Meniti Asa
"Wajahmu tidak asing." Mia menatap pria yang kini semakin jelas berdiri di depannya. Begitu Mia ingin menyentuh wajahnya, pria itu mundur dan menjauh.
"Tunggu ...!!!" teriak Mia
"Mia ... Mia, bangun udah siang!" seruan ayahnya dari luar kamar membuat Mia terbangun dan menyadari dia hanya bermimpi.
"Ya Pa!" jawab Mia dengan suara serak khas orang baru terbangun. Terdengar langkah Bima menjauh.
▪︎▪︎▪︎
Nunik menata piring di rak dan menghampiri Widya.
"Teh?" tawarnya. Widya mengangguk pelan.
Pandangannya lekat dari balik kaca melihat kedua anaknya yang sedang asyik melihat Gatot dan Bima memasang ayunan di pohon kelengkeng.
"Mbak Wid ...,"
"Panggil Widya aja, kita sudah nggak perlu menjaga kesantunan lagi kan setelah dekat begini," tukas Widya sambil tersenyum menerima cangkir teh. Nunik tertawa kecil.
"Kamu beruntung memiliki mereka," bisik Nunik lirih.
"Ya, sayang baru kusadari sekarang," jawab Widya sendu. Bibirnya tampak kering dan wajahnya pucat. Rambutnya panjang dia ikat ke atas. Widya masih terlihat cantik dan merupakan wanita yang menawan.
"Bagaimana memberitahu putriku Nun?" tanya Widya resah. Air matanya kembali mengisi kedua pelupuknya.
"Kita harus memberitahu dia Wid, supaya Tika mawas diri," jawab Nunik kali ini dengan tegas. Widya memandang Nunik dengan tatapan bingung.
"Bagaimana kalo Tika nggak bisa menerima dan dia stres, lalu ...," Nunik mengibaskan tangannya mencoba menghentikan celoteh Widya yang berbau kekhawatiran.
"Percayalah Wid, menurut pengalamanku dengan menutupi ini akan berakibat lebih buruk," jawab Nunik sambil menunjukkan sebuah catatan jurnal di ponselnya.
"Liat ini? Iriana, seorang ibu yang menutupi fakta bahwa putri telah bersalah karena menabrak kucing jelmaan. Berakhir menjadi seperti ini ...."
Sebuah foto menunjukkan tubuh seorang remaja pria dengan punggung berbulu abu-abu.
"Dia tidak selamat. Seandainya dia mempercayai kami, maka anaknya masih bisa hidup normal. Intinya, mencari solusi masalah ini tidak akan seperti di film yang langsung ada kebetulan-kebetulan petunjuk instan. Semua butuh proses dan kesabaran," Nunik memberikan sebuah foto dijurnalnya lagi.
"Ini foto transformasi Rita, seorang ibu muda yang harus mengurai kutukan keluarganya. Butuh hampir satu tahun untuk menyelesaikan kasus ini," papar Nunik lagi. Foto-foto perubahan seorang perempuan yang kurus kering tinggal kulit berbalut tulang, hingga pulih, sehat dan tertawa bahagia.
"Apakah ini akan selama itu? Ya Allah Ya Rabbi ...," rintih Widya setengah meratap.
"Mama!" panggil Tika. Widya menoleh. Tika menatap mamanya dengan penuh sesal.
"Maafin Tika, Ma ...," serunya menghambur kepelukan ibunya sambil menangis. Bima dan Gatot menganggukkan kepalanya. Mereka sudah memberitahu putrinya.
Widya mengelus punggung Tika dengan penuh kasih.
"Kita hadapi bersama ya mbak," bisiknya yakin. Tika semakin mempererat pelukannya.
▪︎▪︎▪︎
Widya selesai melipat baju ketika terdengar jeritan Mia di luar. Sontak dia bangkit dan keluar dari kamar Kino berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Nunik terlihat sedang bersimpuh di depan Tika yang memegang sesuatu.
"Kenapa Nun? Tika? " seru Widya heran dan bingung. Nunik tampak prihatin. Tika menoleh dan menunjukkan gumpalan rambutnya di tangan. Rambut Tika rontok hampir sekepal tangan. Widya jatuh limbung di samping putrinya.
"Sudah mulai ...," ucap Tika lirih.
Widya merasakan kepalanya berat dan kupingnya berdengung. Sekuat tenaga mencoba tegar.
"Nggak papa, mama ada disini, kita cari solusinya," hibur Widya seperti bicara pada diri sendiri.
▪︎▪︎▪︎
Seminggu berlalu. Widya kembali mengajukan cuti. Gatot dan Bima belum kembali membawa kabar sejak kepergian mereka menemui Wuri di Yogyakarta dari dua hari lalu. Tapi untunglah ada Nunik yang menemani hari-harinya. Setidaknya hidupnya tidak sendirian dan membosankan. Nunik mengajari Widya cara membuat kue dan ketrampilan membuat dekorasi.
Hari ini Tika pulang sekolah lebih awal. Kino dibelakangnya dengan wajah lesu.
"Kok nggak telepon minta dijemput?" tanya Widya heran. Tika memberikan selebaran sekolah.
"Libur? Kan enak mbak bisa istirahat dirumah," hibur Widya.
"Mbak Tika kesal soalnya Mbak Mia harus liburan ke Semarang, nggak bisa kesini lagi," Kino menyeletuk. Widya tersenyum.
"Kan ada kita-kita," sahut Nunik sambil menawarkan kue nastarnya. Kino langsung menyambar dan memenuhi mulutnya dengan nastar buatan Nunik.
"Eh hati-hati, jangan kebanyakan! Nanti kesedak lho," seru Widya. Belum selang beberapa detik Kino betul-betul tersedak dan memuntahkan nastar. Widya menepuk punggung Kino yang terus batuk. Nunik melihat sesuatu yang tidak beres dan segera mengambil alih. Ditekan tengkuk Kino dan di pijit sembari mengumamkan doa. Kino tersedak hebat sembari memuntahkan segumpal rambut.
Widya memekik. Kino terus memuntahkan gumpalan demi gumpalan. Nunik tidak henti-hentinya berdoa. Akhirnya, Kino berhenti muntah dan gumpalan rambut tidak lagi keluar dari mulutnya.
Widya dan Tika menangis tersedu-sedu. Kino hanya terengah-engah sambil meminum dan mengatur napasnya kembali.
"Aku akan menghubungi Gatot dan Bima," kata Nunik sambil meraih ponselnya.
Tiga puluh menit kemudian, Nunik kembali dan mengajak Widya bicara empat mata.
Widya menyilangkan kedua tangannya didada dan siap mendengarkan Nunik.
"Alasan mereka lambat karena ...," Nunik menekankan suaranya. "Mereka kecelakaan," bisiknya.
Widya terkejut.
"Apa??" desisnya.
"Tapi nggak parah, cuman lecet aja. Nah sekarang mereka sudah dapat satu celah, semoga bisa bantu melepas jeratan ini," lanjut Nunik.
"Kapan mereka sampai, maksudku bukan ingin terburu-buru tapi ...,"
"Tiga puluh menit lagi," potong Nunik sambil tersenyum.
"Dan kita harus bersiap-siap, kita diskusi di luar, sembari refreshing. Buat anak-anak juga," lanjut Nunik. Widya mengangguk semangat.
Ya Allah, bantulah umat-Mu ini ...
Doa Widya terus mengalir dalam hati.
▪︎▪︎▪︎
Widya tampak bersalah saat melihat Bima dan Gatot terluka walaupun hanya lecet ringan. Keduanya jatuh dari motor sewaktu hendak menemui Wuri teman mereka.
Pertemuan kali ini Bima berinisiatif untuk mengambil tempat di sebuah lokasi hiburan anak-anak sembari refreshing.
Bima membuka laptopnya dan mengarahkan kepada ketiga orang yang duduk di hadapannya.
"Ok, kita cukup kehabisan akal, karena tidak pernah mendapatkan kasus sebesar ini sebelumnya. Jadi agak sedikit lama mbak Wid ...,"
"Widya aja mas Bima, saya kan jauh lebih muda juga," potong Widya ingin lebih akrab dan tidak lagi formal. Bima agak gugup dan salah tingkah. Nunik dan Gatot tersenyum penuh arti.
"Oh ya, Widya. Jadi kasus ini tidak pernah dilaporkan atau tercatat di mana pun. Karena rumah yang kamu beli itu adalah hasil hibah dari keluarga bapak Satrio Ghani Bin Husein sebagai pemilik terakhirnya. Setelah istrinya Lamenik Purwaningrum Bosch wafat tahun 1974, mereka tidak memiliki keturunan. Sisir ini adalah warisan keluarga Lamenik yang masih keturunan Belanda. Pak Satriolah yang menyerahkan rumah ini kepada Harsono, tukang kebunnya sebelum dia juga meninggal.
Kami sudah menjumpai keluarga pak Harso, tapi beliau sendiri dan keluarganya tidak pernah mengutak atik isi rumah tersebut. Setelah pak Harso meninggal, anaknya menjual rumah itu pada kamu," paparan penjelasan Bima ternyata berujung pada kebuntuan.
Widya mendesah kecewa.
"Jadi masih belum ada titik temu?" tanyanya dengan sendu. Harapannya pupus.
"Jangan mundur dulu, masih ada satu hal yang membuat saya optimis," sahut Bima tidak ingin Widya murung dan kecil hati.
"Apapun itu, saya akan jalani untuk lepas dari jeratan yang tidak sengaja kami alami ini," ucap Widya lirih.
"Nunik sempat ngobrol dengan salah satu penghuni rumah white, bahwa wanita berkebaya hitam itu menginginkan sisir ini dikubur bersamanya. Tapi berhubung Pak Satrio ini tidak memenuhi janjinya, mungkin arwah ini menuntut dengan terus menghantui," kalimat panjang Bima memberi Widya semangat kembali.
"Jadi menurutmu ini bisa berhenti jika sisir di satukan dengan dia?" tanya Widya tidak sabar.
Bima mengangguk.
"Mungkin ya Wid, belum tau juga," tukas Nunik mencoba untuk menjaga jika ini tidak berhasil.
"Sebetulnya, perjanjian apa yang dibuat dengan menciptakan sisir ini?" tanya Widya masih penasaran.
"Kenapa rambut Tika mulai rontok, dan Kino juga muntah gumpalan rambut yang sangat gak masuk akal!" lanjutnya dengan pikiran yang mencoba untuk mengerti. Nunik menarik napas dan menghembuskan kuat-kuat.
"Mungkin, sisir itu hanya boleh dipergunakan oleh keturunan pembuat perjanjian Wid. Sayangnya, sisir itu terampas dari mereka. Dan untuk mengetahui siapa pemilik sisir emas ini sangat sulit. Kita harus menghubungi satu persatu keluarga di Inggris. Tapi ini kan sudah 450 tahun yang lalu. Mungkin keluarga itu juga sudah tidak ada," keluh Nunik.
"Atau kita posting di sosmed," cetus Gatot. Semua baru menyadari bahwa ide itu sangat luar biasa.
"Gimana menghindari keluarga palsu yang claimed bahwa itu milik mereka?" tanya Widya.
"Kita tidak mencari siapa pemiliknya, tapi kita menjual sisir itu. Siapapun yang mengerti sejarah sisir itu, pasti menawar dengan harga yang fantastis," seru Bima antusias. Gatot mengedipkan matanya ke Bima.
"Saatnya jualan bro!" seru Gatot riang.
▪︎▪︎▪︎
Bersambung ...