Chereads / Di Dalam Pengepungan! / Chapter 4 - Perjanjian Dengan Iblis

Chapter 4 - Perjanjian Dengan Iblis

Sebuah dataran luas terhampar bagaikan lukisan di hadapanku. Aspal tempatku tertidur terasa sangat panas seperti diterangi sinar matahari. Hampir saja aku melompat memikirkan sebuah mobil. Namun jalan bebas hambatan ini masih sama kosongnya. Kenapa aku bisa tiba-tiba berada di luar sini?

Aku tidak melihat tanda-tanda kompleks dari sini. Apakah ... aku bebas? Mendadak rasa bingung berganti dengan senyuman. Aku berteriak dan tertawa sekeras pita suaraku dapat menahannya. Seolah-olah rantai yang membelenggu kakiku hilang seketika.

"Kemari", sebuah suara menggema mengagetkanku. Sebuah sosok perempuan tiba-tiba berdiri beberapa meter di belakangku. Rambutnya hitam dibiarkan panjang sampai menutupi punggungnya.

Pakaiannya mengenakan seragam kompleks yang tidak feminim dan cenderung memaksakan. Akan tetapi segala jenis pakaian tetap cantik ketika ia kenakan. Meskipun sudah lama tidak melihatnya dengan seketika aku mengenalnya.

"Mel, Meli?", tanyaku kepada wanita itu. Ia pun menghadapkan wajahnya di hadapanku. Wajahnya masih sama, sama cantiknya ketika ia masih sering tersenyum. Kakiku tidak sabar ingin bertemu dengannya. Seluruh lenganku tidak sabar untuk memeluk dan menggenggam telapak tangannya. Air mataku tidak terbendung lagi saat menghampirinya.

"Tolong aku!" ujarnya mengulurkan lengan kanannya. Mendadak cuaca cerah berubah menjadi gelap dan kelam. Angin berhembus sangat kencang, saking kencangnya pohon-pohon mulai membengkok bahkan patah.

Arah yang ingin kutuju tertahan sepenuhnya. Menggerakkan kakiku untuk melangkah maju sudah seperti memanjat tebing curam. Semakin kulangkahkan kakiku ke arah Meli semakin kencang pula tiupannya. Aku hampir menyentuhnya. Sedikit lagi Ya Tuhan!

==============================================================

Mendadak di sini sangat gelap. Tidak ada pemandangan apapun, tidak ada angin berkecepatan tinggi, hanya ada suara nafasku. Sial, kepalaku terasa sangat pengar. Namun pertanyaan yang lebih bagus adalah tempat ini, sepercik cahaya pun tidak ada yang memasuki kornea mataku.

Bukan hanya itu, sesuatu seperti telah mengikat kedua tanganku di belakang benda yang tubuhku tersender. Kakiku juga terikat pada kaki kursi. Apa yang aku lakukan di ruang gelap terikat pada sebuah bangku?

Setitik cahaya bergerak di hadapanku. Cahaya tersebut seperti sebuah api kecil. Semakin besar dan panas. Namun ada sebuah sosok bayangan seperti orang di belakangnya.

Tangannya memegang sebuah piring tempat lilin itu menerangi ruangan. Sosok itu semakin mendekat ke arahku. Aku susah payah memberontak namun tidak berguna.

Namun alih-alih datang ke hadapanku, ia malah berjalan melewatiku dan terlihat membagikan api lilin yang digenggamnya pada lilin lainnya. Aku memperhatikannya menyalakan lilin di atas sebuah meja lalu kemudian di atas beberapa kursi yang menghadapku beberapa meter pada kiri dan kananku.

Namun kursi yang kukira kosong memperlihatkan satu orang duduk pada jajaran kananku. Wajahnya menunduk namun matanya terfokuskan dan tajam ke arahku, dimana membuatku takut sejujurnya. Rambutnya terlihat rapi tersisir ke arah belakang.

"Dengar ya, kau akan membuat perjanjian dengan iblis jadi jangan panik," ujar sang pembawa lilin. Perawakannya sepantaran denganku, namun lebih kurus. Selain itu dengan kulit hitam kecoklatan. Wajahnya lonjong dengan rambut yang dipotong cepak.

Yang membuatku keheranan yaitu atribut yang ia kenakan, sama persis denganku, anggota divisi siang. Di lehernya tergantung googles berwarna dengan kaca berwarna merah dengan framenya yang berwarna coklat. Benda itu terus bergantung di lehernya sepanjang hari selama yang kuingat.

"Fuad? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku keheranan melihat teman sejawatku.

"Menanyakan pertanyaan yang sama denganmu kadet Amir! Apa yang kau lakukan keluyuran larut malam begini? " tanya Fuad balik.

"Tunggu dulu! kau yang menyerangku tadi?".

"Ya itu aku" ujarnya menyalakan puntung rokok.

Aku hanya menelan ludah. Rasa takut yang kurasakan tadi berasal dari orang yang jarang bersama kita saat latihan? Reflex mengerikan itu tidak normal. Aku tidak tahu kalau ia merupakan petarung, lalu kenapa ia baru menunjukkannya padaku seorang?

"Apa yang kau lakukan menyusuri tembok malam-malam begini kadet?" orang dibalik kegelapan memotong. Sebelumnya aku tidak sadarkan diri oleh penyerang itu. Kepalaku masih pengar, terutama leherku seperti terbakar matahari. Kenapa aku bisa terikat di tempat bobrok ini?

Namanya Leo, ia adalah wakil ketua dari divisi siang kami. Dirinya merupakan panutan oleh para anggota divisiku.

Pada tes fisik yang diselenggarakan setiap bulannya ia selalu menduduki peringkat teratas lalu karena sikapnya yang keras dan secara keseluruhan mendominasi, ia dengan cepat memperoleh jabatan peringkat atas padahal sepengetahuanku kami menjadi pengungsi pada rombongan yang sama. Ekspresi dinginnya membuat semua orang merasa terintimidasi namun di saat bersamaan menaruh rasa hormat.

Sosoknya mengenakan baju coklat polos di luar dalaman yang biasa dipakai divisi siang dan tanpa jaket ala kompleks, memperlihatkan lengan kokohnya yang penuh urat. Wajahnya terukir seperti berlian , berhidung mancung dengan mata hitam dan beralis pekat. Kumis dan jenggotnya tipisnya tidak terlihat dari ruangan gelap ini.

Seolah-olah tujuan ia dilahirkan hanya untuk mengintimidasi orang-orang di sekelilingnya. Semuanya sudah sempurna sangar namun satu masalah, ia merupakan salah satu anggota mempunyai postur terpendek.

Tingginya hampir sama dengan Eric yang umurnya beda 8 tahun. Jika seseorang sengaja maupun tanpa sengaja menyinggung tentang tinggi badannya, ia akan melakukan segala cara agar membuat orang tersebut menderita dan akan terus dilakukannya sampai orang tersebut minta maaf secara langsung di hadapannya. Maksudku bukan minta maaf biasa melalui kata-kata dan hanya lewat begitu saja, namun minta maaf dengan saksi 1 anggota divisi penuh.

"Tuli ya?" sosoknya mulai mendekat, "Kau menyembunyikan sesuatu!" Leo berbalik arah menuju tumpukan kursi di belakangnya. Ia kemudian menyeretnya ke arahku. Tidak peduli suara bising yang dihasilkan.

"Ayo kita main tebak kata. Kau berencana untuk kabur kan?" Fuad meletakkan puntung rokoknya tersenyum ria.

"Kenapa kalian berpikir begitu?" tanyaku berusaha mempertahankan tekadku.

"Kamu pikir tebakan kami mengada-ngada? Kami punya argumen sendiri disini." Leo duduk rapih sambil menyilangkan tangannya dihadapanku.

"Selain karena aku menangkapmu dengan tanganku tadi, kami melihat ekspresimu selama ini. Saat tugas, rehat, rapat. Kami melihat semuanya!" Fuad beranjak, "Tampangmu adalah tampang orang yang sangat-sangat ingin kabur dari tempat menyedihkan ini".

"Kami itu kalian berdua?", tanyaku ingin mengorek siapa saja yang sudah mengetahui semua ini.

Fuad menggeleng. "Apa itu penting? Meskipun sering berpatroli di luar, tetapi pandanganmu pada akhir tugas selalu berfokus pada arah kabut itu.

"Kau juga banyak mengigau ya dalam mimpimu," celetuknya tertawa. "Ngomong-ngomong, kau mau pergi kemana?" Leo mencibir.

Aku hanya menggeleng.

"Kau melakukan pergerakan tidak wajar beberapa hari ini. Yang seperti itu sangat tidak bisa kompleks ini tolerir, mengerti?" Fuad berkata dengan nada ketus.

"Pergerakan seperti apa?" aku pura-pura tidak tahu yang dibicarakannya.

"Itulah yang akan kita cari tahu. Coba ceritakan selama seminggu ini kau ngapain saja!", Leo langsung berdiri di depanku berjongkok menggeser Fuad.

Pikiranku menahan lidahku untuk menjawab omongannya. Matanya terus menatapku, aku sudah merasakan tangan kasarnya mengambil isi leherku.

"Hari senin 24 Februari, sarapan pagi, patroli sampai jam 5 sore lalu briefing divisi, lalu tidur. Hari selasa 25 Februari, sarapan pagi, patroli sampai jam 5 sore lalu briefing divisi, lalu tidur," aku mengulangi kalimat tersebut sampai 3 Maret.

Pipi kanan Leo berkedut. Ia tampak tercengang mendengar jawabanku. Kepalanya menengok Fuad yang ada di belakangnya sambil mengeluarkan gestur-gestur dengan kedua tangannya. Ia berjalan ke ujung ruangan.

Fuad menggantikan Leo yang berada di depanku. Sosoknya yang tinggi berjongkok sampai ia berada setinggi perutku, "Tanggal 24 apa saja isi briefing tersebut, Amir?"

Otakku berusaha menggali ingatan seminggu lalu itu. Isi briefing itu aku hampir tidak mengingatnya. Sementara pandangannya kosong seolah ia sedang mencari jawaban itu sendiri dengan menggali otakku secara telekinesis.

"Briefing tentang ... keadaan fokus dalam bekerja", ujarku pelan. Aku ingat ada gerobak pengiriman makanan terguling karena sebuah kerikil menurut salah gosip yang beredar dari sektor pertanian.

"Ada lagi?" tanya Fuad lembut.

"Aku tidak ingat secara detail isi briefing itu," jawabku mengikuti nada Fuad. Mending jujur saja daripada memikirkan sesuatu yang benar-benar kulupa sampai otak meledak. Aku hanya berharap tidak ada tinju lagi yang melayang menuju perutku atau tangan yang mencekekku.

Fuad menutup matanya sejenak lalu menarik nafas. "Kalo briefing tanggal 25 gimana? ceritakan semuanya!".

"Sebentar aku ingat, Vito memperagakan ilmu jujitsunya malam itu. Ia melawan 5 orang sekaligus dengan tangan kosong. Orang-orang sempat mengira ialah yang terkuat sehabis peragaan itu sendiri".

Leo memutar bola matanya. "Dasar tukang pamer," celetuknya pelan.

"Tanggal 26?".

"Semua orang disuruh mempelajari koran bulanan yang diterbitkan kompleks," jawabku tidak tahu ingin menjelaskan apalagi.

"Apa isi koran itu?"

"Pasukan Aliansi berhasil memukul mundur pasukan Elang seminggu yang lalu. Kemudian misteri orang hilang semakin bertambah di bagian timur pengepungan. Dan yang terakhir sosok bayangan aneh yang terlihat di dalam kabut," jawabku.

"Ceritakan sedikit tentang orang-orang yang hilang itu," Fuad menunduk sejenak lalu memutar pergelangan tangan kanannya di udara.

"Sekitar 1000 orang Pasukan Aliansi menjelajah bagian timur pengepungan dengan tujuan menambah pengaruh dan mencari pasokan makanan. Peralatan mereka mampu melawan prajurit 3 kali lipat jumlah mereka. Kira-kira mereka disuruh kembali 3 hari kemudian namun sudah seminggu mereka tidak kembali atau memberi kabar apapun ke kota," seingatku.

"Tanggal 27?"

"Tentang peraturan baru yang akan diimplementasikan sekitar beberapa minggu lagi. Peraturan tentang revisi perlengkapan sehari-hari bagian patroli. Lalu ..." sesuatu seperti mengganjal otakku. Siaaaal padahal ini baru kemarin. Fuad tersenyum sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Hari ini?" tanyanya perlahan.

Aku menelan ludah. "Gedung-gedung di bagian utara rencananya akan mulai digunakan."

"Lalu?".

"I ... itu saja," jawabku gugup.

"Kau tidak ingin menyebut gedung apa saja yang dibuka?" tantang Fuad.

"Gedung ini?"

Fuad dan Leo tertawa terpingkal-pingkal. Perasaan yang berkebalikan justru menyelimutiku. Apakah ini akhir bagiku, yang bakal dipenjara di tempat yang terlupakan sampai akhir hayatku?