Jawa Barat, 2030.
Beberapa pengelana sedang berjalan-jalan menyeberangi jalan tol. Para lelaki berjalan di depan rombongan sebagai pemandu sedangkan wanita dan anak-anak di belakang. Sepertinya mereka sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan kecuali apa yang mereka bawa sekarang, seperti kami-kami sekarang.
Mereka datang ke arahku, meminta pertolongan agar mereka bisa menetap di dalam tempat dibelakangku. Tempat tinggalku berpagar beton dengan penjaga yang dapat terlihat berdiri membawa senapan alat berat.
Didampingi rekan kerja disampingku, aku bertanya apa yang bisa mereka berikan untuk tempat tinggalku jika mereka diizinkan masuk. Mereka menjawab akan memberikan pengabdian pada tempat itu. Lalu aku bertanya pada lelaki pemimpin rombongan, apakah dengan mereka yang dibelakangmu itu?
Ia langsung mengangguk. Di saat yang sama salah seorang dari kami lari ke belakang memberitahu apa saja hasil negosiasi itu. Semuanya harus menjadi mudah kalau saja kami punya walkie talkie namun benda tersebut tidak akan bisa bekerja di tempat seperti ini.
20 menit aku hanya menunggu rekanku bolak-balik dari perjalanannya. Namun saat itulah yang paling mencekam pada kegiatan ini. Ia kemudian balik dengan cepat ke tempatku berdiri lalu mengambil nafasnya yang tersengal-sengal.
Rekanku kemudian membisikkan sesuatu di telingaku. Aku hampir menampar wajahnya karena berita itu, namun profesionalisme menyuruhku memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Kami mundur beberapa langkah. Para pengelana terus menanyakan apa yang terjadi terutama saat melihat rekanku yang satu lagi yang sedang mengangkat tangan kanannya.
Mendadak suara senapan memecah keheningan. Pengelana yang baru kuajak bicara tumbang tanpa aku bisa melakukan apa-apa, lalu disusul oleh orang-orang di belakangnya. Suara teriakan pecah seiring dengan korban jatuh dan suara senapan terus berbunyi dibelakangku.
Aku menoleh ke arah rekanku, penasaran apakah mereka melihat kalau perbuatan mereka sungguh tidak beradab. Namun mendiskusikan hal seperti itu adalah pemberontakan di tempat tinggalku ini.
Tidak sampai setengah menit para pengelana di hadapanku sudah menyentuh tanah. Tak pernah pandang bulu tempat di belakangku jika melakukan hal seperti ini. Dua kata yang menjustifikasi perbuatan mereka yaitu "sudah penuh" yang dibisikkan pada kami pengurus.
Tidak ada tempat bagi para pendatang. Mereka mati karena tempat di belakangku menolak untuk menampung orang lagi.
=============================================================
Namaku Amirda Husein Renata, namun bisa dipanggil Amir saja. Aku berumur 21 tahun berkulit sedikit putih dengan kumis tidak terlalu lebat dan lusuh karena keringat bekerja seharian. Tubuhku sedikit berisi mungkin karena kebanyakan berlarian dan menenteng senjata berat yang tidak langsung melatih tubuhku. Namun semua itu membuat tubuhku gampang keroncongan.
Bagaimana aku menjabarkan situasiku sekarang ini ya? Aku berada di sekeliling bangunan-bangunan lebih tepatnya bangunan gudang dan pabrik. Corong-corong asap yang kokoh menjulang tinggi sudah sekian lama tidak mengeluarkan isinya. Suara bising kendaraan dengan perpaduan hawa panas sudah lama hilang, tergantikan suhu yang sedingin negara eropa.
Karena suatu hal, aku berakhir pada suatu kompleks kawasan industri di pinggiran Tol Pantura. Bersama dengan orang-orang ini yang kurang lebih bernasib sama denganku. Sebagian besar hidupku sekarang dilakukan di dalam hutan beton dan aspal. 2 tahun 7 bulan. Diriku sudah berada di sini dalam jangka waktu itu tanpa pernah menjelajah lebih jauh.
Kejadian kemarin masih saja menghantuiku. Apa yang mereka lakukan sampai harus menerima nasib seperti itu? Percuma memikirkan seperti itu apalagi membicarakannya ke orang-orang ini, yang ada hanya akan menyusahkan hidupku pada tempat ini.
Seperti yang mereka bilang: 'Ingat, peraturan harus dijaga dengan nyawa kalian! Jika kalian melanggar peraturan sama saja kalian melanggar keselamatan pada nyawa kalian'. Atau kalimat di atas dapat diartikan sebagai: 'Jika kalian melanggar peraturan, kami akan benar-benar membunuhmu'.
Mimpi buruk berkepanjangan terus membayangiku meski aku belum membentuk hubungan emosional terhadap para pengelana itu. Jadwal tidur yang berkurang merupakan salah satu kendala utama dikarenakan pekerjaan ini menuntut tubuh yang fit, tapi entah kenapa efeknya baru terjadi sebulan ini?
Bel pergantian shift membangunkanku dari lamunan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Orang-orang berpakaian jaket hitam dan dalaman hijau mulai memenuhi lapangan menggantikan orang-orang berpakaian sepertiku yang memakai dalaman kuning, semuanya dilakukan setiap hari pada momen yang sama.
Tempat ini dikekang ketat oleh peraturan yang bertujuan untuk mengamankan tempat terpencil ini. Aturan dibuat sedemikian rupa agar tempat ini terjaga 24 jam. Di dalam pagar atau pada kasusku yang berpatroli di luar, kami saling bahu membahu menjalankan tugas-tugas dasar bertahan hidup seperti patroli, bercocok tanam, beternak.
Menurut jadwal sehari-hari, jam 5 merupakan waktu pergantian shift. Kini aku berada pada salah satu gudang paling terang di tempat ini. Tapi terang disini adalah terang dipenuhi oleh lilin-lilin yang cukup untuk menerangi sudut-sudut gudang.
Orang-orang berlalu lalang menghampiri pintu gudang yang luas pada jam segini. Gudang dihadapanku sudah diubah sedemikian rupa menjadi sebuah kantin untuk memfasilitasi pertemuan antara dua shift ini, dimana satu-satunya waktu untuk bercengkrama setelah sehari-hari bersikap kaku dan taat terhadap peraturan.
Semua orang dengan cepat mengantri pada stand prasmanan yang disediakan pada 3 sisi gudang. Para pramusaji berseragam biru mulai membagikan kombinasi antara lauk, sayuran, ataupun buah-buahan sesuai takar-takaran hanya mereka yang hafal. Kadang kalo hari bagus dikasih nasi yang menggunung, namun hari sebaliknya kami hanya mendapat nasi tidak lebih dari 3 suap sendok, sampai-sampai beberapa dari kami harus menyogok para penjaga di lumbung hanya untuk tidur tanpa perut keroncongan.
Tanganku lemas mempersembahkan piring berukuran besar pada pramusaji.
"Oh tersenyumlah nak, kalo murung seperti itu tidak ada jatah makanan tambahan loh!" goda Ibu pramusaji.
Senyuman menyeringai kuperlihatkan seketika. Ibu pun tertawa lalu kemudian mulai menuangkan kombinasi lauk dari sendok besar mereka di atas piringku.
"Mir!" beberapa orang mulai memanggilku dari belakang saat aku mulai mencari tempat duduk. Mereka teman-temanku Clara, Bobby, Rudy, Syarif, Sadikin, dan Sinta yang kebetulan bertemu di tempat ini setelah kejadian itu.
Beberapa dari mereka berasal dari divisi siang atau divisiku dan beberapa lainnya berasal dari divisi malam. Seperti biasa mereka membicarakan tentang masalah pekerjaan hari ini. Seriusan, lebih baik pikiranku memikirkan hal-hal selain pekerjaan pada saat ini.
"Hei Amir!" ujar Clara menjentikkan jarinya di hadapan mataku yang sedang melamun.
"Iya-iya aku dengar kok ra," gerutuku. Aku menghampiri mereka.
"Jadi bagaimana kabar kalian bertiga di divisi siang?" ujar Clara seperti biasa berusaha mencairkan suasana.
"Buruk sekali," celetuk Bobby yang peluh keringatnya masih bersisa di wajah gemuknya. "Kurangnya bahan bangunan membuat tembok selatan hampir seperti benteng bantal. Tanah liat dipakai sebagai tambalan bagi lapisan seng dan batu, bahkan sekarang sebagai pengganti semen untuk mengikat batu. Lama kelamaan batu saja sekalian yang diganti tanah liat. Itu akan menahan peluru senapan berat dari dunia barbar di luar."
"Tempat ini memang akan benar-benar hancur. Kenapa perlu repot-repot?" balas Sinta yang tengah merapikan rambut bergelombangnya tanpa beban pikiran.
"Masa begitu?" tanyaku mencibir.
Ia melirikku tajam. "Kalian tidak tahu ya, sudah hampir 2 bulan kami tidak menerima kabar dari teman kita Pasukan Aliansi. Apa mereka memutuskan hubungan dengan pasukan kita?"
"Mungkinkah mereka sudah takluk pada para pemberontak itu?" tanya Sadikin terkekeh.
Namun tidak ada yang merespon lelucon buruk seperti itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Utusan mereka juga tidak datang hari ini," tanyaku penasaran.
"4 bulan! Sudah 4 bulan yang lalu ketika mereka terakhir datang untuk membeli bahan pangan kita. Mir, tidak ada kabarkah? Berhubungan pekerjaanmu yang paling dekat dengan kedatangan mereka," Sinta menghitung jari kirinya.
"Kami juga berandai, tapi tidak ada seorang pun yang dapat info. Banyak info yang berseliweran kalau mereka kalah perang dengan Pasukan Elang, tapi aku tidak tahu," jawabku.
"Kalian benar-benar membuatku tidak nyaman melakukan pekerjaanku selanjutnya," keluh Clara. Aku dapat melihat bola mata Sinta berayun.
"Ngomong-ngomong bagaimana kabarmu Amir? Kamu terlihat tak biasanya menyebalkan," tanya Sinta tersenyum nyengir.
Aku menghembuskan nafas dalam. "Seperti biasa." Diriku sangat tidak ingin melanjutkan percakapan panas ini.
"Kamu kenapa akhir-akhir ini? Berbagilah dengan kami, tidak ada yang akan menangkapmu diam-diam kok pada malam hari." Clara terdengar khawatir.
"Tidak ada apa-apa kok, tenang," jawabku memasang senyum palsu.
================================================================
Peta Jawa Barat 2030 ada di kolom komentar