Ketukan di pintu terdengar cukup keras. Nunik dan Widya yang baru saja selesai membereskan makan malam langsung berpandangan. Dengan isyarat tangan, Nunik meminta Tika dan Kino untuk masuk ke kamar ibunya, yang ternyata tempat teraman dirumah ini. Nunik menarik daun pintu dengan was-was.
Seorang gadis muda berumur sekitar dua puluh limaan berdiri dengan tubuh yang setengah basah karena gerimis memang mulai turun. Widya dan Nunik bernapas lega.
"Selamat malam dek, bisa dibantu?" sapa Nunik ramah. Gadis itu mengangguk dan langsung masuk. Widya heran tapi tidak mengatakan apapun atas ketidak sopanan gadis itu. Dia tampak ketakutan dan terus menoleh kebelakang seakan ada yang mengikutinya.
"Sa-sa-saya tahu te-te-tentang sisir itu," ucapnya gagap dan gemetar. Nunik langsung menutup pintu dan mengajak gadis itu masuk. Widya menyambar kain dan menyelimuti tubuh gadis itu.
"Duduk dulu, kamu keringkan tubuhmu, kita buatin teh," ucap Nunik.
"Tidak usah. Ini cukup," tukasnya cepat-cepat.
"Kamu yakin?" tanya Widya.
Gadis itu kembali mengangguk. Dari bahasa tubuhnya seperti tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.
"Nama saya Wening, semua bencana kalian hanya bisa dipatahkan jika ibu sama keluarga berhasil menjual rumah ini kembali dan penghuni baru harus memakai sisir terkutuk itu!" seru Wening dengan berapi-api. Nunik terkejut. Widya menjatuhkan dirinya di samping Wening.
"Kamu tau ini darimana?" tanya Widya.
Wening membuka hijabnya. Rambutnya yang botak tampak tumbuh kembali.
"Karena saya adalah korban sebelumnya," Wening mengakui sambil menahan emosi.
"Astagfirullah ...," seru Widya tidak percaya. Nunik tertawa sambil menangis.
"Kita mungkin akan terselamatkan Wid," ucap Nunik penuh haru. Widya menggelengkan kepala.
"Nggak bisa, Nun, aku tidak mungkin mencelakakan orang demi keselamatan keluargaku sendiri," tolak Widya dengan cepat namun gusar. Nunik tergugu.
"Maaf, saya baru datang sekarang. Mas Tono, yang menjual rumah ini kepada bu Widya adalah mas saya. Kami sebelumnya tinggal disini. Kami juga mengalami teror ini selama sepuluh tahun. Sampai suatu saat muncul ide untuk menjual, dan ternyata itu berhasil. Rambut saya berhenti rontok, dan ibu saya tidak lagi muntah-muntah gumpalan rambut," cerita Wening persis seperti yang mereka alami.
"Dek Wening tau kenapa dampaknya juga terkena pada keluarga yang lain, seperti muntah gumpalan rambut?" tanya Nunik.
"Karena harus dua orang bu, orang yang paling disayangi oleh pemakai sisir-lah yang akan memuntahkan rambutnya," jawab Wening mengusap airmatanya. Widya terisak pilu. Tika sangat menyayangi Kino, dan itu membuat Kino menjadi korban juga.
"Adakah cara lain untuk matahin ini?" tanya Tika yang tiba-tiba keluar dari kamar.
Wening mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap Tika. Dia mengangguk.
"Temukan kembali keluarga pemilik sisir ini, dan mereka akan mengambil seluruh petaka kalian," jawabnya yakin.
"Maksudmu ke Inggris?" tanya Tika kembali.
Wening mengiyakan.
"Itu pesan Pak Satrio. Orang yang menghibahkan rumah ini kepada kami. Kalo saja kami punya uang, sudah kami cari pemilik aslinya. Tapi kami ini hanya orang kampung. Dan lagi sisir tidak bisa meninggalkan rumah ini karena ibu Lamenik menginginkannya untuk dirinya sendiri," tambah Wening.
"Pak Satrio menghibahkan pada kalian? Kenapa dia justru menghibahkan pada kalian jika berbahaya?" tanya Widya dengan wajah tidak percaya.
"Kalo memang sisir ini membawa petaka, kenapa Lamenik menyimpannya, bahkan setelah dia mati?" tuntut Widya melanjutkan kalimatnya namun masih tidak memahami alur yang sangat rumit ini.
"Saya tidak tahu. Tapi pada dasarnya, jika Sisir ini sebelum dipakai menerima tumbal darah, pemakainya akan menjadi wanita cantik yang bertahan selama enam tahun dan membuat siapa pun tunduk kepadanya. Tumbal berikutnya memperpanjang enam tahun selanjutnya. Mungkin Ibu Menik sebagai pemilik terakhir tidak bisa memberikan tumbal, sehingga jiwanya terikat dengan benda itu. Begitu sisir ini dibawa pergi, dia akan mengikuti. Sebagai arwah yang mati di sini, sangat sulit untuknya berpindah-pindah," jawab Wening panjang lebar. Tubuhnya terlihat ringkih dan kurus. Sepuluh tahun mengalami siksaan.
"Ini tidak masuk akal!" seru Widya kesal. "Dari awal tidak ada pemahaman bahwa ini tidak bisa dihindari, harus dicari solusi, tapi kalian memilih untuk menunda dan nelemparkan pada orang lain adalah hal terbaik!" pekik Widya kembali. Nunik mengusap punggung Widya untuk menenangkan.
"Aku nggak akan melakukan itu Nunik. Aku tidak akan mencelakakan orang lain ...," desis Widya dengan wajah penuh duka. Nunik mengangguk dengan prihatin.
"Di mana Pak Satrio sekarang? Bisakah kita meminta bantuannya?" tanya Tika yang terus mengajukan pertanyaan cukup bagus. Wening menoleh dan menelan ludahnya dengan gundah.
"Pak Satrio sudah meninggal setelah memuntahkan rambut yang luar biasa banyak dan menjijikkan," jawab Wening seperti melanjutkan kisahnya. Semua yang mendengar bergidik.
"Kamu mengalami selama sepuluh tahun dan masih bisa bertahan?" tanya Tika kembali karena terlanjur sudah mendengar semuanya.
"Aku terus menerus di rukyah dek, percayalah, siksaan ini tidak pernah kamu bayangkan," jawab Wening dengan lemah. Tika mengucapkan terima kasih dengan lirih. Widya menarik tubuh putrinya dan memeluk dengan erat.
Semua hening. Angin berhenti bertiup. Wajah Wening mendadak menjadi pias, ketakutan. Sayup-sayup suara menangis terdengar dari atas, dan semua yang di ruang tamu sontak merapatkan tubuh satu sama lain.
"Wening inikah yang terjadi terus menerus padamu?" bisik Widya dengan terbata-bata. Wening mengangguk sambil menahan isak. Matanya jelas menyiratkan ketakutan yang sudah ia tahu sangat mengerikan.
Lampu mendadak mati dan bunyi pintu yang terbanting terus terdengar dari lantai atas.
Semua menjerit histeris dan suasana mencekam menyelimuti ruangan tersebut.
Horor yang sesungguhnya kini mereka alami. Ujian yang berupa teror mereka alami selama beberapa minggu. Namun hari ini, detik ini, semuanya mendapat puncak penampakan yang menguncang iman dan pertahanan mereka.
Nunik mengajak Wening dan Tika berdoa, sementara Widya berlari mendapatkan Kino dari kamar dan dengan susah payah menggendongnya keluar. Lantunan doa berkumandang dan bersahut-sahutan. Walaupun terdengar gemetar, namun mereka terus mengumamkan ayat-ayat suci.
Nunik menyalakan senter di ponselnya untuk memberi sedikit penerangan.
Tapi sungguh disesalkan, saat tangannya menyorot ke arah meja baca, seorang perempuan berkebaya hitam duduk membelakangi mereka dengan rambut terurai panjang hampir menyentuh lantai. Tangannya menyisir rambut dengan sisir emas.
Satu persatu rambutnya rontok jatuh kebawah.
Sebuah lagu didendangkan dengan nada yang membuat siapa pun akan histeris penuh kengerian.
🎶🎵
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sembarang
Wojo lelayu sebet🎶🎵
Arti dalam Bahasa Indonesia:
Menjelang malam, bayangmu mulai sirna
Jangan terbangun dari tidurmu
Awas, jangan terlihat memperlihatkan diri
Aku sedang gelisah,
Jin setan ku perintahkan
Jadilah apapun juga,
Namun jangan membawa maut
🎼🎵🎶
Kedatangan Bima, Mia dan Gatot saat membuka pintu melenyapkan sosok berkebaya tersebut.
"Kalian baik-baik saja?" seru Bima khawatir.
▪︎▪︎▪︎
Bersambung ...