Mereka semua terdiam dan mulai memakan santapan masing-masing. Namun lirikan-lirikan yang kuperoleh memberitahuku kalau mereka masih ingin mengobrol. Rudy berada di pojok meja fokus melihat makanannya sendiri, dia sama sekali kurang suka berbasa-basi. Ia membalas lirikanku dengan dua alis terangkat lalu kembali menyantap hidangannya.
Bergabung dengan mereka tidak pernah menjadi serumit ini. Biasanya hayu-hayu saja aku membagikan hari-hariku baik senang maupun susah. Namun semuanya nampak tidak sama lagi, semuanya nampak dingin. Topik obrolan semakin lama semakin suram saja.
Kurasa ini semua karena mereka terjebak di tempat ini sementara pertempuran besar terjadi di luar sana tanpa melibatkan mereka. Tapi peraturannya sudah jelas, tidak ada yang boleh keluar dari tempat ini tanpa alasan apapun kecuali untuk patroli. Meskipun begitu, patroli itu pun ada batas dimana seseorang bisa keluar pagar kompleks.
Mereka semua cepat sekali makan. Clara, Syarif, Sadikin pergi bergegas mengawali tugas mereka. Disusul oleh Sinta, Rudy dan Bobby yang mengakhiri tugas hari ini. Entah sampai kapan aku harus menjalani hal-hal menjijikkan di tempat ini.
Aku menatap dalam makananku ini. Semakin lama mereka terasa hambar di mulutku. Sayur lodeh dihadapanku saja kusantap bersama kuah-kuahnya tanpa berpikir dua kali.
"Hey, kali ini kau tidak apa-apa Mir?" tanya seseorang yang menyamparku di balik tembok luar gudang. Ia adalah gadis yang paling perhatian pada teman-temannya. Rambutnya dikuncir poni ke belakang selama yang kuingat. Wajahnya bersih tanpa make up dan beberapa bintik yang hampir tak kasat mata menghiasi pipinya. Seolah kehidupan di kompleks membentuk paras wajahnya secara alami.
Bersama Rudy yang bersandar di tembok, pemuda berpostur sedang dan rambut disisir menyamping terlihat cocok dengan wajahnya yang lonjong. Ia memakai setelan jaket hitam dan daleman kuning yang sama sepertiku. Selain sama divisi, ia merupakan rekan kerjaku dulu sebelum semua ini terjadi.
"Bukannya kau seharusnya bersama anggotamu sekarang?" tanyaku pada mereka berdua.
"Tenang saja, mereka tidak akan mengetahui jika hanya beberapa menit, lagipula keadaan teman-teman dekatku lebih penting untuk saat ini," ujarnya tertawa.
"Ini masih sama kaya masalahku hari-hari lalu ra," curhatku.
"Aku dengar tadi siang timmu menembak mati para pengelana itu kan? Gimana keadaanmu?"
"Entahlah, mungkin sedikit sesak, seolah-olah ingin keluar dari dasar laut tapi tidak bisa," ujarku sedikit melodramatis.
"Kau sudah menceritakan kalimat itu puluhan kali mir kepadaku. Mau kusampaikan keluhan ini kepada ketuamu? Bisa saja kamu benar-benar punya masalah pernafasan," bujuknya.
"Tidak, tidak, habislah aku kalau begitu." Aku membayangkan caci maki yang akan kuterima dan siksaan fisik layaknya tentara. Tapi aku tidak memilih kehidupan seperti ini.
Clara diam sejenak. "Mau pindah ke divisiku?" ajaknya.
"Tidak terima kasih," jawabku. Cukup senang diriku menjaga jam biologisku. Dan jika aku bergabung dengannya tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal menjijikkan seperti yang kualami. Lagipula kegelapan malam adalah dimana manusia mulai memperlihatkan sisi buruknya, pikirku bisa jadi lebih buruk di divisi lain. Aku hanya ingin tahu kapan semua ini berakhir.
"Beristirahatlah, kita bicarakan lagi besok!" ia bergegas pergi setelah seseorang dari divisinya menghampirinya.
"Jika ada apa-apa, kabari kita saja. Mungkin jangan keempat orang itu. Mereka mungkin sedang sedikit kewalahan juga," Rudy tertawa sambil menepuk pundakku.
Mereka pergi begitu saja.
Kenapa pikiran ini selalu muncul? Mungkin langsung balik ke barak akan menjernihkan pikiranku. Karena jadwal pekerjaan yang padat, aku hampir tidak memperhatikan detail-detil kecil jalanan ini. Aku menghentikan langkahku di tengah jalan. Mungkin sekali-kali jangan lewat sini, aku harus mencoba perjalanan baru dan merubah rutinitas sedikit.
Aku kira berjalan-jalan melewati jalan baru akan menjadi lebih baik. Tapi tempat ini berisi poster-poster propaganda yang membuatku resah. Dengan segala bentuknya tetap berkibar dan pesannya membekas di mata. Topiknya bermacam-macam seperti 'lawanlah pemberontak diluar!', atau kata-kata seperti, 'hidupkan kembali negara ini!'.
Tapi sebagian besar berbunyi tentang 'Ini adalah rumah kalian' yang dimaksud adalah kompleks ini sebagai 'rumah' kita. Lalu yang keterlaluan adalah 'Dunia luar sangat kejam, kembali lah ke rumah dan kalian akan selamat', slogan pengecut yang memenjarakan kita setahun ini. Otakku tidak kuat tersugesti terus-menerus jadi aku memandang bintang-bintang saja selagi jalan.
Aku menghentikan langkahku lagi setelah melewati bagian depan bangunan kecil seperti pos satpam yang sekarang tidak difungsikan secara semestinya. Mataku melirik beragam poster dengan tulisan 'Dicari'. Wajahmu bisa di pampang disini jika tengah-tengah kerja kau menghilang tiba-tiba. Setelah dipikir-pikir lagi kenapa mereka bisa tiba-tiba hilang ya? Padahal alur pekerjaan kita dibuat sedemikian rupa agar mengawasi sesama tim kita.
Namun ada satu poster yang membuat perasaanku tidak enak. Poster seorang wanita bernama Melodi. Wajahnya begitu manis dengan rambut hitam sehalus sutra sampai bawah pundaknya. Wajah lonjong kecilnya membuatku ingin memegang dagunya.
Aku ingat saat kita menggunakan waktu istirahat untuk berdua saja di tempat sepi. Ia sedivisi denganku dengan job desc yang hampir berdekatan. Meskipun ia dekat denganku tapi ia tidak begitu dekat dengan gengku.
Tapi sekarang sosoknya hanya diam mematung dihadapanku dalam bentuk poster orang hilang. Kenapa semua ini mendadak sekali?
Sebuah tangan memegang pundakku. Diriku seketika terkagetkan oleh seorang anak laki-laki kurus yang sedikit lebih pendek dariku. Ia memakai jaket hitam dengan baju daleman kuning dan celana proyek yang nampak besar. Wajahnya putih namun berparas bulat gemuk berbeda saat pertama kali aku menemukannya dulu.
"Apa kabar bang?" tanyanya nyengir duduk di sebelahku. Sebuah bau tajam tengik muncul saat itu juga.
"Astaga, kau habis ngapain aja?" tanyaku balik karena mencium aroma tidak sedap dari balik seragamnya.
"Berlari-lari mencari abang lah, kenapa tidak ada di pos satpam?" ia tersenyum nyengir.
"Maap ya aku lupa dek hehe," aku hanya tertawa.
"Kenapa bang liat-liat papan orang hilang?" matanya lalu menengok pada foto Melodi. Ia hanya tertawa kecil.
Aku meninju kecil bahunya yang kurus itu. Ia membalas meninjuku saat itu juga. Aw sakit juga. Tak disangka anak bandel ini masih ada saja tenaganya setelah sekian lama diperbudak.
Namanya Erik umurnya hanya 15 tahun, merupakan anggota pekerja paling muda di kompleks ini. Ia juga satu divisi denganku namun masuk dalam sektor perkebunan dan pertanian. Yang tugasnya membantu mengambil hasil pertanian dan perkebunan untuk pasokan orang-orang disini.
"Udah beres makan bang disana?" tanyanya menggangguku yang tengah menggigit apel dengan lahap. Enaknya bergaul dengannya yaitu setiap hari ia mendapat jatah buah dan sayuran dari teman kerjanya. Akibat dari menjadi paling muda dan menggemaskan mungkin. Tapi aku akan memastikan ia membagikan hadiahnya kepadaku.
"Ya begitulah, aku kenyang."
"Jangan bohong Bang!" ujarnya yang mungkin mendengar suara perutku yang masih keroncongan.
"Berapa banyak yang kau dapat?" tanyaku.
"Lumayan sih," ia mengambil salah satu jeruk di dalamnya, "Ayo bang kita makan!"
Kami bersama-sama mengupas jeruk segar itu. Sampai saat ini aku hanya mengetahui ia berasal dari Jakarta sama sepertiku, selain itu tidak ada. Eric kutemukan beberapa bulan lalu dalam keadaan sangat kurus saat berpatroli di luar pagar. Ia mendatangi tempat ini seorang diri.
Walaupun sudah diperingatkan untuk pergi, tangannya terus menggenggam seragamku padahal rekanku menariknya keluar. Meskipun mereka menodongkan senjata api pada pelipis anak itu, namun ia tetap terus menggenggam. Tidak ada yang berani berkata apa-apa sewaktu anak itu menggenggam erat celanaku. Anehnya tatapan mata yang diterima bocah ini bergilir mengarah padaku.
"Apa boleh ia masuk ke tempat ini?" tanyaku kepada ketua yang juga sedang berdiri di sebelahku. Tidak ada yang berani meliriknya, atau bahkan mungkin hati mereka untuk pertama kalinya tersentuh. Sampai akhirnya mereka memutuskan bahwa anak ini berada di dalam tanggung jawabku.
Melihat dirinya berdiri di hadapanku membuat pikiranku terang kembali. Aku menyelamatkan nyawa anak yang bisa saja tidak akan pernah kulihat lagi. Namun coba lihat saja sekarang, ia disini membawa berbagai macam buah-buahan segar karena bekerja lebih keras dari yang lain.
Layaknya menanam sebuah pohon, pertama-tama kau merawatnya kemudian kau tuai hasil kerja kerasnya. Andai hal yang sama terjadi pada pengelana lain.
Setelah beberapa lama akhirnya aku beranjak, berharap agar melihatnya lagi esok hari. Jalanan dalam kompleks sudah kelihatan lowong. Namun kadang-kadang malam-malam begini divisi malam berlarian kesana kemari tanpa kau duga mereka akan datang dari mana. Sehingga aku harus memperhatikan tempatku berjalan supaya tidak menghalangi lalu lintas manusia di sekitar sini.
Bangunan di hadapanku adalah Gudang 6. berbeda dengan gudang sebelumnya, Gudang ini dipenuhi oleh rangka-rangka besi yang dibentuk ranjang-ranjang sederhana. Alih-alih menggunakan matras yang nyaman, bahan alasnya menggunakan kain jeans yang dipasang sedemikian rupa pada rangka besi sehingga dapat mengapung di udara.
Ranjangku terletak pada pojokan paling jauh kanan. Perlu waktu untuk mengetahui yang mana ranjangku dan tentunya waktu yang ditempuh untuk sampai kesana pula.
Sesampainya di ranjang, bagian belakang kepalaku merasakan sebuah tekstur yang berbeda. Sebuah secarik kertas dilipat sedemikian rupa menjadi bentuk yang lebih kecil dan rapi. Tanganku dengan waspada mengambil dan membuka lipatannya. Sesuatu dari dalam membuat bulu kudukku merinding. Ini ... ini tidak mungkin!
Kemari!
Aku menemukan cara keluar dari kabut itu
Kutunggu di luar!
Melodi
Aku menelan ludah. Mataku tidak pernah sefokus ini dalam melihat sesuatu, mengorek informasi dari selembar kertas. Tapi tulisan ini ... guratan ini tidak salah lagi. Dulu aku sering memuji tulisan sambungnya yang benar-benar mulus. Dengan lekukan yang ketebalan tintanya seperti baru saja keluar dari mesin printer. Tidak salah lagi ini tulisannya, Lalu di 'luar' mana? di luar pagar-pagar ini? Apa benar ia memanggil dari dataran tanah air yang sudah lama tak terjamak oleh peradaban.