Sadik menuntunku ke tempat dimana kami bertemu. Tangannya menunjuk pada pagar dengan lahan kosong luas di baliknya. Sebuah universitas ternama tertera jelas dengan abjad yang dibangun dari batu yang mengeja nama penuh universitas itu.
Institusi itu bangga telah mengabdi pada bangsa ini selama berpuluhan bahkan beratus tahun lamanya. Dari hasil penyelidikannya, aku tidak percaya saat Sadik bilang kalau seluruh lahan ini merupakan markas pribadi Melodi. Meskipun tempat ini sudah tidak dipakai sebagai sarana edukasi, apa dia menganggap sebagai orang terpintar disini?
Tampang Sadik sudah kuubah sedemikian rupa. Syukurlah bentuk wajahnya mirip dengan Nova tadi. Tapi masalahnya Nova wajahnya terlihat lebih boros darinya. Tambah sedikit kerutan dari debu-debu di lantai rumah tadi dan ia jadi terlihat mirip dengannya, kuharap.
Kami saling menatap. Matanya sedikit melotot, nafasnya begitu dalam, senyumannya yang begitu dipaksakan. Ia sama cemasnya denganku. Tapi tidak ada tanda-tanda ketidaksetujuan, mau tidak mau kita harus melakukan ini.
Satu-satunya jalan masuk berada pada pos masuk mobil itu.
Bangunan tinggi dengan jendela-jendela kecil berupa jeruji besi mulai terlihat dari kejauhan. Penjaga disini lebih banyak daripada yang selama ini kita lihat. Kaki ini terasa berat seolah dirantai pada tiang listrik di belakangku, dan kian berat seiring kakiku melangkah.
Mulai dari sini aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tanganku hanya bisa terus mencubit leherku seolah selalu ingin meyakinkan bahwa apapun yang terjadi semuanya akan baik-baik saja.
Aku ingin sekali berharap kalau ini semua hanya mimpi buruk dan selanjutnya hanya melakukan tugasku lalu dapat bertemu setiap malam dengan teman-temanku Rudi, Sinta, Syarif, Sadikin, Bobby, dan bahkan Amir sekalipun.
Tapi sekarang tugasku adalah melindungi mereka dari bahaya konspirasi kotor ini. Ingin sekali aku digotong dan dipandu oleh Sadikin di belakangku. Tapi pandangannya kemana-mana dengan membawa muka cemas, tidak baik memindahkan kecemasanku padanya.
"Tunggu Nona, ada urusan apa disini?" tanya salah seorang penjaga pada pintu masuk pos.
"Saya Clara, ingin bertemu dengan ... Sang Penyelamat. Apa ada di dalam?"
Ia menggeledahku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah selesai, pandangannya menatap Sadikin lama.
"Apa dia penjagamu disini?" tanyanya memelankan suara kepadaku.
"Betul! Ini prajurit Nova yang ditugaskan oleh Nyonya Melodi."
"Ada perlu apa kalian kesini prajurit?" tanyanya memandang tajam Sadikin.
"Nyonya ini mengeluhkan tentang pengungsi yang terus menerus mengejarnya."
"Ya, kenapa nggak lakukan yang biasanya Pasukan Kompleks lakukan?" penjaga itu dan lainnya tertawa terpingkal-pingkal. Tidak lama kemudian Sadikin juga ikut tertawa. Kau di pihak mana sih?
"Cukup bercandanya kalian!" mendadak satu ruangan terdiam, "Kalian bersembunyilah tapi jangan di tempat ini".
Mereka tetap menghalangi pintu pos. Sial, kami kehabisan kata-kata. Coba pikir, apa yang akan Nova laporkan jika kami berdua berada di sini.
"Tunggu dulu!" teriakku, "Aku akan memberi jawabanku pada Sang Penyelamat."
"Apa itu benar kadet?" sang penjaga malah berbicara pada Sadik.
"Ya betul, Sang Penyelamat ingin membahas jawaban itu."
"Baik, Silahkan masuk!" mereka menyingkir dari tengah jalan masuk. Aku menghela nafas pendek. Tak kusangka ini berhasil. Pos masuk pun terbuka.
Lahan luas nan hijau terbentang di hadapan kami. Patroli dalam tidak kalah ketatnya dengan luar. Sadikin nampak sama terkesimanya denganku. Mulutnya tidak berhenti menganga selama 5 menit. Tanaman rindang menutupi segala penjuru tembok merah luar. Aku saja yang berjalan selama itu menjadi lupa kita sebenarnya ada dimana.
Penjaga berkeliling membawa senapan berat memandang kami. Jalanan yang kami lalui bercabang namun Sadik tidak mengindahkannya dan hanya pergi menuju bangunan pertama yang dilihatnya. Bangunan tinggi dengan jendela berupa jendela-jendela besar hitam.
"Sudah lama aku ingin masuk ke tempat ini," aku mendengar Sadikin bergumam sendirian.
"Kau kok kagum masuk ke tempat penjahat itu?" tanyaku.
"Bukan! Sejak dulu, aku ingin sekali masuk ke universitas ini saat lulus SMA dulu. Tapi malah kebagian masuk ke universitas lain di dalam kota sana."
"Tunggu, kau pernah tinggal di kota ini?" tanyaku.
"Iya, sekitar 5 tahun lalu menyelesaikan studiku dan Syarif di kuliahan".
"Kalian satu kuliahan?"
"Nggalah, meskipun kami kembar, bukan berarti kami akan mati kalo tidak selalu bersama," jawabnya tertawa.
Mereka beruntung bisa kuliah. Tapi kapan lagi bisa mengobrol seperti ini. Tugas yang bejibun dan perbedaan jabatan menghambat kami untuk lebih mengetahui satu sama lain. Waktu istirahat pergantian divisi pun tidak dapat mengganti momen berharga sesama teman seperti ini. "Lalu bagaimana kalian bisa berakhir di kompleks bersama?"
"Kami berdua bekerja di Kota Ciragam, tapi aku duluan berada disana 3 tahun lalu dia menyusul di beberapa bulan selanjutnya, beda area kota, beda kosan. Lalu kabut muncul dan merubah hidup kami disana. Setahun setelah kabut itu muncul dan Pasukan Elang mulai menunjukkan pengaruhnya, ia pergi duluan ke kompleks sebelum keadaan memanas di kota itu. Lalu aku sangat beruntung masuk pengungsian terakhir. Sampai saat ini masih penasaran aku sama orang-orang yang tidak beruntung itu?"
"Aku juga kadang berpikir sepertimu," jawabku mencoba bersimpati padahal hal seperti itu baru sekali ini terlintas dalam pikiranku.
Sebuah dentuman keras memecah obrolan. Sesuatu seperti mencoba untuk mengetuk-ngetuk dari balik jendela hitam itu seolah memanggil kita. 2 orang Pasukan Aliansi datang dari pintu di ujung sebelah kanan. Mereka membawa pentungan di tangan kanan mereka. Kaca hitamnya pun diketuk-ketuk dari luar di dekat kami.
"Ketua, anda berpikir ini perangkap?" tanya Sadikin dengan wajah was was.
"Mungkin terlihat seperti itu tapi kita masih bisa memutar balikkan semua ini. Kita tak akan bisa kesini tanpa kau menyamar menjadi Nova, akan kualihkan ia ke suatu tempat lalu kita sandera dia sampai regu kita dibebaskan juga," jelasku.
Sadikin tidak berkata apa-apa. Ia selalu sulit diajak ngobrol kalau sangat was-was. Aku tidak bisa menyalahkannya karena itu tadi ide terburuk yang pernah terlintas di kepalaku. Penyesalan mulai datang setelah kami berdua menangkap Nova.
Tapi itu harus kulakukan sebelum aku memberi jawaban terakhir pada Melodi esok hari. Lalu setelah menangkap Melodi aku ragu seluruh Pasukan Aliansi akan begitu saja melepaskan kami semua. Ini tergantung pada apakah nyawa Melodi seberharga itu seperti yang kami kira.
Salah satu penjaga yang menunggu di pintu masuk utama datang ke arahku. Ia dengan cepat mengantar kami berdua sambil menyalakan obor yang dibawanya pada tungku api membara di tepi pintu.
Tegel di pintu masuk retak dimana-mana bahkan aku dapat merasakan kasarnya tanah di tempat tegel seharusnya. Ini tidak terasa seperti ruangan perkuliahan. Di dalam sini sungguh gelap. Hanya obor-obor yang tergantung di sisi tembok yang menuntun penglihatanku. Jeruji besi terlihat sejauh mata memandang.
Sisa-sisa tempat pembelajaran seperti meja dan kursi lengan meja berserakan di pojok ruangan. Papan tulis penuh dengan coretan-coretan mengganggu. Lalu penghuni 'ruang kelas' ini tiduran di lantai tanpa fasilitas yang jelas. Seorang wanita dengan cepat menulis sesuatu di papan tulis itu saat ia melihat ke mana arah pandanganku. 'Tolong Kami!'.