Chapter 8 - Closer

Pemungutan suara penentuan Ketua dan Wakil Ketua BEM periode 2020/2021 itu sudah selesai, dengan hasil akhir yang dimenangkan oleh pasangan Januar-Ghandi. Pasangan itu unggu 52 suara dari paslon Erlangga-Fatan.

Januar dan Gandhi sudah berdiri didepan podium untuk menerima ucapan selamat dari para audiens yang datang sampai pukul 7 malam itu. Januar dan Gandhi terharu sekaligus merasa tertantang, karena tentu saja ini adalah awal untuk mereka membangun BEM Fakultas Teknik yang lebih baik kedepannya.

"Selamat ya Januar, Gandhi, akhirnya deh Lo berdua bisa bersatu di puncak BEM fakultas hahaha," ujar Jevan yang jauh-jauh datang menyaksikan kemenangan sahabatnya itu.

"Thanks Jev, jauh-jauh dari SITH ke FT cuma buat salaman sama Gue," ujar Gandhi dengan percaya diri tingkat dewa.

Jevan hanya menggeleng, "Salah ngomong kayaknga Gue."

Januar, Gandhi dan Jevan kemudian tertawa bersama-sama hingga mata Januar menangkap Adri yang masih duduk di kursi audiens, dan berkutat dengan laptop dan kertas di pangkuannya. Januar tersenyum kemudian pamit pada teman-temannya untuk menghampiri Adri.

"Dri, maaf lama," ujar Januar sembari mendudukan diri disamping Adri.

"Hah? Gak papa kok, lanjut aja, kayaknya anak-anak masih ngantri mau nyelametin Kamu tuh," kata Adri sembari menunjuk barisan mahasiswa yang didominasi adik tingkat itu mengular dari sayap kanan aula.

"Ada Gandhi kok. Ini Kamu lagi ngapain? Input nilai praktikan?" tanya Januar meraih kertas yang sedang dipegang Adri itu.

"Iya, gak kerasa minggu depan udah kuis aja, nilai belum direkap."

"Hah? Matkul rekayasa proses? Yang Aku ambil Dri?"

"Iya, lupa pasti."

"Iya lupa, Aku sibuk banget ngurusin praktikum di jurusan soalnya, laporannya juga numpuk."

"Lagian Kamu kok ngambil minor yang sama sama sibuk?"

"Penasaran aja, katanya matkul Tekpang tuh susah-susah. Suka aja menantang diri."

"Ya, relatif susah."

"Tapi Dri, tau gak sih, quote nya Natalie Portman?"

"Enggak, gimana tuh?"

"Learning is beautiful. I like learning than studying. Jadi kayak mempelajari sesuatu tanpa berharap imbalan dan hasil yang bagus, itu menyenangkan."

"Oh jadi maksudnya learning with purpose just to improve your knowledge?"

"Iya, semacam itu."

"Itu teori yang bagus, tapi menurutku kurang tepat kalau itu dipakai di pendidikan formal. Di pendidikan formal, outputnya adalah keterampilan, dan keterampilan itu ada standardnya, kayak nilai, sertifikat. Gak bisa kan kita klaim 'oh Gue baru aja belajar psikologi' tanpa nunjukin apa bukti belajarnya?"

"Betul, but somehow, I just love it."

"Me too. Aku punya banyak interest yang Aku gak ingin membebani itu dengan nilai atau sertifikat."

"What are them?"

"Psikologi? Forensik, fine art, music."

"Do it then."

"Sure, I learn on EdX, you have to try it."

Januar tersenyum. Inilah yang membuatnya merasa nyaman dengan Adri. Entah mengapa orang lain seperti Gandhi menyebut Adri sebagai orang yang sangat tertutup, padahal Adri seasik ini jika diajak diskusi.

"Sini, Aku diktein nilainya."

Tidak ada penolakan dari Adri, Ia juga ingin pekerjaannya cepat selesai dan pulang. Sebenarnya bisa saja Ia pulang sedari tadi, namun anehnya, Ia tidak sampai hati menolak permintaan Januar untuk tetap tinggal di aula itu sampai sekarang.

"Selesai!" seru Adri senang.

"Habis ini pulang Kamu?"

"Kamu udah selesai? Katanya mau ditunggu sampai selesai."

Kalimat Adri barusan itu tiba-tiba membuat wajah Januar memanas.

"Bisa-bisanya dia ngomong tanpa ekspresi," batin Januar.

"Udah kok, Aku anter ya."

"Eh gak usah."

"Katanya Kamu gak bawa mobil, tunggu sini, Aku ambil barang-barang dulu."

Januar kemudian beranjak dari duduknya menuju meja tempat Ia menaruh tas dan jaketnya. Tak lupa, Ia harus membawa beberapa buket bunga dan cokelat dari BEM dan beberapa adik tingkatnya.

"Guys, Gue pamit duluan ya, thanks banget buat hari ini," ujar Januar.

"Yoi, pak Ketua."

"Cieee susah banget ya bawa hadiahnya, sini buat Gue aja deh kalo susah."

"Enak aje Lo, hadiah dari fans harus diterima."

"Iya deh Iya. Jangan lupa besok kumpul sama BEM lama Jan, sebelum pelantikan ada beberapa hal yang harus diluruskan."

"Asik, diluruskan gak tuh."

"Ya biar bapak Januar selalu lurus tidak seperti wakilnya."

"Anjir Gue diem masih aja dibully."

"Udah ya, pamit beneran nih Gue."

"Okee, bye Januaar."

Begitu Ia berbalik arah, Januar berpapasan dengan Adam.

"Weh, Bro, buru-buru amat."

"Iya, udah gak ada kerjaan kan?"

"Iya sih, tapi kan Lo biasanya sampe malem, sampe diusir dikampus. Heran aja Gue."

"Malem ini gak dulu deh, capek banget Gue, mau nganter adek Lo juga tuh kasian dari tadi."

Ia lantas melirik Adri di arah yang ditunjuk Januar. Adam membulatkan matanya sempurna.

"Heh buaya! Lo beneran?" ujar Adam sambil memukul bahu Januar keras.

"Sembarangan banget ya Bang manggil Gue buaya. Beneran apaan maksudnya?"

"Ya, Lo beneran ... lagi ... PDKT macem ABG?" tanya Adam ragu.

"Let it flow aja sih Bang, sadar umur Gue."

"Bro, Gue dukung Lo seratus persen. Kalo Lo berhasil, Lo bener-bener beruntung, asli sumpah demi aleks."

Januar tertawa pelan, "Paan sih Bang, yaudah thank you ya. Gue duluan."

****

"Mau makan dulu gak Dri?" tawar Januar ditengah perjalanan pulang.

"Gak usah Jan, gak laper."

Keduanya kembali terdiam, hanya alunan radio dan suasana kota Bandung menemani perjalanan mereka pulang.

Januar tiba-tiba membelokkan mobilnya ke jalur drive thru Hokben setelah mereka melewati lampu merah.

Adri diam tidak berkomentar, mungkin Januar belum makan, pikirnya.

Namun dugaannya salah, Januar membeli dua rice box untuk dirinya dan juga Adri.

"Eh? Gak usah Jan," tolak Adri halus.

"Gak papa, Kamu belum makan dari sore, walaupun gak lapar, paksain makan. Kamu orang sibuk, paksain makan walaupun sedikit."

Adri hanya terdiam, Ia seperti sedang dinasihati oleh ayahnya.

"Sengaja loh rice box, tadinya Aku mau ke McD, tapi sadar temenku anak Tekpang, gak suka junkfood pasti," ujar Januar sembari tertawa.

"Kata siapa? Aku penggemar Richeese level 4,"

"Masa sih? Jangan keseringan, ntar tipes Kamu."

"Iya. Tapi thanks ya, udah dua kali nih di traktir. Kapan-kapan Aku traktir Kamu deh."

Januar tersenyum, "Jangan kapan-kapan. Lebih baik kita sering-sering ketemu setelah ini."

"What for?"

Januar mengangkat bahunya, "Anything, apa Kamu gak mau mengakui kalau kita udah satu frekuensi pikir?"

Adri tampak berpikir, "Iya, kita satu frekuensi."

"And I don't want to lose people like that. Aku butuh orang yang seperti itu. I mean ... let's get closer, Dri."