Chereads / Blue Valentine / Chapter 9 - Woman In Black

Chapter 9 - Woman In Black

Woman in Black

Widya masih gemetar meringkuk di sofa ruang tamu. Tika dan Kino sudah agak teralihkan dengan kehadiran Mia yang juga datang bersama ayahnya, Bima.

"Makasih kamu mengorbankan liburan untuk nolongin kami," ucap Tika. Mia tersenyum dan mengangguk.

"Beberapa hari lagi valentine. Aku pikir melewatkan valentine terindah adalah bersama sahabat," balas Mia mengedipkan mata pada Tika. Sahabatnya tertawa.

Sementara itu, Gatot memberikan buku jurnal kepada Nunik yang langsung diterima dan mulai menggoreskan gambar wanita yang dilihatnya tadi.

Bima baru kembali setelah menghantar Wening pulang. Dia segera menghampiri Widya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bima khawatir. Widya mengangguk lesu. Pria itu duduk dengan kikuk di sebelah Widya.

"Semoga Wening nggak dapet masalah sama keluarganya karena bocorin rahasia mereka. Duh tega sekali kakaknya ...," keluh Widya tidak habis pikir.

"Kepepet, penderitaan mereka sudah berada di ujung," sahut Bima mencoba menentramkan hati Widya.

Jauh di dalam hatinya, Bima mengagumi Widya yang sudah berusaha untuk tegar dan tidak mengambil jalan pintas. Wanita itu sangat cantik dan cerdas, sungguh perpaduan yang menjadi idaman tiap pria. Sayangnya Widya seperti tidak begitu membuka diri. Mungkin menjadi seorang ibu sekaligus bekerja merupakan fokus utamanya saat ini.

"Ini gimana kelanjutannya ya mas. Kalo ngadepin teror begini terus, nggak kuat kami," ucap Widya lirih kemudian menutup wajahnya dengan panik.

"Kita tunggu perkembangan di sosmed ya Wid, semoga ada kabar baik," hibur Bima cepat-cepat.

"Kalo nggak ada kemajuan, anak-anakku gimana?" Widya mulai merasa kalut.

"Kita akan selalu ada di sini," sahut Bima lembut. Widya tertegun, kalimat Bima menggetarkan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan olehnya.

"I-iya makasih," balas Widya gugup dan tersipu oleh perasaannya sendiri.

"Udah malem nih, hampir jam satu. Ayo anak-anak, tidur sekarang," seru Bima mengambil alih mengatur anak-anak. Semua langsung menurut dan masuk ke kamar bawah untuk beristirahat.

"Mia, kamu pastikan berdoa dulu sebelum tidur," pesan Bima pada putrinya. Mia mengacungkan jempol seraya menguap dan masuk kamar bersama Tika serta Kino.

Bima kembali mengerjakan sesuatu di laptopnya sementara menunggu Nunik dan Gatot menyelesaikan lukisan wanita berkebaya hitam tadi.

"Bima ...,"

"Bima ...,"

Suara perempuan memanggil namanya dua kali. Hampir terdengar seperti desahan angin. Bima mulai memberi isyarat pada Nunik dan Gatot untuk bersiaga.

Widya makin merapatkan tubuhnya di ujung sofa. Ketukan pertama terdengar dari kamar Tika, kemudian beralih dari kamar Kino.

Bima dan Nunik berjalan mendekati tangga. Sewaktu mereka berdiri menghadap ke atas, sesosok perempuan berkebaya hitam kembali muncul, sedang duduk di tangga teratas sambil menyisir rambutnya dan kembali bersenandung.

Nunik dan Bima mulai melantunkan doa santo Michael dan serentak mengacungkan tangannya ke depan sambil berteriak kuat. Hantaman tenaga dalam mereka dikembalikan oleh wanita itu dengan mudah dan mengakibatkan keduanya mental serta terpelanting ke belakang. Teriakan panjang yang berupa jeritan memilukan terdengar dari makhluk itu, kemudian lenyap tidak berbekas. Hening kembali.

Widya meringkuk dan menangis sejadi-jadinya.

"Aku nggak tahan lagi, pindah aja, tolongin aku please!" pekik Widya ketakutan.

Bima bangun dengan limbung. Hentakan tadi cukup membuat punggungnya berdenyut nyeri.

"Jangan Wid, kita nggak boleh nyerah," sahut Bima menahan sakit. Nunik berdiri dibantu suaminya dan duduk dengan menghela napas panjang penuh kelegaan.

"Wanita itu belum mati sempurna, mengembalikan sisir dan menyempurnakan jiwanya pasti akan menenangkan arwahnya," ucap Nunik setengah kesakitan saat Gatot mengosok punggungnya sambil memastikan tidak ada yang terluka.

"Jangan berhenti berjuang, kita makhluk yang paling mulia. Tuhan pasti akan berada dipihak kita Wid," kata Bima duduk di samping Widya.

Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu memandang Bima dan berusaha menanamkan kepercayaan penuh.

▪︎▪︎▪︎

Dari sekian komentar ada beberapa akun yang langsung memberikan penawaran fantastis. Tetapi, ada satu komentar yang cukup mengelitik. Akun tersebut menulis pesan yang cukup ganjil :

-lebih pilih uangku atau bantuanku-

Gatot dan Nunik mencari tahu pemilik akun dan menemukan informasi tidak banyak.

"Namanya Blue Diamond. Tidak ada postingan apapun, bahkan foto profilnya hanya berupa diamond warna biru. Info juga nggak lengkap," keluh Nunik gemas.

"Udah diinbox?" tanya Bima sambil membantu Kino pakai sepatu.

"Sudah, belum ada jawaban," sahut Gatot.

"Kita tunggu sebentar, aku anter anak-anak berenang dulu, semoga ada progres bagus hari ini," timpal Bima optimis. Atas inisiatif Mia, ketiganya berenang dan menghibur diri. Tidak seharusnya mereka terjebak dalam ketakutan terus menerus.

Begitu Bima berlalu, Nunik mendekati Widya yang baru masuk dari arah taman.

"Kamu sudah menghubungi pak Ustad Wid? Kita jangan nunda kelamaan, biar satu persatu masalah selesai," tanya Nunik.

"Sudah, sore ini beliau datang. Wening juga bersedia bantu nunjukin makam almarhumah," jawab Widya pelan.

"Kamu kok nggak semangat gitu? Kenapa?" Nunik heran melihat raut muka Widya yang sedikit pucat dan terlihat kurang sehat.

"Capek kali ya aku," sergah Widya gugup.

Nunik tidak bertanya lagi, tapi tetap menyimpan dalam hati dan ingin mencari tahu.

Menjelang sore, Wening datang bersama pak Ustad dan tiga warga lainnya untuk upacara menentramkan arwah Lamenik. Suara barang jatuh sudah tidak berhenti dari pagi di lantai dua.

Widya membetulkan kerudungnya dan terlihat gelisah. Nunik tidak sabar lagi segera menarik Widya untuk bicara.

"Wid, tolong terus terang sekarang, ada apa?" tuntut Nunik. Widya meremas tangannya.

"Kino, Nun, dia mimpi didatengi wanita itu. Menurutnya dengan menyempurnakan dia sama saja membuat kutukan kekal. Aku takut itu semua betul," airmata Widya mengalir perlahan dikedua pipinya. Nunik tertegun.

"Kenapa baru bicara sekarang," sesal Nunik sambil memeras keningnya.

"Maafkan aku. Tapi aku takut, Nun. Ini lebih serius dari perkiraan awal yang kupikir akan selesai dengan doa, seperti yang agama kita semua ajarkan. Tapi ini seperti jerat yang rumit dan ...," Widya tidak mampu meneruskan kalimatnya. Hanya wajah pucat dan tatapan putus asa yang menghiasi wajah cantiknya.

"Agama dan doa adalah tuntunan kita, tapi dalam menyelesaikan masalah selalu ada cara dan metode. Jadi bukan sesimple ini," ucap Nunik. Widya mengangguk penuh penyesalan.

"Kita meminta arahan dari pak Ustad dulu yuk, beliau pasti lebih paham," ajak Nunik.

Berdua segera menemui pak Ustad dan yang lain untuk menceritakan hal tersebut. Lelaki berusia enam puluh tahun itu mendengarkan dengan cermat. Setelah usai, dia berdehem dan memegang tasbihnya seperti sedang menimbang.

"Dalam hidup ini ada berbagai pilihan sulit, Allah SWT mengutus Rasulullah untuk menuntun kita bagaimana mengatasi setiap permasalahan hidup sehari-hari. Setiap problem ada tuntunannya dalam Al-Quran tapi bagaimana mengurai masalah tersebut tetap sebagai manusia harus berusaha. Tentunya dengan berkiblat dan MELALUI tuntunan tersebut," jabaran penjelasan ulama yang bijak itu memberikan ketenangan dan pencerahan.

"Jadi, jika dalam masalah yang kalian hadapi sekarang harus ada yang diperjelas lagi, ya tuntaskan itu. Sebelum salah mengambil langkah. Karena kutukan adalah sesuatu yang rumit, tapi ingat anak-anakku, tidak ada jalan buntu jika kita mengandalkan Allah Subhanahu wa ta'ala," pungkasnya.

"Jadi menurut pak Ustad apakah kami harus mencari tahu lagi?" tanya Bima.

"Sebaiknya begitu," jawabnya sambil tersenyum.

"Terima kasih pak, kami sungguh membutuhkan nasehat bapak," ucap Widya dengan penuh kelegaan.

"Ananda sudah ada sahabat dan kawan yang luar biasa ini, kalian akan berhasil menemukan jalan keluar. Saya akan bantu mendinginkan dan menenangkan sang arwah yang rupanya sedikit menganggu ini. Supaya kalian bisa dengan tenang dan lancar melanjutkan perjuangan kalian," pak Ustad mengakhiri wejangannya dan mengajak semua untuk memulai tahlilan.

Ditengah doa, pak Ustad bangun dan berjalan menuju ke atas lantai dua sementara yang lain melanjutkan dibawah. Hampir setengah jam ulama itu berada di kamar Tika, kemudian turun dengan wajah berpeluh dan wajah lelah bergabung dengan mereka di ruang tamu.

Jam tujuh lebih, tahlilan selesai dan merekapun pamit. Widya memeluk pak Ustad dengan penuh haru. Tepukan kebapakan memberi Widya kekuatan bahwa dia tidak sendiri.

"Ingat nak, jangan lupakan bahwa Allah akan selalu membela umatNya," pesan terakhir Pak Ustad sebelum berlalu.

Malam itu, suasana berubah. Tidak ada lagi gangguan di rumah. Tika dan Mia mengerjakan PR bersama Kino.

"Sudah ada balasan dari Blue Diamond?" tanya Bima kepada Gatot.

"Belum, tapi pesan kita sudah dibaca," jawab Gatot.

"Ma," panggil Tika. Widya menoleh. Tika memegang rambutnya yang rontok. Widya berlari menghampiri putrinya. Rambut indah Tika hampir tipis dan sudah terlihat kulit kepala dibagian belakang dekat tengkuk. Widya memeluk Tika dengan pilu.

"Sabar mbak, mama janji ini akan berhenti," bisiknya lirih. Tika terlihat tidak takut ataupun khawatir. Jauh lebih tegar dari ibunya.

Bima mengambil sesuatu dari tasnya dan menyerahkan pada Tika.

"Pake ini aja?" tawar Bima menyerahkan topi rajut indah berwarna pink. Tika tersenyum dan mengangguk.

"Makasih Om Bima," jawab Tika.

"Blue Diamond membalas!" teriak Gatot antusias. Nunik dengan sigap mendekati suaminya.

-Aku akan datang, tunggu-

"Darimana dia tahu alamat kita?" gumam Nunik heran.

Semua terdiam, tidak bisa memberikan komentar. Pesan singkat tersebut menghadirkan teka teki baru dan menambah daftar misteri yang ingin mereka ungkapkan.

Ketukan nyaring dari besi pagar depan rumah membuyarkan lamunan masing-masing. Ada keraguan di wajah Bima untuk segera membuka pintu.

"Dia sudah datang!" seru Mia memecah keheningan. Semua berpaling kepadanya.

"Dia berbisik padaku barusan dari depan," tambah Mia lagi. Putri Bima yang memang memiliki kemampuan khusus ini tidak terlihat takut, bahkan sangat tenang.

"Percayalah semua. Tapi kemampuanku bertambah dengan cara sulit aku ungkapin, aku tahu, dia penolong kita!"

Kalimat Mia terlontar penuh keyakinan. Mia merasakan satu kekuatan yang semakin kuat muncul dari dalam dirinya.

▪︎▪︎▪︎

Bersambung ...