Negeri Ajaib
Seiring pusaran angin dan asap menghilang mereka tiba di depan sebuah rumah yang dipenuhi bunga merambat dari dinding hingga atap. Halaman yang tidak begitu luas namun berbagai tanaman herbal bercampur bunga terawat rapi. Rumah dengan dua cerobong asap tersebut memang sedikit terpisah dari rumah lainnya namun tidak begitu jauh. Mia bisa melihat beberapa makhluk yang lewat tampak membungkukkan kepala setiap lewat. Rumah siapakah ini? Para makhluk tampak hormat pada Leina.
Seorang perempuan berwajah ramah muncul dan langsung menyambut mereka. Leina menyampaikan maksud dan tujuannya. Barulah Mia sadar, mereka sedang berada di rumah tabib atau dokter yang akan menyembuhkan racunnya.
"Masuklah! Ternyata kamu yang membantu Putri Leina menemukan sisirnya!" seru tabib wanita tersebut sambil menarik tangan Mia.
Leina pamit pulang dan mengajak Clod serta.
"Kamu duluan, aku akan menemani Mia sebentar," elak Clod tanpa kentara. Walaupun kecewa, Leina akhirnya pergi dan tidak memaksa Clod kembali.
Wanita tabib itu bernama Orin. Tubuhnya gempal dan rambutnya berwarna merah, senada dengan warna hidung dan pipinya.
Dia meminta Mia berbaring di sebuah meja batu di belakang rumahnya. Tanpa membantah Mia menurut.
Sensasi hangat langsung terasa saat Orin menempelkan batu lempeng berwarna putih di dada, perut dan dahinya. Setelah membakar lidi beraroma mirip cengkeh, Orin mengumamkan sesuatu dan pikirannya mulai relaks juga mengantuk.
"Tidurlah jika kamu rasa mengantuk," saran Clod sambil duduk dan menunggunya dengan sabar.
"Santai dan lepaskan semua pikiran," sambung Orin.
Mia melirik Clod tidak yakin.
"Tidurlah," ucap Clod lagi dengan lembut. Mia pun menutup matanya dan tertidur lelap.
Entah berapa lama dia tertidur. Tapi saat membuka mata, Mia sudah berada di sebuah kamar yang sangat rapi dan bercat putih. Tangannya mengelus kasur, terasa lembut dan hangat. Bantal warna biru mendominasi dan sebuah pedang juga tameng warna yang sama tergantung di kamar.
Seketika Mia menduga ini pasti kamar milik Clod. Bagaimana aku bisa sampai disini, batin Mia heran.
Dia beringsut turun dan keluar kamar. Clod duduk di ruang baca persis di depan kamarnya. Wajahnya tampak serius dan berfikir keras.
"Kita kok udah sampe sini aja sih," tanya Mia heran. Clod menoleh dan menutup bukunya. Tangannya menyodorkan sebuah cangkir yang ternyata berisi teh hangat dan Mia langsung meneguknya hingga habis.
"Aku terpaksa mengendongmu, karena kamu susah dibangunin," jawab Clod beralih membaca perkamen didepannya.
Mia tidak menanggapi tapi langsung berdiri kembali dan menelusuri rak buku dihadapannya.
Clod memandang Mia dengan cermat.
Rambut panjang ikal hingga sepunggung. Tubuh tinggi dan bibir mungil dengan tahi lalat di bawah bibirnya, menambah daya pikat Mia.
Astaga, semua hal pada dirinya sangat menarik! Batin Clod terkejut dan memalingkan muka. Mia baru berusia tujuh belas tahun dan sangat polos. Tidak mungkin dia berfikir hal aneh, tepis Clod jengah sendiri.
Clod mencoba untuk mengusir pikiran konyol, tapi dadanya berdebar kembali. Kemarin dia sudah bisa mengendalikan perasaannya tapi sekarang?
Mia mengambil sebuah buku dan membuka halaman pertama. Wajahnya kecewa karena rata-rata tertulis dalam bahasa yang dia tidak paham sama sekali. Akhirnya dia mengembalikan kembali buku tersebut.
"Berapa lama aku akan diobati?" tanya Mia penasaran.
"Kenapa? Bosan?" tanya Clod kembali sambil melirik Mia.
"Aku pengen gangguin kamu tapi ntar marah," cibir Mia. Clod tersenyum geli.
Matanya melihat sekeliling. Rumah Clod tidak terlalu besar. Lantai dua tampak dari bawah. Sepertinya lantai dua didominasi oleh pajangan buku. Mia berjalan ke depan. Ruang tamu dengan sofa bulat aneh dan pintu mirip film rumah hobbit yang pernah dia tonton. Desain dan bentuk rumah Clod begitu menarik minat Mia dan dia menjelajah dari sudut ke sudut.
"Kamu tinggal sendiri?" selidik Mia sambil terus mengelilingi rumah Clod.
"Berdua sama kamu kalo kamu mau," sahut Clod tanpa basa basi. Mia terkejut. Tapi kemudian tertawa kecil.
Pasti itu salah satu jebakan ledekannya.
"Boleh, bobo berdua tapi ya," balas Mia nakal. Wajah Clod memerah.
"Huuu, ngarep! Dasar elf gadungan otak mesum!" bentak Mia kesal. Clod merasa lega karena itu hanya salah satu candaan Mia.
"Kita ketemu Leina untuk makan malam, dandan yang layak," seru Clod menutupi rasa malunya.
"Tenang, celana jeansku banyak," jawab Mia meledek Clod.
"Boleh pake jeans, kenapa tidak? Asal kamu siap aja di deketin sama kaum yang menyebut diri mereka sebagai perempuan penyuka keindahan, alias yang sering kalian sebut lesbian," timpal Clod tenang dan berdiri. Mia membuang muka kesal.
"Kuno sekali cara berpikir kaum kamu," gerutu Mia.
"Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Ada dalam lemari di kamarku. Kita punya waktu beberapa jam sebelum makan malam," cetus Clod tidak menanggapi protes Mia.
"Haruskah kita pergi?" tanya Mia lagi.
"Kenapa? Kamu tidak mau melihat peri dan semua keajaiban yang menarik?" balas Clod. Dia tahu itu akan memancing minat Mia. Benar. Seketika mata gadis itu membesar.
"Maksudmu, akan hadir makhluk yang ada di cerita-cerita fantasi?" tanya Mia. Clod tidak menoleh dan terlihat acuh. Padahal dalam hati, ia senang pancingannya berhasil.
"Pasti, dunia ini adalah dunia elf. Ingat?" sahut Clod sembari melenggang merapikan semua perkamennya.
"Baiklah! Aku tidak punya pilihan kan? Demi melihat peri dan para makhluk ajaib!" seru Mia setengah memaksa diri. Sungguh, gaun bukan hal yang dia sukai. Clod tersenyum samar.
"Mandi dan rapikan dirimu, aku harus menyiapkan kendaraan nanti malam," ucap Clod sebelum melenggang pergi. Mia mengangguk dan menatap tubuh Clod yang menghilang di balik pintu.
"Gila! Ini bener-bener edan! Aku ada di dunia khayalan!" seru Mia pada dirinya sendiri. Berulang kali dia mencubit lengannya, terasa sakit. Ini bukan mimpi yang selama ini terkadang hadir tiap malam dalam tidurnya. Ini nyata!
Rasa penasarannya masih belum terpuaskan. Mia menaiki tangga menuju lantai dua dan mencari jendela. Begitu dia membuka jendela kayu lebar-lebar, Mia terpana. Rumah Clod yang berada di lereng bukit tampak menghadap ke arah lembah yang indah.
Hamparan rumput dan pohon pinus diselingi warna bunga yang mirip pelangi terbentang sejauh mata Mia memandang.
"Inikah negeri ajaib itu?" gumam Mia terpana. Sinar matahari yang kemerahan di ufuk barat menandakan malam sebentar lagi menjelang.
"Bagaimana mungkin keberadaan mereka tersembunyi sekian lama dari manusia?" lanjut Mia masih takjub.
Dirinya memuaskan diri menatap keindahan alam yang tersuguh di hadapan. Mungkin ini pengalaman sekali seumur hidupnya.