Chereads / Di Dalam Pengepungan! / Chapter 12 - Kabut Kematian 2

Chapter 12 - Kabut Kematian 2

Telapak tangan kiriku terus menerus menekan kasarnya tanah di bawahku untuk menjadi tumpuanku kembali. Dayungan pertama, tubuhku bergerak ke belakang sejauh 30 senti. Dayungan kedua, pinggulku ke bawah sudah terasa lebih dingin dibandingkan tubuh bagian atasku. Dayungan ketiga, pinggulnya ke bawah sudah terlihat dengan jelas. Dayungan keempat, aku mulai bisa merasakan udara yang semestinya, mungkin begitu juga untuknya. Tubuh orang ini berat, mungkin sama beratnya dengan latihan tarik menarik ban truk di kompleks tiap pagi.

Seorang pria terkapar tragis di hadapanku. Dari raut wajahnya kira-kira umurnya tidak jauh lebih tua dariku. Perawakannya tinggi dan terlihat besar, mungkin karena jaketnya. Jaket bomber coklatnya sudah tidak terlihat mengembang lagi bahkan bagian jaket di lengan kanannya sudah kering berwarna hitam pekat.

Wajahnya lonjong dengan tulang rahang disekitar pipinya bagai ditempa, namun seperti di cat hitam oleh asap panas. Sepatu botnya sudah terkelupas namun tidak ada tanda-tanda terbakar oleh api. Dibalik jaketnya terdapat luka di lengannya. Darah menetes dari luka gores yang bagian permukaannya sudah berwarna merah segar.

Diriku dengan segera mengambil tas yang baru saja ditinggalkan di sisi lain pesawat tempatku masuk adegan. Sebuah kotak dengan tanda tambah merah mulai terpikirkan di benakku. Isi kotak ini terdapat perban, gunting, beberapa obat ringan, plester, dan alkohol.

Namun pilot itu tidak ada di tempat ia berbaring sebelumnya. Jaketnya masih tergeletak begitu saja. Sebuah benda dingin dan keras tiba-tiba tertempel di pelipis kananku.

"Jangan bergerak!" teriak sebuah suara parau dibarengi oleh suara seperti ada yang ditarik. Perkataannya sangat meyakinkan meskipun aku belum menengok ke arahnya.

"Sekarang aku akan bertanya ... dan kau akan menjawab ... sejujur-jujurnya, mengerti?" Suara itu terdengar kesusahan mengambil nafas. Aku hanya mengangguk saja. Selain dinginnya besi di pelipisku, keringatku pun mulai bercucuran efek dari ketegangan.

"Apakah di tempat ini ada penawarnya?" tanyanya terbata-bata. Hah? Aku membeku seketika, pikiranku berusaha menggali informasi dari dalam otakku saat menerima pertanyaan aneh pada telingaku.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Kami semua menunggu kalian untuk menemukan penawarnya, jadi dimana?" tanya pilot semakin melonggarkan todongannya. Aku menoleh, dan sebuah sosok pria dengan mata sayu memakai jaket kulit coklat setengah menghitam menatapku kosong.

Noda hitam sehitam oli menyelimuti pipi sampai telinga kanannya. Jari-jemarinya tidak kalah hitamnya menyebar sampai telapak tangan. Tangannya bergetar hebat hanya dengan memegang sebuah pistol. Seolah-olah dia yang ketakutan. Tatapannya menerawang sekujur tubuhku, seolah mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Lengan kanannya langsung kuserang dengan tangan kiri. Telunjuknya sama sekali tidak menekan pelatuk. Pistolnya terjatuh begitu saja, begitu pula dengan seluruh tubuhnya. Terjatuh begitu saja tanpa perlawanan layaknya menjatuhkan patung.

Tangannya lunglai kemudian ia menutup mata dihadapanku. Kedua tangannya memegang bahu, giginya berdenyit. Gesturnya persis sama denganku ketika selimut di 'barak' tidak bisa menghalangi hawa dingin dari ventilasi. Tunggu, apa orang ini baru saja menggigil kedinginan di tengah bara api?

"Hei bangunlah!", ujarku menyodok pinggul pria tersebut.

"Kau berasal dari dunia luar kan? Jawab pertanyaanku! Ada apa di luar sana, kenapa mereka tidak menolong kita?" semua pertanyaan yang kutahan selama 2 tahun terakhir keluar memberi tekanan pada kerongkonganku dan emosi yang luar biasa dari lubuk hatiku.

Ia hanya terbaring memeluk erat diri sendiri. "Oy, oy jawab pertanyaanku sekarang!" teriakku menendang kakinya. Mulutnya tak kuasa mengeluarkan batuk, gumpalan darah keluar begitu saja dari mulutnya.

Aku mengernyitkan gigiku. Jempolku menarik pengaman dengan sekuat tenaga tidak puas mendapatkan perlakuan seperti ini. Tidak Amir, tidak ada gunanya mengetahui jawaban dari orang terluka.

Tubuh orang itu lunglai meskipun berusaha kududukkan, seolah jiwa yang menyangganya sudah melayang menuju alam lain. Tangannya yang lemas melingkarkan dengan sendirinya pada leherku. Sementara kedua tanganku menggenggam kedua pahanya.

Perhatianku teralihkan pada bangkai pesawat. Cahaya terang benderang yang membara sebelumnya sudah padam dengan anehnya, terasa sangat cepat. Semuanya seketika tergantikan menjadi embun-embun putih yang sangat tebal.

Saking tebalnya, aku hanya dapat melihat tanah disekitar kedua kakiku saja. Pesawat ini jatuh di hutan ini dekat kabut lalu tanah disekitarnya terseret sedemikian rupa sejauh beberapa meter, embun aneh yang sangat tebal seperti ... seperti ....

Bulu kudukku langsung merinding kedinginan, seolah-olah dewa kematian membelaiku untuk mengingatkan pertanda buruk namun kuacuhkan begitu saja. Hawa yang panas membakar tiba-tiba berganti menjadi dingin seperti kulkas.

Pesawat ini mendarat di tengah kabut! GAWAT! Dengan secepat mungkin aku tenteng Sang Pilot meskipun ia sangat berat, tak bisa kutinggalkan saksi kunci terpenting kita mati di dalam sana. Kabut barusan tersamarkan oleh kobaran api yang terang bagai bintang.

Tapi bagaimana pesawat yang jatuh beberapa meter sebelum tembok kabut mencapai sejauh ini? Diriku teringat gerusan di tanah tempatku berdiri, tentu saja.

Kutatap terus jalanan di dekat kakiku sekarang. Gerusan tanah di bawahku akibat pesawat bisa menjadi kunci keselamatanku. Kulangkahkan kakiku tanpa menatap belakang. Jika benar, mayat-mayat yang baru saja kulewati mempunyai niatan yang sama denganku.

Jantungku berdetak teramat kencang, rasanya seperti melihat penampakan dunia lain untuk pertama kalinya. Aku sama sekali tidak bisa melihat lebih jauh dari kedua kakiku.

Hormon adrenalin berpacu sinergis dengan gerakan kakiku. Sebuah benda cepat melintas tepat di depan mataku. Sangat cepat seolah-olah itu hanya sebuah kedipan mata. Tapi aku yakin bahwa benda itu nyata.

Saraf-saraf kulitku merasakan energi kinetiknya membelah udara dan anginnya jatuh ke kulitku. Suara langkah kaki semakin keras di belakangku. Sesuatu baru saja mengejarku sekarang dan diriku tidak bisa melihat siapa orang itu.

Jalan keluar! Dimana jalan keluarnya? Semua gradasi berwarna putih abu-abu menghalangi penglihatanku. Aku tidak mau mati di tempat ini. Pikiranku tidak punya pengalaman untuk mencerna semua keanehan disekelilingku.

Aku merasakan dorongan dari belakangku. Sang pilot mengeluarkan suara-suara kecil dan anehnya bergerak tidak jelas, gerakannya seperti meronta-ronta. Kaki ini menolak untuk mengurusi lebih dari ini, seolah-olah mereka dapat merasakan bahaya jika sedetik saja diam di tempat yang terlupakan ini.

Rasa sakit menjalar tiba-tiba dari lengan kiriku, mendadak berat pilot ini menjadi berkali lipat. Kakiku mendadak kesemutan setelah itu, saking kesemutannya semua sensasi di kaki kiriku menghilang begitu saja.

Pepohonan mulai menghiasi penglihatanku sedikit demi sedikit, hatiku merasa lebih tenang, namun di saat yang sama Pilot di belakangku menjadi diam, diam yang membuat hatiku gelisah. Ujung hidungnya yang tajam menusuk dapat kurasakan menyentuh bagian belakang leherku, akan tetapi aku tidak bisa merasakan hembusan nafas menggigilnya.

Bangkai manusia terlihat menyambutku untuk kedua kalinya. Semuanya terlihat sama kecuali terdapat sebuah sosok, sosok bayangan berwarna hitam yang bahkan kabut pun tak dapat sembunyikan. Ia berjongkok lalu beberapa lama sosoknya berdiri, tingginya kira-kira sejengkal di bawahku. Sosoknya kemudian menggerakkan kakinya, bayangannya membesar namun tidak secepat saat ia tidak menggerakkan kakinya. Bayangan itu mulai berlari.

Sosok itu terus berlari menjauhiku, namun aku masih lebih cepat darinya. Aku merasa bayangan itu semakin dekat. Ingin sekali kuraih bayangan itu, namun kedua tanganku terkunci menopang bokong Sang Pilot di belakangku. Bayangan itu sudah berada di depanku. Tubuhku terus menerjang, tidak ada yang bisa menghentikanku. Kakiku serasa berlari di atas awan, terasa sangat ringan.

Bayangan itu nyata menabrakku. Pilot dibelakangku terlepas dari genggaman. Tubuhku terjungkal dan menabrak tanah yang kupijak, sakit sekali. Kubuka mataku hanya untuk menemukan bahwa, langit sudah dipenuhi bintang.