Chereads / Di Dalam Pengepungan! / Chapter 10 - Bintang Jatuh

Chapter 10 - Bintang Jatuh

Hal pertama yang bisa di deskripsikan dari terowongan ini yaitu ukuran diameternya yang sangat sempit sampai-sampai yang masuk kedalam sana harus perorang sambil merangkak pula.

Terowongan ini berbeda dengan ruangan di atas, bahkan tampak berbeda daripada ruangan dengan mayat sebelumnya. Terowongan ini bagaimana ya, tampak dibuat dengan kasar. Tidak ada tembok ataupun keramik di sekitar dinding terowongan, hanya ada tanah lempung dan sedikit batuan menonjol sebagai dinding terowongan.

Selain itu terowongan ini membentuk suatu sekuens, dimana 8 meter jalur akan mengalami keadaan lurus tanpa kemiringan lalu akan ada naikan setinggi setengah diameter lubang ini. Tidak ada yang mengomel akan kegiatan merangkak ini, jadi seperti yang kukira, mereka sering menggunakan jalur ini untuk lolos.

"Hei Amir!" panggil Ratna, "Kau tak keberatan aku bertanya?".

"Tanya saja," jawabku berusaha mendengar orang di belakangku itu.

"Apa yang akan kau lakukan ketika sudah bertemu Melodi?"

"Aku tidak tahu," jawabku, "Mungkin kami ingin menjauh dari keramaian untuk sesaat".

"Hidup di tengah hutan. Persiapkan senjata dan perangkap di setiap sudut lingkunganmu, tembak mati semua orang yang berkontak dengan kalian berdua. Apa itu benar-benar keinginanmu?"

"Sepertinya menarik," ujarku nyengir.

"Tidak tahu." Hanya itu yang terbesit dalam pikiranku. Perkataan Ratna memang ada benarnya, dunia di luar sangat sangat keras. Situasi di luar pagar ini benar-benar tanpa hukum, bandit-bandit merajalela di luar sana layaknya ranjau pada perang.

Tidak ada polisi atau tentara yang akan menindaklanjuti hal-hal semacam itu. Mereka terlalu sibuk bekerja di dalam tempat yang lebih beradab. Dalam hal ini 3 kota dalam cincin kabut dan kompleks ini. Namun dalam keadaan apapun aku tidak akan berlindung di balik sayap mereka. Sama halnya dengan kompleks yang akan membunuhku di tempat jika kembali ke tempat ini lagi.

"Sekarang giliranku bertanya, keberatan?" tanyaku

"Silakan, tapi tidak jamin akan memuaskanmu," jawab Ratna.

"Kenapa kau bergabung dengan Pasukan Sayap Elang?" tanyaku. Mendadak rombongan di depanku berhenti, namun untuk sesaat dan kembali merangkak.

"Aku percaya kalau kabut ini bukan bencana alam, tidakkah kau curiga?" ujar Ratna menaikkan nada bicaranya.

"Iya aku mengerti maksudmu tapi jika ini termasuk rekayasa pemerintah, lalu bukti konkretnya seperti apa?" balasku sudah menduga arah omongan ini. Percakapan ini bukan hanya terjadi padaku dan Ratna saja namun bersirkulasi disekitar orang-orang dalam kepungan kabut.

Kedua belah pihak saling menggugat satu sama lain akan keputusan memberontak ataupun tindakan pemerintah yang tidak terlihat. Akan tetapi, kedua belah pihak tidak punya bukti konkret terhadap pernyataan mereka.

"Ok kita benar-benar harus menghentikan obrolan ini," potongnya tahu betul pertarungan sempit yang bisa menuju pertumpahan darah karena obrolan macam ini. Tapi dalam hatiku aku masih ingin percaya bahwa pemerintah akan datang dengan bala bantuan.

Berpikir positif, mungkin saja ada hambatan di luar sana, hambatan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh kita, alih-alih menyalahkannya pada korupsi, ketidakpercayaan dan lainnya.

Sudah sekitar 15 menit tangan dan lututku bergesekan dengan kasarnya permukaan terowongan. Terkadang aku melirik bagian atas terowongan yang hanya beberapa senti dari kepalaku, hanya untuk mengira-ngira posisiku sedalam apa dan apa yang terjadi jika terowongan ini mengalami kegagalan.

Tidak ada struktur buatan untuk menahannya. Orang yang membangun ini semua pastinya sangat berani. Namun tidak ada yang mengeluarkan keluhan seperti yang kubayangkan.

"Ini mungkin agak personal tapi, kau berasal darimana?" tanya Ratna.

"Dari Jakarta," jawabku singkat.

"Pasti menyenangkan tinggal di sana, jadi bagaimana rasanya MRT?" tanyanya lagi.

"Keren!" ujarku singkat, "Mobil tidak ada apa-apanya dari kereta itu".

Ia terlihat berpikir, sekejap aku melihat kepalanya menengadah sedikit sementara mulutnya menganga sedikit.

"Kapan terakhir kau melihat gemerlap Jakarta?", tanyaku heran.

Ia hanya menggeleng. "Belum pernah Mir", jawabnya singkat.

"Kota besar yang lain pernah? Bagaimana dengan Ciragam atau Bandung?", tanyaku kencang.

"Hanya Bandung, sesekali aku mengunjunginya lewat Lembang", jawabnya santai.

"Kau tinggal di daerah pinggiran?", tanyaku.

Ia kembali mengangguk.

"Hei, kira-kira apa yang terjadi pada kedua kota tersebut sekarang?".

"Bandung sekarang menjadi kota hantu dibalik selimut kabut, nggak nyangka apa yang bisa dilakukan suatu kabut pada suatu kota besar," Ratna menghembuskan nafas.

"Ayolah apa ngga ada topik yang lebih menyenangkan?" tanya seseorang paling belakang dari mereka bertiga yang aku lupa namanya.

"Marahin Amir disini nih," kami pun tertawa.

Waktu di jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam. Sekitar 1 jam setelah kami menemukan terowongan ini. Alih-alih turunan yang kurasakan, terowongan mulai mengalami formasi yang aneh.

Beberapa meter terdapat jalur yang membentuk sudut 90 derajat, namun hanya untuk sekitar 2 meteran lalu kembali lagi pada jalur horizontal. Berkat jalur aneh itu kami dapat berdiri setelah merangkak sekian lama. Formasi itu terus berulang sampai aku merasa muak melakukannya berulang kali.

Semakin lama aku dapat melihat sebuah cahaya asing dari arah depanku. Pada formasi terakhir, Leo berdiri pada suatu formasi terowongan itu, namun kali ini ia hanya terdiam. Aku menatap orang-orang dibelakangku berpikir mereka akan menjawab kebingunganku. Namun terucap satu kalimat yang membuat tindakan ini semua berarti, yang selama ini ingin kudengar.

"Kita berhasil," ujar Ratna berbisik. Perlahan satu persatu dari kami naik ke permukaan. Cahaya di luar berasal dari bulan purnama yang tampak sangat megah meskipun sebesar uang koin lima ratusan, namun memberikan cahaya penerangan yang terasa menenangkan.

Padang rumput dan ilalang setinggi satu meter menyapa kami ketika menghirup udara malam segar. Kami sangat dekat dengan jalan tol pantura, hanya beberapa langkah saja dari pembatas tol. Di sekitar kami hanyalah padang rumput sejauh mata memandang, tingginya sudah sekitar pinggulku. Lalu terdapat cahaya samar yang sangat kukenal di belakangku, kompleks industri tempat tinggalku yang terlihat kecil dari sini.

"Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk berpamitan," ujar Ratna terlihat penuh debu dan tanah dari ujung kepala sampai kaki. Rambut dan wajahnya yang penuh senyum ternodai oleh jelaga coklat, namun jujur terlihat mempunyai kecantikannya sendiri.

"Ini bawalah sisa perlengkapan kami," lanjutnya memberikan 2 botol minuman 1 liter, lalu gulungan kertas dengan gambar peta dan kompas.

"Ini kau bisa berikan kepada salah satu dari kami jika membutuhkan pertolongan atau tempat bernaung." Fuad memberiku sesuatu, sebuah koin sekitar 3x lebih besar daripada koin lima ratusan namun dengan gambar burung elang pada kedua sisi. Kumasukkan koin tersebut ke kantong celanaku, berharap tidak akan menggunakannya suatu saat nanti.

"Hah? Apa maksudmu," aku menarik tangannya.

"Akhirnya tertangkap kalian!" sebuah suara muncul entah darimana. Mataku melirik segala arah, namun yang terlihat hanyalah hembusan angin yang meniup padang rumput. Mendadak muncul beberapa sosok orang di balik padang rumput, puluhan orang lainnya muncul dari balik pagar pembatas tol memakai jaket atribut hitam loreng abu, atribut yang sama yang kulihat malam itu.

"Angkat tangan dan jauhi klien kalian," ujar suara dengan nada tinggi yang familiar. Di hadapanku kemudian muncul sosok-sosok tidak asing, sosok si kembar Syarif dan Sadikin dari divisi malam muncul malam itu dan kemudian disusul oleh ... Clara.

Langkahnya tegap dan anggun di balik rumput-rumput ini. Bulan purnama mengambang di atas kepalanya seolah membimbingnya menemukan kebenaran akan kejadian ini, kejadian tentang teman dekatnya yang merupakan pengkhianat.

Dibelakangnya Sadikin dan Syarif mengarahkan senjata beratnya ke arah kami, begitu pula sisa divisi pencabut benalu mengepung kami penuh. Aku melihat orang-orang di belakangku mengangkat kedua tangan mereka tinggi-tinggi ke arah langit terkecuali Leo.

"Clara? Kau ketua pasukan Pencabut Benalu?" tanyaku.

"Kurang ajar!", Leo melayangkan tinjunya ke arahku, "Dasar pendusta! Akan kubunuh kau sebelum mereka yang melakukannya!".

"Angkat tangan wakil ketua divisi siang Leo!" ujar Clara menodongkan pistolnya. Ia berhenti, namun matanya menatapku tajam tidak pernah seperti yang kubayangkan. Clara dengan cepat berlari ke arahku.

"Ayo Amir, akan kuantar kembali," Ia menarik lenganku.

"Apa yang akan mereka lakukan padaku disana?" tanyaku ragu dengan betapa ringannya pelanggaran yang telah kuperbuat.

"Kau korban dan pelapor dalam situasi ini, hukumanmu tidak akan berat. Akan kujamin!" jawabnya tersenyum.

"Tapi aku melukai Bobby, ra! Hukuman bagi yang melukai teman sesama kompleks adalah salah satu yang terberat".

"Kami mengerti kau muak berada di dalam sana, seharusnya aku sadar lebih awal dan bukannya memberi masukan setengah-setengah, aku bakal membantumu sebisaku mulai dari sekarang. Kau tinggal harus percaya padaku untuk satu kali ini".

Diriku dengan cepat melepaskan genggaman tangan Clara. Para penembak mulai mengarahkan senjata berat mereka ke arahku.

"Tidak. Aku sudah tidak punya urusan lagi di kompleks itu ra. Di luar sana Meli memanggil dari kejauhan, ia berhasil mengetahui cara kabur dari jeratan kabut yang mengelilingi kita ra! Aku sudah memberikan para pengkhianat ini pada kalian, jadi bolehkah aku pergi dengan tenang?" mulutku lantang di hadapan Clara.

Percuma mereka menghukumku dengan hukuman kurungan, toh aku sudah terkurung di tempat itu selama yang kuketahui. Aku lebih baik mati disini daripada menghabiskan waktuku tidak menentu di kompleks itu tidak berbuat apa-apa.

Clara menatapku dengan penuh pertanyaan. "Apa? Kau kenapa sih? Bukan begitu cara kerja hukum ditempat ini Mir!", tanyanya. Tanganku dengan cepat meraih sesuatu di kantong celanaku. Clara mengambil secarik kertas itu dari genggamanku.

"Kau sungguh percaya pada sebuah secarik kertas yang tidak jelas asal-usulnya? Jangan membuatku tertawa mir.", ujarnya menggulung kertasku dan membuangnya ke tanah. Terlihat jelas perasaan frustasi dari wajah lonjongnya, namun ia melindas begitu saja harapanku untuk bertemu Melodi.

"Aku sudah membuat keputusan bulat untuk pergi dari sini", ujarku lantang, "Meskipun kau suka atau tidak, terimakasih atas waktu kita bersama-sama".

"Tapi bagaimana orang-orang yang telah kau habiskan waktu bersama, Syarif, Sadikin, Sinta, Rudi, anak didikmu Eric. Meskipun aku tidak begitu mengenalnya tapi ia sangat menghormatimu loh."

"Maaf kan aku ra, tapi aku akan mengikuti kata hati. Titip salam ya pada mereka!"

"Berarti kamu berniat melupakan kami, melupakanku, melupakan orang-orang yang telah menampung kita, begitu kan?" Clara menodongkan senjata pistolnya ke arahku.

"Iya." Satu kata tersebut turut serta membawa rasa cemasku akan teman-temanku. Bagiku tidak ada yang lebih penting dibandingkan Melodi. Aku akan melakukan apa saja minimal hanya untuk dapat melihat keberadaannya satu kali lagi. Masa bodoh dengan kalian, orang yang selamanya terperangkap dalam sangkar burung.

"Oh ... jadi begitu," Clara tiba-tiba tenang.

Syarif melangkah maju hendak membidik senapan beratnya. Jari jemarinya terpasang ketat di pelatuk. Aku merasa bidikannya tepat menuju kepalaku meskipun hanya beberapa senti dari tempatnya mengambil kuda-kuda.

Samar-samar aku mendengar sebuah suara. Seperti sebuah pemotong rumput mesin yang sangat mengganggu. Aku tidak mengetahui asal suara tersebut namun yang pasti yaitu, suaranya semakin keras.

"Suara apa itu?" tanya salah seorang prajurit di belakang Clara. Namun tidak ada yang menjawab.

Semua perhatian kepada kami seketika itu teralihkan sepenuhnya pada suara misterius. Sebuah cahaya muncul dari balik awan, namun bukan cahaya lampu yang kami lihat malam itu. Melainkan sesuatu yang membuat kami terbelalak karena memang di luar nalar.

Kobaran api dengan asap terlihat melayang di langit. Api tersebut terlihat berasal dari sebuah pesawat terbang. Burung mesin berukuran kecil dan sepertinya bukan pesawat penumpang pada umumnya, melainkan seperti pesawat capung yang kulihat pada film-film perang.

Lalu terdapat 3 baling-baling, 2 di kiri kanan, dan 1 baling-baling utama di moncongnya. Seperti sebuah komet yang sangat dekat melintasi bumi, pesawat tersebut terbakar dan perlahan-lahan jatuh menuju dataran dalam cincin. Namun itu bukanlah bagian yang paling mengejutkan, mesin tersebut muncul memecah kabut berkilometer di depanku.