"Nov!" balasku.
"Iya ada apa?"
"Apa menurutmu tentang kabut yang mengurung tempat ini?"
"Gara-gara kabut itu saya tidak bisa pulang ke kampung halaman," ia mendadak muram.
"Tapi kalau kamu punya kesempatan untuk memasuki kabut itu, apa kamu akan melakukannya?", tanyaku lagi.
"Nggak deh Nyonya. Sama saja itu mah dengan bunuh diri," logat sundanya mulai terlihat meskipun ia bersusah payah menyembunyikannya demiku.
Setelah setahun, namun tidak ada yang pernah melewati kabut itu, selain aku dan si bodoh itu. Mereka akan terus-menerus terjebak dalam kepungan kabut ini sambil melakukan peperangan yang tidak penting kecuali untuk mengamankan apa yang bisa mereka amankan untuk diri mereka sendiri.
Apa Amir menyadarinya selama ini? Sial kenapa aku masih memikirkan orang egois dan tidak tahu diri itu, tentu saja ia kabur demi pujaan hatinya yang sekarang berubah menjadi sesuatu yang aneh.
Tapi kenapa cuplikan saat ia berusaha menembus kabut tipis untuk mengambil pilot itu terus-menerus berulang dipikiranku. Apa benar ia seegois itu tanpa sebab? Apa aku takut ... kehilangannya?
"Kita sampai Nyonya!" Nova membangunkanku dari lamunan.
"Hah sampai gimana? kabutnya masih jauh loh," aku menggerutu.
"Hanya sampai disini saja titik paling barat, kita tidak bisa lebih dalam lagi." Blokade berlapis-lapis terhampar menutupi jalanan luas, kira-kira hampir luas tol di kompleks. Mobil, barikade jalan, bahkan ada pasak kayu dan bambu runcing tajam yang menghadapku.
Rangkaian blokade ini terhampar sampai berpuluh, beratus meter ke arah kiri kananku. Ruko dan bangunan lainnya berdiri di tepi kabut, bahkan sepotong bangunan dapat terlihat menonjol sebagian sementara bagian lainnya ditelan kabut. Ditambah lagi Pasukan Aliansi bersenjata berat berpatroli di seluk beluk 3 lapis barikade.
"Banyak keluhan kalau orang-orang yang memasuki kabut merasa dipanggil dari dalam jadi kami harus menangkap mereka sebelum mereka benar-benar hilang di dalam," keluh Nova, "Tapi ya barikade ini hanya untuk menahan mereka yang nekat ingin memasuki kabut, bukan untuk melindungi apapun dari dalam kabut itu."
"Percayalah padaku, kau tidak ingin melihat apapun yang muncul dari sana," ujarku penuh kebanggaan.
"Betul" jawabnya kalem.
Seorang wanita berpakaian kumal mendatangi kami berdua. Lalu beberapa pria dewasa, lalu anak-anak. "Permisi nyonya, apa ini benar nyonya yang pernah masuk ke dalam kabut?" suaranya memelas sekali. Sepertinya mendengar percakapan kita berdua.
"Iya ... betul bu," jawabku sedikit malu-malu.
"Seperti apa di dalam sana?"
"Apa yang kau temukan disana?" kata si pria.
"Apakah anda menemukan seorang anak di dalam?" Pertanyaan bertubi-tubi menghajar menghujani pikiranku. Sebagian besar dari mereka berpakaian compang-camping. Tatapan mereka, semua tatapan mereka penuh kejujuran kalau mereka ingin jawaban yang sebenar-benarnya keluar dari mulutku.
Mata mereka menaruh harapan pada diriku. Sangat berbeda dengan semua orang yang kutemui di kompleks, yang memintaku hanya karena pekerjaan mereka yang belum tentu mereka tulus mengerjakannya. Orang-orang di hadapanku mengingatkanku pada Amir saat ia benar-benar meminta tolong padaku tentang kondisinya yang tak kuasa menembaki orang tak bersalah.
"Sudah-sudah kalian semua bubar!" Nova dan beberapa prajurit yang menjaga blokade turut memisahkanku dengan semuanya. Namun cara memisahkan mereka sangat tidak manusiawi.
Moncong senapan yang ditenteng dengan enaknya didorong menuju anggota tubuh pria dan wanita. Bahkan moncong peredam sempat menempel pada pipi seorang gadis kecil, dorongan senapan itu membuat anak itu menangis..
"Sudah pak, jauhkan senapan kalian dari gadis kecil ini," aku langsung mengelap air mata dari gadis itu.
"Kamu orang kompleks jangan sok menceramahi kita dalam melakukan pekerjaan. Orang yang lebih suka menembak mati orang-orang ini tanpa sebab sebaiknya diam saja," ujar salah satu prajurit.
Anak itu menangis semakin kencang. Tangannya yang mungil mendorongku sangat keras seolah ingin menjauhkan diri dari penjahat. Semua tatapan penuh harapan berubah menjadi tatapan amarah. "Sulit dipercaya, orang kompleks barbar yang pertama kali melewati kabut."
"Dasar pembunuh!"
"Kalian sama saja dengan Para Elang itu." Sesuatu menarik tanganku. Nova berada di depan membawaku menjauhi kerumunan.
"Nova katakan padaku! Apa pasukan kompleks benar-benar mempunyai reputasi buruk di Bandung?"
"Kami sebenarnya masih menganggap kalian teman, tapi ... kabar tentang perbuatan kalian menyebar cepat sampai sini. Masyarakat di sini tidak suka dengan bagaimana kalian memperlakukan orang luar yang benar-benar membutuhkan. Lagipula sebagian besar orang disini adalah pengungsi dari tempat jarahan Pasukan Elang," jelasnya sambil ngos-ngosan mengambil nafas.
"Jadi seperti ini? Aku akan terus dikejar oleh seluruh kota begitu?", tanyaku mulai kehabisan nafas.
Nova menggenggam dagunya berpikir. "Sebaiknya kita bersembunyi dulu mencari penyamaran!"
Aku melihatnya keheranan. "Aku tidak ingin merepotkanmu Nov, mereka menyasarku bukan kau."
Ia menatapku tersenyum. "Aku ditugaskan melindungimu Nyonya, atas perintah Sang penyelamat. Tidak bisa kubiarkan kamu terluka dalam pengawasanku."
"Oh iya aku lupa", aku sedikit kecewa. Kukira ia benar-benar tulus menolongku. Naif sekali aku pada seseorang yang baru saja kukenal. Sekilas di belokan kiri jalan beberapa muka yang kukenal tampak sedang mengantri.
Amir dan Melodi tampak mengantri di dekat salah satu bangunan dengan tanah yang luas. Pemandangan di hadapanku begitu indah, begitu berbeda dari bangunan-bangunan lainnya. Sebuah plang nama 'universitas ...' kelihatan sesaat. Universitas? Di jaman seperti ini?
Lalu di sudut mataku tepatnya di seberang jalan belakang mereka, seseorang yang kukenal nampak berdiri dengan rombongan Pasukan Aliansi lain. Fitur wajahnya tetap mencolok dibalik "kostum"nya mengikuti orang-orang didekatnya.
Kabar baiknya adalah ia juga memperhatikanku selama rentang waktuku melewati jalanan itu. Mulutnya menganga sama sepertiku saat melihat satu sama lain memakai seragam yang berbeda dibandingkan kemarin.
Gestur dan bahasa tubuh yang baru saja kami lakukan memberitahu bahwa kita akan bertemu lagi. Nova berbelok pada 2 belokan setelahnya lalu belok kiri lagi di sebuah rumah makan. Nova langsung memberiku jaket tebal entah darimana.
Ikatan rambut langsung kulepas. Ia lalu memberikanku topi sebagai sentuhan terakhir. Gerombolan pengungsi marah berlarian melewati rumah makan ini.
"Darimana kau dapat pernak-pernik ini," ujarku meraba lengan jaket kain yang anehnya masih dalam keadaan bagus.
"Itu punya saya semua Nyonya," jawabnya tersenyum.
Jantungku berhenti berdetak. Darah mulai mencuat ke dalam pipiku.
"Apa semuanya baik-baik saja Nyonya?" ia menatapku.
"Ng-nggak ga apa-apa kok, toilet kira-kira dimana ya?"
"Di pojok kanan disana," ujarnya menunjuk dengan telapak tangan. Secepat kilat aku mencoba menyembunyikan mukaku di toilet. Kenapa tatapannya begitu cemas melihatku tadi? Dia kan hanya menerima perintah doang untuk menjagaku.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanganku memutar keran sehingga air mengalir di atas tanganku. Wajah aku bersihkan perlahan menggunakan tangan yang sama.
Cermin dihadapanku memantulkan wajah seorang wanita yang akan mengakhiri misi mencabut para pengkhianat kompleks dengan cara apapun juga. Tetap fokus ra, kau disini untuk mengetahui apa sebenarnya dibalik keanehan Melodi.
Keluar dari kamar mandi aku harus tetap tenang. Nova terus memandangku sejak saat itu. Sesuatu membuatku menghentikan langkah.
Di belakang Nova tepatnya di luar di sebrang jalan, sosok yang mirip rekanku tadi melambai-lambai lalu gerakan kedua tangannya kemudian terlihat seperti kode familiar, kode yang kuajarkan khusus pada kelompokku ketika lisan tidak memungkinkan untuk memberi sebuah informasi penting.
Aku hanya bisa mengangguk karena Nova terus memperhatikanku. Dia langsung menoleh. Untungnya rekanku tahu dengan siapa yang kuhadapi sekarang.
"Apa ada orang diluar?" tanyanya bingung.
"Dengar Nov, kayanya ada yang perlu dibicarakan sebentar, jangan di sini tapi. Ini soal masalah tadi. Aku masih ingin lebih tau banyak tentang semua ini dari perspektifmu."
"Kira-kira mau bicara dimana?" tanyanya sopan.
"Ikuti saja aku."
"Siap, tapi pakai jaket ini dulu. Para pengungsi masih sibuk mencarimu diluar."
"Oke Nov," aku mengangguk.
Nova berjalan di belakangku. Rekanku di depan menunjukkan jalan di depan. Jarakku dengannya kira-kira 10 meter. Dia tahu bahwa Nova tidak boleh mengetahui sosok sebenarnya temanku itu. Kalau Nova berteriak, rekanku dalam bahaya.
Ia belok kiri pada sudut jalan sambil memperlihatkan muka bagian kirinya menghadap ke arahku saat berbelok, ciri khas wajah yang hanya kukenali. Sosoknya terus berjalan mencapai suatu gang yang tidak terlihat olehku.
Bagus! Ia berbelok saat Nova masih belum menyelesaikan belokan di belakangku. Kepalaku menengok gang tersebut selagi aku lari supaya seakan-akan aku tidak sengaja menemukan gang yang ingin kumasuki.
"Sini Nov!" wajah coklatnya berkeringat di belakangku.
"Ini kan gang terbengkalai. Rumah-rumah di samping ini sudah lama tidak berpenghuni", jelas Nova.
"Lalu?" tanyaku bingung.
"Tidak ada rekanku yang berpatroli disini jika ada sesuatu seperti tadi."
"Itulah yang kami harapkan." Peredam sebuah pistol menempel pada kepala Nova. Ia melangkah perlahan ke dalam rumah terbengkalai dengan kedua tangan terangkat.
"Sudah beres kencannya ketua?" tanyanya menggodaku.
"Lumayan, ia sungguh baik padaku. Terimakasih atas jaketnya." Aku melihat mata Nova berputar.
"Ada yang ingin kutanyakan pada orang ini ketua! Bolehkah ia diikat dulu? Ini ga akan lama kok."
Aku mulai mengikat Nova pada salah satu kursi di meja makan. "Sebentar, kau selama ini berada di mana? Lalu dimana kelompok kita yang lain?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada waktu, mereka semua dalam bahaya. Hanya orang ini yang bisa menjawab pertanyaan ketua."
"Dalam bahaya?" tanyaku semakin bingung.