yang berusia lebih muda darinya itu.
"Kenapa anak saya bisa seperti ini?" tanya Mega dengan nada sedingin salju. Namun, nenek tua itu segera menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu tadi benar bertemu dengan seorang kakek tua?" tanya Nenek tua itu kepada Lian. Mendengar hal itu, Lian pun langsung menganggukkan kepalanya.
"Ah si tua sialan itu! Berani-beraninya menyentuh anakku!" pekik Mega.
"Hei, Dayang Kalbu, apa yang harus kulakukan?" tanya Mega kemudian. Ia merasa sangat frustasi ketika melihat tubuh Alka yang mulai melebur.
Nenek tua itu tampak menatap ke atas. Mengamati berlian-berlian yang berjatuhan di luar gelembung raksasa yang dibuat oleh Nenek tua tersebut.
"Bawa dia ke dekat di mana jiwa murninya berada. Jiwa murni tidak dapat kembali ke tubuhnya, tetapi setidaknya, jiwa murni bisa membantunya ketika berada di tubuh yang diinginkannya," cetus Nenek tua itu.
"Apa gak masalah jika harus membawanya ke dunia manusia? Bukankah lebih baik, kita rawat Alka di kerajaan kita? Lagipula, tabib kerajaan kita memiliki kekuatan yang sangat hebat untuk menyembuhkan," sahut Mega. Namun, nenek tua itu segera menggelengkan kepalanya.
"Yang Alka butuhkan hanya jiwa murni untuk saat ini. Cepat, atau kamu akan melihat anakmu melebur di dunia ini dan itu akan memberatkan hukumanmu jika suatu saat para jiwa murni tahu tentang apa yang kamu lakukan!" pekik Nenek tua itu.
Tanpa pikir panjang, Mega segera memejamkan kedua matanya. Bibirnya seperti berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Hingga beberapa saat kemudian, Mega dan Alka menghilang dari area bukit berlian.
Detik itu juga, Lian langsung tersentak. Bagaimanapun juga, Lian datang ke bukit ini bersama-sama dengan Alka. Ya kali, Lian harus pulang dari bukit itu seorang diri. Serem tahu!
Melihat ekspresi kebingungan dari Lian, nenek tua itu segera berjalan menghampiri Lian. Tak lupa, nenek tua itu menepuk bahu Lian sebanyak tiga kali. Tentu saja, detik itu juga, Lian langsung memusatkan pandangannya kepada nenek tua itu.
"Kamu gak mau pulang sendirian kan? Nenek tahu, kamu pasti takut bakalan tersesat dan tidak bisa pulang ke rumah aslimu," cetus nenek tua itu. Lian pun segera menganggukkan kepalanya.
"Kebetulan sekali. Sekarang, kamu bantu Nenek buat memperbaiki rumah, terus sebagai gantinya, Nenek akan membuatkanmu portal untuk kembali ke rumahmu? Bagaimana? Setuju?" tawar nenek tua itu.
Detik itu juga, Lian langsung mengusap air mata di pipinya dengan kasar. Sementara matanya, kini membelalak lebar.
"Nek, saya tuh ke sini mau nyari berlian hitam, bukan buat bangun rumah!" keluh Lian sembari menjejak-jejakkan kedua kakinya ke rerumputan. Terdengar lengkingan tawa dari nenek tua itu.
"Ya sudah kalau tidak mau. Nenek tidak akan membantu," sahut nenek tua itu dengan penuh rasa santai.
Sontak saja, Lian mengerucutkan bibirnya. Jika ia pulang sendiri dan jalan kaki, kemungkinan besar ia akan melakukan perjalanan sebanyak kurang lebih tujuh hari. Juga, Lian takut bertemu dengan kakek tua yang ternyata jahat itu.
"Tapi, Lian gak bisa bangun rumah, Nek. Bikin bangunan buat kolam ikan aja, ikannya pada loncat ke rumput gegara ogah dibuatin kolam sama Lian. Gimana sama Nenek nanti," keluh Lian.
"Oh, jadi kamu menyamakan saya dengan ikan? Astaga, bar-bar sekali bocah ini!" cibir nenek tua itu.
"Loh, kok Nenek bisa-bisanya tahu kata bar-bar segala?" tanya Lian sembari mengernyitkan dahinya. Lagi-lagi, terdengar kekehan tawa dari si nenek tua.
"Tentu saja, Nenek kan gaul," ceplos nenek tua itu sembari mengibaskan rambutnya yang mulai memutih.
"What?!" lirih Lian.
"Ah sudahlah, kamu mau nenek bantu buat pulang ke rumah tidak? Kalau tidak, ya sudah. Toh, nenek juga gak akan maksa," cetus nenek tua itu. Perlahan, Lian mulai berpikir, kemudian mengangguk pasrah.
"Ya udah deh, iya. Lian bakal bantu Nenek untuk mendirikan rumah seperti tadi, tapi, tolong Nenek jangan lupa untuk menepati janji ya?!" ucap Lian sembari mengulurkan jari kelingkingnya ke arah nenek tua itu.
Karena tidak melihat reaksi dari si nenek sedikitpun, Lian pun segera mengambil tangan nenek tua itu dan secara paksa mengikatkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Lian.
"Nah, Nenek udah janji! Janji harus ditepati, Nek!" seru Lian. Melihat hal itu, nenek tua itu pun segera menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak zaman sekarang sungguh berbeda dengan zamanku dulu," pikir nenek tua itu.
Gubuk nenek tua yang ambruk itu perlahan mulai kembali membentuk sebuah gubuk baru. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan usaha yang tidak main-main, akhirnya tugas Lian selesai juga.
Beruntung, dinding anyaman bambu itu masih bisa diperbaiki, jadi cukup mempersingkat waktu. Jika tidak, mungkin Lian harus berpindah bukit hanya untuk mencari anyaman bambu (gedek).
Lian pun lantas tersenyum puas ketika memandangi hasil gubuk buatannya. Baru kali ini, Lian bisa berkreasi dengan benar, biasanya ketika Lian berkreasi, hasilnya selalu saja tidak seperti yang ada dalam angan.
"Yash, Nenek, ayo penuhi janjimu! Aku sudah membuatkan rumah terbagus untukmu, Nenek!" seru Lian dengan raut wajah penuh kepuasan.
Dengan pasrah, nenek tua itu segera mengayunkan tongkatnya. Namun, belum sempat tongkat itu mengeluarkan kekuatannya, secara tiba-tiba, ada angin kencang yang datang entah dari mana. Jika bukan gelembung raksasa nenek tua yang ajaib itu, mungkin saja, tubuh Lian bisa terbawa angin.
"Wah, wah, Nek, gubuknya kebawa angin!" teriak Lian histeris.
"Sial, kakekmu berulah lagi, Lian!" gerutu nenek tua itu. Sontak saja, Lian mengerucutkan bibirnya.
"Dia bukan kakekku! Kakek kandung Lian itu ganteng dan baik hati, gak kayak kakek tua yang tadi kutemuin sama Alka!" keluh Lian.
Sekitar tiga puluh menit, angin besar itu menerjang. Hingga beberapa saat kemudian, angin kembali berhembus normal.
"Nek, gubuknya gimana? Masa gubuknya runtuh lagi sih, Nek!" keluh Lian sembari menjejak-jejakkan kakinya.
"Kalau kayak gini, kapan Lian bisa pulang ke rumah, Nek?!" pekik Lian dengan penuh rasa kesal.