"Hei Amir," panggil Fuad sepuluh menit kemudian setelah disibukkan oleh leluconku, "Ingatanmu setajam orang lanjut usia ya? Kenapa semakin kesini semakin lupa?"
"Hanya tidak enak badan saat rapat sebelumnya," jawabku.
"2 hari berturut-turut tidak enak badan? Bilang saja tidak memperhatikan," potong Leo menaikkan nada bicaranya.
"Sudah jelas ada sesuatu yang terjadi pada 2 hari terakhir," ujar Fuad menghembuskan nafas, "Sebaiknya kau mengaku sekarang, siapa tahu ada keringanan untukmu sebelum kami membongkar semuanya."
Aku hanya menggeleng. Mata mereka menatapku begitu tajam sampai keringetan. Mulutku seperti terkunci rapat karena sudah tau apa yang akan dilontarkannya tidak begitu berguna.
"Jadi coba kusimpulkan, Amir beberapa hari ini menjadi tidak fokus memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari tempat ini. Kebetulan sekali malam ini ia mencari tahu jalan keluar itu. Tapi apa yang mendorong orang sepertimu untuk pergi?"
Leo mengibarkan secarik kertas di belakang Fuad dan memberikannya. Aku tahu bahwa perjalananku akan berakhir.
"Jadi ini penyebabnya," Fuad tertawa.
"Baiklah, baik! Aku memang berencana berkhianat!" ujarku sudah tidak peduli.
"Siapa yang mengirimmu ini?" tanya Leo mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Aku tidak tahu. Tapi kau sudah mendapat pengakuanku secara penuh. Iya aku memang berencana keluar dari sini".
"Tidak! sesi interogasi ini berakhir setelah aku putuskan," tinju Leo menyikat pipiku, "Siapa Melodi yang dimaksud ini?"
"Melodi Amartapura, seorang wanita berumur 21 tahun dari Divisi Siang yang sempat akan menjadi calon wakil ketua denganmu. Ia tiba-tiba mundur sebelum pelantikannya, lalu 3 bulan setelah kemundurannya, ia menghilang," jelas Fuad.
Semuanya terdiam. Leo beranjak dan pergi menjauhiku. "Ya aku ingat dia, ia benar-benar hebat. Jujur ketika melihatnya menjadi saingan, aku tidak yakin akan menang menjadi wakil ketua."
"Kamu dekat ya dengannya?" tanya Leo.
Aku hanya mengangguk.
"Iyalah, kalau tidak, mana mungkin ia akan mengontakmu tiba-tiba," tawanya.
Fuad berdiri lalu duduk di salah satu kursi di pojok, "Baiklah, sesi interogasi berakhir. Hari ini menandakan hari terakhir Amirda Renata memberikan jasanya yang terakhir untuk kompleks ini. Semoga perjalanan selanjutnya di dunia sana semakin berkah."
Setelah 2 tahun berjuang, pupus sudah harapanku tanpa mengetahui kenapa kabut itu bisa terjadi. Apa yang kau lakukan diluar sana Meli? Apa benar kau akan menyelamatkan kita semua?
"Hei Fuad, lihatlah prajurit ini menangis!"
"Biarkan saja dia menangis, dia sudah bukan lagi prajurit."
"Kami hanya bermain-main denganmu, kau tak akan jadi dihukum," Leo menekan kepalaku. "Toh kami juga kebetulan bertemu denganmu. Semua orang juga suatu saat pasti merasa seperti dirimu. Cuma masalahnya kau tidak terang-terangan menghancurkan semuanya hanya untuk lolos, ya menurutku itu cukup".
Aku tidak percaya yang baru saja kudengar. Perlu waktu lama agar orang meyakinkanku yang mana khayalan dan bukan.
Aku diam sejenak. Tidak yakin dengan apa yang akan kulakukan selanjutnya.
"Kau boleh mempercayai kami," Fuad tiba-tiba beranjak seperti membaca pikiranku. "Bagiku semua orang berhak mencari kebebasan mereka sendiri-sendiri dan tidak terikat oleh rantai apapun, makanya daripada membiarkanmu mati konyol akan kulepaskan dirimu tapi dengan syarat jangan pernah kembali lagi kesini, mengerti?"
"Maafkan aku, lain kali tidak akan kuulangi. Aku berjanji," jadi memang benar. Tidak akan ada jalan keluar dari sini, mereka berdua pasti mencurigaiku seumur hidup. Sudah saatnya bersiap menghabisi sisa hidupku di dalam kompleks ini. Kertas yang dikirimkan Melodi tidak berharga dan malah akan mencelakakanku suatu saat. Kau harus biasakan dirimu mulai dari sekarang Amir!
"Jadi apa boleh saya kembali ke barak?"
Mereka menatap satu sama lain lalu tertawa bagai guntur.
"Tidak semudah itu sob, apa kau pikir kami cape-cape menarikmu kemari hanya untuk bermain-main?". Leo mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Ia berjalan mendekatiku. Aku menelan ludah. Mata pisau sangat dekat dengan telingaku.
"Tenang, kami akan membebaskanmu," ujar Leo masih memainkan pisau di dekatku.
Aku menghela nafas. Kupikir ia ingin benar-benar membunuhku.
"Membebaskanmu dari kompleks ini!"
Haha sial aku pasti berkhayal, pasti ada kalimat sambung setelah itu. Tidak, ini semua terdengar terlalu baik. Kalau mereka hanya bermain-main, kenapa harus jam segini dan di tempat seperti ini?
Leo dan Fuad membuka jaket kompleks mereka lalu mengambil sebuah rompi di sebuah gantungan pojok ruangan. Mereka menaruh semua atribut kompleks seperti membuang kain yang sudah tak terpakai.
Rompi itu mengingatkanku pada sesuatu. Mengingatkanku pada tumpukan poster yang selama ini digembar-gemborkan di seluruh kompleks. Namun bisa saja itu bukan rompinya dan ia hanya mengenakannya karena alasan-alasan tidak masuk akal. Tapi siapa disini yang ingin memakai rompi menjijikkan itu?
"Perkenalkan Leonardo Gustiawan, salah satu anggota terhormat Elang Kebebasan. Wakil ketua Divisi Inteligensi cabang kompleks," Leo mengeraskan otot lengan kanannya melingkari lehernya sembari mengacungkan jempol.
"Fuad Ibn Rozaq, Ketua Divisi Intelegensi Pasukan Elang cabang kompleks," ujarnya hanya duduk di seberangku sama sekali terlihat tidak tertarik.
"Tidak mungkin! Kalian bercanda kan?" tanyaku seolah kejutan seperti pukulan telak menuju perutku.
"Tentu tidak Mir, kami sama sekali bukan di pihak kompleks ini. Kami juga berharap kamu melakukan hal yang sama," dia melipat tangannya.
"Lebih baik aku memakan kotoran daripada membiarkan kalian lolos."
"Tutup mulutmu! kami sebenarnya peduli padamu tahu. Kau mau kan melihat Melodi tercintamu itu? Ia berada di kota itu, menunggumu," tawa Leo.
"Omong kosong!" teriakku.
"Dengar! Ini bukan masalah dia disana atau bukan, kami adalah tiketmu keluar dari sini tanpa dirimu harus menyusun rencana berbulan-bulan bahkan tahunan untuk keluar dari penjara ini. Pasukan Elang dengan senang hati menerima pengkhianat dari latar belakang manapun".
"Bukan tujuanku bergabung dengan pasukan kalian, aku hanya ingin bertemu dengannya," ujarku menunduk.
"Lalu apa? kamu ngga akan bisa bertahan disana tanpa memilih kubu. Pasukan Aliansi akan mengembalikanmu ke kompleks atau lebih buruk, mereka akan membunuhmu."
Aku menghela nafas. Pengkhianatan karena kabur dari tembok kompleks merupakan satu hal. Tapi jika bersama Pasukan Elang adalah satu hal lain, tapi tetap saja pengkhianatan. Kedua-duanya akan mencoreng namaku di luar. "Baiklah, aku akan bergabung dengan kalian. Asal aku menemukan Melodi terlebih dahulu."
"Janji?!" si pendek itu memberikan tangannya.
"Tanganku terikat." Leo langsung tertawa lalu membuka ikatanku.
"Sekarang setelah kami membuka ikatanmu, berjalanlah keluar kembali ke barak dan jangan lupa temui teman-temanmu mumpung ini hari terakhir kau akan melihat mereka," kata Fuad menepuk bahuku.
"Maaf aku tidak bisa." Aku tidak kuasa melihat ketidaktahuan mereka apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Temui mereka sebelum kau menyesal suatu hari nanti. Coba bayangkan perasaanmu dulu saat orang yang kau cari meninggalkanmu secara tiba-tiba."
"Ok!" Hembusan nafasku semakin dalam. Jantungku berdebar-debar seperti keadaan saat menunggu kabar yang tidak mengenakan. Bertemu mereka untuk terakhir kali hanya menambah keraguan yang semakin bergejolak di dalam hatiku.
Aku beranjak mengikuti para penjahat ini keluar ruangan. Aku bisa saja menghajar kedua orang lengah dihadapanku ini lalu menaruh rompi Leo sebagai bukti, tapi pikiranku yang lain ingin mendengarkan apa yang akan dikatakan Melodi tentang kejadian waktu itu, kenapa ia meninggalkanku, meninggalkan kami semua.
Tak kusadari pintu terakhir yang dibuka Leo mengarah ke dunia luar. Angin malam yang membeku mulai berdansa bersama bulu-bulu di leherku. "Temui kami di tempat yang sama besok! mengerti ?!"
"Tunggu tempat yang ma-" pintu dengan segera menutup memisahkanku di luar sementara para pengkhianat dari Pasukan Elang itu di dalam bangunan.