Dunia yang terhampar di depanku sudah mati mengenaskan. Masalah di hadapan kami benar-benar di luar jangkauan. Semuanya menunggu kepastian akan apa yang terjadi pada hidup mereka suatu saat. Karena sekarang kami terjebak pada suatu permasalahan serius tanpa jalan keluar. Meskipun begitu orang-orang disini melakukan sesuatu yang beragam terhadap 'masalah' tersebut.
Ada yang berusaha mati-matian untuk mencari tahu tentang masalah tersebut dan berusaha untuk menghilangkan 'masalah' itu tapi dengan sumber daya yang tidak sedikit dan orang-orang tidak senang karena upaya tersebut tidak membuahkan hasil, hanya korban dan kehilangan.
Lalu ada golongan lain yang berusaha hidup berdampingan dengan 'masalah' itu, bahkan menggunakan 'masalah' itu sebagai alat untuk mengambil kekuasaan.
Lalu yang terakhir, golongan kami, yang hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Setiap golongan mengingatkan orang-orangnya sendiri bahwa golongannya lebih baik. Tapi sekarang aku mulai mempertanyakan apa golonganku lebih baik dari mereka.
Krisis ini berawal dari pengumuman pemerintah untuk mendirikan kota baru di tengah pulau Jawa di pegunungan yang bernama Kota Ciragam. Tujuannya adalah yaitu memanfaatkan energi nuklir yang tersimpan di sisi utara sana. Pamflet diseluruh pelosok Indonesia, hanya untuk mengajak kami mengadu nasib di kota tersebut, sayangnya, aku bodoh menuruti kemauan mereka.
Semuanya berjalan biasa saja, aku mendapat pekerjaan yang bagus disana, sampai setahun kemudian setelah pembangunan kota itu, sebuah kabut misterius menyelimuti sebagian daerah di Jawa Barat. Yang sekarang menyisakan Kota Sumedang, Bandung Timur, dan Ciragam di dalamnya.
Kabut itu membentuk satu cincin besar yang memisahkan ketiga kota itu dan beberapa pegunungan dan dataran di antara mereka dari dunia luar. Di luar ketiga kota itu sudah dikepung oleh kabut aneh tanpa seorang pun yang mengetahui berapa kedalamannya. Jakarta, Cirebon, dan kota-kota di luar itu sama sekali tidak bisa dijangkau.
Orang yang memasuki kabut itu akan hilang dan tidak pernah kembali. Bukan hanya itu, tidak ada sinyal disini dan sebagian besar peralatan elektronik tidak mau menyala. Sampai saat ini tidak ada yang tahu kedalaman kabut itu.
Kami sampai detik ini menunggu bantuan dari luar tapi tidak ada yang datang. Semua alat komunikasi tidak memiliki sinyal apalagi data internet. Mobil tiba-tiba tidak mau dinyalakan. Bahkan tidak ada tanda-tanda seperti helikopter atau pesawat melewati langit yang cerah. Selain hilangnya orang-orang di dalam kabut, banyak hal yang lebih mengerikan yang terjadi di dalam pengepungan.
Kerusuhan terjadi di dalamnya. Absennya bantuan dari luar menimbulkan keresahan. Berbeda dengan bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami yang menimbulkan korban jiwa. Kebingungan terjadi dimana-mana. Orang-orang ini belum siap mendapat cobaan seperti ini, termasuk aku.
================================================================
Setiap aku berpatroli di luar, kabut yang berjarak kurang lebih 11 kilometer seperti memanggilku dari kejauhan. Apa yang sebenarnya Meli lakukan di luar sana? Ia adalah temanku yang berada pada divisi dan kelompok yang sama.
Wajahnya yang merah muda kecoklatan hampir selalu memperlihatkan goresan senyuman. Berbeda dengan orang-orang yang bercita-cita keluar dari kabut, impian Meli adalah membuat tempat ini menjadi lebih baik, yang seperti itu harus perlahan-lahan dalihnya.
Kadang sosoknya terlihat membantu mendirikan pos bagi kelompok pembangun, mengangkut persediaan kelompok panen, bahkan suatu kejadian saat aku tidak ada, ia menggagalkan sebuah 'kuota penuh' meskipun seseorang pernah menyebutkan alasannya kenapa bisa begitu namun tentu saja aku lupa. Sungguh sejumput cahaya pada keadaan mencekam seperti ini. Sampai 6 bulan lalu, ia hilang secara misterius dari kompleks.
Sosoknya begitu terpikir malam ini. Tidak ada yang menyangka sosok seperti itu pergi dari hadapan kami. Seolah-olah Tuhan sekali lagi menarik secara paksa kebahagiaan yang dibutuhkan orang-orang yang sudah mengalami banyak hal disini.
Kira-kira apa reaksi mereka kalau aku berakhir seperti Melodi? Rasanya seperti pengkhianatan. Tapi tempat ini tidak membawa apa-apa di dalam kepungan kabut, layaknya daun yang terapung di atas perairan. Jantungku berdebar kencang hanya memikirkan hal semacam itu.
Hari itu berjalan membosankan. Kegelapan dengan cepat membayangi seantero kompleks. Malam itu adalah waktunya rapat mingguan divisi siang. Seluruh anggota divisi yang bersangkutan diwajibkan untuk berkumpul pada ruangan api unggun.
Sebenarnya itu bukan ruangan sih, seperti bagian lahan kosong di balik salah satu bangunan industri terbengkalai di utara kompleks. Meskipun rapat di ruang terbuka, namun disana banyak gentong seng yang bisa digunakan sebagai tungku pembakaran.
Alat penerangan berupa obor dan api mulai menghiasi tempat suram ini. Memberi pekarangan kompleks industri ini sebuah tempat bernaung dari angin malam dan kegelapan. Orang-orang yang sebelumnya makan mulai berbondong-bondong ke arah utara.
Sebagian besar teman-temanku telah duduk lesehan. Obrolan-obrolan nyaring keluar dari mulut para hadirin yang memecah sunyinya malam. Karena kedatanganku yang tidak tepat waktu membuatku duduk paling belakang.
Tidak lama kemudian ketua divisi berdiri di atas panggung untuk memberikan briefing. Maksudku panggungnya adalah sebuah rangka besi yang ditempel kayu-kayu dipotong persegi panjang di atasnya.
Dia masih hidup! Kata-kata itu terulang dengan sendirinya di dalam benakku. Apa aku bisa keluar dari tempat ini? Apakah sepadan dengan konsekuensi yang akan kudapat? Jika aku melangkahkan kakiku keluar dari kompleks, penembak jitu dengan refleks kilatnya akan membunuhku di tempat. Kebijakan tempat ini tentang anggota yang kabur merupakan absolut. Namun tetap saja aku ingin bertemu Meli di luar sana.
Pikiranku tidak kuasa memikirkan konsekuensi mematikan tentang apa yang datang nanti. Seumur-umur orang yang keluar hidup-hidup dari tempat ini dapat dihitung jari, termasuk ... Meli. Tapi bagaimana ia melakukannya? Apakah aku bisa melakukannya? Jika pun berhasil keluar, aku mungkin akan kehilangan segalanya.
Tanpa disadari para hadirin sudah beranjak dari area sejuk ini. Sial, aku sama sekali tidak memperhatikan satupun ucapan ketua dalam rapat. Seolah-olah pikiran tentang Meli menutup segala informasi dari luar. Aku tidak ingin hari ini berakhir tanpa solusi. Waktu masih tersisa 30 menit sebelum jam malam.
Orang-orang telah memasuki gudangnya masing-masing. Mendadak muka-muka divisi siang yang kukenal berganti menjadi orang-orang divisi malam. Percayalah, mereka tidak suka orang dari divisi lain berkeliaran di jam mereka. Namun tetap saja diriku masih ingin berjalan-jalan sendirian sebelum masuk gudang.
Angin berhembus semakin kencang dari luar sana. Mataku memperhatikan gerak-gerik pasukan malam. Cara operasi mereka tidak jauh berbeda dengan pasukan siang. Hanya saja, tidak begitu banyak keributan. Sekujur pagar bagian dalam kuamati sampai kutemukan satu kelemahan pada benteng ini. Lubang pada pagar atau lubang galian yang mengarah keluar, apapun yang diperlukan untukku keluar suatu saat nanti.
Tidak mungkin aku keluar melalui pagar dekat pintu masuk. Yakin sekali kalau pagar di sekitar sana selalu dijaga dengan mantap. Mataku mengarah pada satu jalur dari perempatan utama ramai di tengah-tengah kompleks. Jalur menuju utara kompleks selalu memiliki pergerakan yang sepi dibandingkan 3 jalur lainnya.
Tidak ada bangunan yang difungsikan menjadi sesuatu yang berarti di bagian utara, kecuali bangunan untuk para petinggi di timur laut. Tapi itu pun butuh izin khusus melewati penjaga lagi disana. Sementara pada barat laut sampai utara benar-benar kosong.
Gelap, dingin, dan sepi. Itu 2 hal yang bisa dideskripsikan pada bagian utara kompleks. Jumlah tungku api semakin sedikit di saat yang sama kakiku melaju. Sementara itu angin malam semakin berhembus kencang. Kalau ini sesuatu yang selalu dilawan Divisi Malam, mereka pantas diacungi jempol.
Tembok beton yang kami lapisi nampak masih berdiri kokoh. Namun mataku masih belum percaya kalau tembok ini benar-benar kuat. Aku memandangi tong api terdekat yang menyala di kejauhan.
Sebenarnya tidak ada peraturan pasti tentang pemindahan tong api di tempat sepi seperti ini, tapi jika ada seseorang yang melihat, pertanyaan-pertanyaan pasti mengikuti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan membawaku dalam penyelidikan.
Seperti yang kuduga, banyak retakan halus yang terus menjalar dan membesar ke ujung utara. Tidak ada yang memelihara tembok ini, berarti di saat yang sama mereka juga tidak mungkin repot-repot memandangi keamburadulan dihadapanku.
Kira-kira sudah 20 menit aku menelusuri bagian timur laut tembok sampai dengan bagian terpojok kiri utara kompleks. Sebuah sosok tiba-tiba muncul menghalangi jalanku untuk menelusuri tembok utara. Sosok itu tinggi, tanpa wajah yang terlihat sedikitpun di kegelapan malam.
Sebuah tudung dan jubah tebal sama sekali tidak membantu dalam mengidentifikasi sosok itu. Kaki kananku mundur ke belakang. Sepatu botsnya keluar dari jubah yang menutupi, lalu diangkat ke arahku. Dari kedua aksi yang dilakukan, itu sama sekali tidak memperpanjang jarakku dan sosok itu.
Nafasku semakin tidak beraturan. Aku langsung berlari. Tapi langkah sepatu bots di belakangku tidak kalah cepatnya dengan ritme sepatuku, demi tuhan aku tidak berani menoleh kebelakang. Apa mereka tahu kalo aku akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak di tengah malam begini?
Aku langsung berbelok memasuki bangunan tak berpenghuni di kiriku. Lantai-lantai ubin retak dan hewan-hewan melata kembali merayap ke dalam kegelapan. Koridor dengan 6 pintu terbuka terhampar dihadapanku. Semuanya berdebu, bau, dan berantakan.
Sebuah palu dengan praktisnya berada di bawah kakiku. Salah satu ruangan terasa berbeda dari yang lainnya. Sofa dan perabotan berdiri di tengah ruang, berbeda dengan ruangan lainnya yang sudah tidak teridentifikasi dulu digunakan sebagai apa. Karpet sebagai lantai sudah tercerai berai, sebagian besar sudah membentuk gundukan.
Langkah kaki terdengar samar. Saking samarnya membuatku harus menahan nafas untuk mendengarkannya lebih seksama. Sebuah bayangan melintasi ruangan. Sosok hitam itu mulai memasuki ruangan dengan sofa.
Kedua tangannya mengenakan sarung tangan dengan tangan kanan memegang suatu benda metalik. Mudah-mudahan pergerakan mataku dibalik bolongan karpet tidak terlihat olehnya. Sosok itu masuk ke dalam ruangan. Gawat! Aku tidak bisa melihat lebih dalam ke pintu.
Bunyi langkah kaki semakin variatif. Bayangan bernari-nari melewati lubang ini. Setiap langkahnya berhenti, aku bisa merasakan tangannya sebentar lagi menarik salah satu bagian tubuhku dan memukulku sampai pingsan atau lebih buruk, ia benar-benar mencoba membunuhku.
Sebuah tangan menggapai leherku dari luar. Tubuhku ditarik keluar. Kakiku reflex menendang perutnya, ia berlutut di tanah. Apa dia pasukan rahasia kompleks? Tidak ada yang pernah membicarakannya selama ini. Sebaiknya ia kubuat pingsan dahulu.
Tanganku mengayunkan palu kepada orang yang lengah ini. Tangan kanannya menggenggam batang palu. Tidak mungkin! Aku menelan ludah. Bagaimana ia tahu batang palu ini jika ia sama sekali tidak melihat arah datangnya serangan?
Ia bangkit selagi masih memegang paluku. Tangan kanannya kembali mencengkram leherku. Tangan kirinya menarik palu dari tangan kananku dengan tenaga yang luar biasa. Jari-jariku tidak kuasa menahan tenaga sebesar itu.
Orang ini bisa saja merobek tanganku jika ia mau. Sosok itu anehnya terus memendek dihadapanku. Bukan, langit-langit semakin menyentuhku. Hanya dengan satu tangan, sial!