Pagi-pagi sekali, Adri sudah mendapati Adam di pantry kosan sedang memasak nasi goreng. Sebuah pemandangan yang sangat langka kakak kosnya yang paling sibuk itu sudah aktif sepagi ini. Belum lagi Adri ingat bahwa Ia membukakan pintu gerbang kost untuk Adam tadi malam lewat dari jam satu pagi.
"Pagi, Bang! Tumben banget, ada kuliah subuh?" ujar Adri iseng.
"Ngeledek banget Lo Dri ngeliat Gue rajin gini."
"Ya tumben banget gitu, mahasiswa tingkat akhir menuju sempro memasak di pagi hari, mana masaknya bener lagi, nasi goreng."
"Ambil piring dua deh, sarapan bareng Gue sini," titah Adam ketika Ia mematikan kompor.
"Yeay, asik!"
Adam kemudian menuangkan dua porsi nasi goreng kecap buatannya itu keatas piring. Adri kemudian membawanya ke meja makan, tak lupa Ia menuangkan dua dua gelas air mineral.
"Selamat makan, thanks Bang Adam, sering-seringlah begini," ujar Adri seraya menyuapkan satu sendok nasi goreng yang masih hangat itu.
"Kalo bukan karena Gue harus ke kampus subuh-subuh juga gak akan Gue masak, mending nyuruh Lo,"
"Emang ada apa sih Bang?"
"Lo gak tau? Wah parah Lo, Dri."
"Ya apa? Gue beneran gak tau urusan Lo."
"Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BEM Lo kata urusan Gue doang?" sindir Adam.
Adri tiba-tiba tersedak nasi gorengnya. Ia buru-buru meminum air dan mengangkat kedua tangannya ke udara agar batuk-batuk yang menyiksa tenggorokan itu berhenti.
"Ha hari ini ya?"
"Iya, parah banget Lo apatis sama fakultas, padahal kenal sama ketua BEM nya, calonnya juga."
"Ya maaf, Bang, Gue gampang lupa tanggal."
"Iya, yang penting Lo jangan lupa datang dan milih, awas aja gak dateng."
"Iya Bang iya, pulang kegiatan Gue langsung ke aula."
"Lo ngelab lagi hari ini?"
"Enggak, Gue mau diskusi penelitian topik baru sama Theo dan Prof Ravi."
Adam menggelengkan kepalanya, "Kita beda dunia banget ya, Dri. Topik skripsi aja Gue belum tau bakal pake apa," curhat Adam.
"Gak gitu, Bang. Lo lepas BEM kan bisa lebih fokus, pasti bisa. Kalo mentok Gue bantu deh, siapa tau bisa."
Adam mengangguk paham.
"Menurut Lo, siapa yang bakal menang?"
"Lo ngajak Gue taruhan?"
"Ya enggak, intuisi Lo aja, gimana menurut Lo?"
Adri tampak berpikir, "Kalo Gue jawab, jawaban Gue subjektif karena Gue lebih mengenal salah satu dari mereka."
Adam menepuk tangannya keras-keras, lalu Ia meneguk air miliknya.
"Kenapa sih Bang? Kesurupan Lo?"
"Enggak, Gue lupa ..."
"Apaan sih?"
"Kemaren Gue lihat Lo sama Januar di coffee shop."
"Ya terus? Kenapa Lo heboh gini?"
"Harusnya Gue foto, terus masukin menfess kampus, cocok banget asli. Mana outfit Lo berdua formal senada banget."
"Lah emang iya, sengaja."
"Sengaja?"
"Yaiya, masa Gue ketemu Januar calon pentolan Fakultas pake baju biasa, rusak reputasi Gue dong."
"Hahahahahahaha Adri ya Allah Dri," ujar Adam tertawa terbahak-bahak.
Adri tidak mengerti, "Apaan sih Bang?"
Adam masih saja tertawa, "Lo freak, tapi gimana ya ... duh, gak bisa jelasin Gue. Lo nyetel outfit cuma buat ketemu Januar?"
"Apa yang aneh sih anjir? Lo tuh yang freak."
"Gue penasaran reaksi Januar kalo denger Lo sampe segitunya."
****
Suasana aula tempat pemilihan ketua dan wakil ketua BEM itu sudah mulai ramai dipadati pemilih sedari tadi pagi. Waktu sudah menunjukan pukul dua siang, setengah jam lagi, Januar dan Gandhi akan datang ke TPS dan memberikan suara mereka.
Adam mendatangi masing-masing divisi panitia acara pemilihan itu, memastikan semuanya lancar dan tidak ada yang terlewat satupun. Sama seperti Januar, Adam juga termasuk pemimpin yang perfeksionis.
"Weh, Bang!" seru Jeffrey begitu berpapasan dengan Adam didekat bilik suara. Jeffrey baru saja datang.
"Eh, Jeff, udah kelar kuliah Lo?"
"Iya Bang, nih langsung kesini."
"Oh gitu. Lo sekelas sama Adri gak sih?"
"Iya Bang, katanya dia mau makan dulu baru kesini."
"Oke deh, takutnya dia lupa, Gue kesana dulu, Jef."
"Oke Bang."
Setengah jam berlalu, namun sepertinya Januar terlambat, mahasiswa TI itu belum menampakkan wajahnya, padahal Gandhi, wakilnya sudah stay beberapa belas menit lalu di aula.
"Mana nih leader Lo?"
"Katanya makan dulu Bang, baru kelar kelas dia."
"Gak si Adri, si Januar, alesannya sama-sama makan."
"Mungkin mereka makan bareng kali Bang, gitu aja gak paham."
"Yeu, mulut Lo emang lemes banget Gan, curiga Gue jangan-jangan Lo nih admin menfess lambe kampus."
"Ya gak gitu juga kali elah. Tuh Adri noh sama Theo," tunjuk Gandhi ke arah meja registrasi di kanan.
"Nah kan, salah nih prediksi Lo, dia datingnya sama Theo, mau apa Lo?"
"Lah sewot."
"Hubungin si Januar buruan gitu, tim dokumentasi belum istirahat, tinggal nungguin foto pencitraan Lo berdua nih."
"Padahal Gue sendiri aja udah bisa Bang, udah ganteng dan karismatik."
Adam menggelengkan kepalanya menghadapi juniornya yang terkenal dengan kepercayaan diri tingkat tingginya itu.
Tak lama kemudian, Januar datang sembari berlari kecil. Adam dan Gandhi meliriknya tajam.
"Ets, sorry brother, tadi Bu Elvina manggil, ada perlu sebentar," bela Januar sebelumnya disemprot oleh senior dan rekannya itu.
"Yaudah sana cepat," titah Adam.
Januar dan Gandhi kemudian memberikan suaranya sesuai prosedur, tak lupa tim dokumentasi memotret dan merekam mereka.
"Pemungutan suara jam berapa Bang?" tanya Januar begitu mereka selesai.
"Jam empat, Lo jangan kemana-mana deh."
"Iya siap."
Januar kemudian duduk di meja barisan ketiga aula itu. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sesekali memejamkan matanya. Namun matanya menangkap seseorang yang tidak asing di kursi barisan paling depan. Itu Adri.
Januar kemudian berinisiatif menghampiri gadis itu.
"Adri?" sapa Januar. Ia kemudian duduk disamping Adri.
"Eh, Jan? Udah nyoblos?" tanya Adri sedikit berbasa-basi.
"Udah, nih," ujarnya sembari menunjukan ujung kelingkingnya yang sudah bertinta ungu itu.
"Lagi nungguin temen?"
"Iya, nunggu Theo, tuh dia masih di bilik suara."
Ekspresi Januar sedikit berubah ketika mendapati laki-laki berambut sedikit coklat dibalik bilik suara.
"Oh gitu."
Adri hanya mengangguk, "Kapan pemungutan suaranya?"
"Jam empat."
"Oh, oke. Sukses ya, semoga hasilnya terbaik buat Kamu, you do great, Jan," ujar Adri sembari tersenyum tipis.
Hati Januar untuk kesekian kalinya menghangat ketika melihat senyum tipis Adri. Ia tidak mengerti, padahal itu hanya sebuah senyum yang bahkan nyaris tidak terlihat.
"Thank you, Dri."
Adri hanya mengangguk.
"Anyway, kalo gak keberatan ... boleh stay disini dulu gak sampai selesai pemungutan suara?"