Perjanjian
Mia mengencangkan tali ransel dan siap untuk berlibur ke Semarang akhir pekan ini. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam kepalanya dan dia merasakan harus menghubungi Tika. Dengan cepat dia berusaha menelepon sahabatnya namun tidak diangkat.
"Ayo dong, angkat Tika ...," gumam Mia resah. Dalam bayangannya, dia merasa jika Tika dan keluarga dalam bahaya.
Akhirnya Mia memutuskan untuk menelepon ayahnya.
"Papa di mana?"
"Otw ke rumah Tante Widya, kenapa Mia?"
"Ok, aku nyusul Pa."
"Lho? Kamu nggak jadi ke Semarang?"
"Batal. Bye Papa."
"Oh ok, bye."
Tidak membuang waktu lagi, Mia segera menyusul ke rumah sahabatnya Tika.
▪︎▪︎▪︎
Widya kembali ke rumah ditemani oleh Bima dan timnya. Sejak kejadian di hotel, mereka beranggapan adalah sia-sia melarikan diri sejauh mungkin dari teror yang terlanjur melibatkan mereka.
Mia datang untuk menghibur Tika yang belum bisa tenang dan masih shocked. Untunglah, Kino setelah diperiksa oleh dokter dinyatakan baik-baik saja. Sesekali Widya melihat keadaannya di kamar.
"Mbak Nunik, makasih sudah mau tinggal dengan kami," ucap Widya sambil duduk di sebelahnya. Nunik tersenyum.
"Saya juga senang kok disini, deket sama bengkel kita. Bisa nyambi sekalian," balas Nunik sambil menepuk kaki Widya santai.
"Saya nggak nyangka bakal mengalami petaka kayak gini," Widya mencurahkan beban hatinya. Nunik menghentikan ketikannya di laptop.
"Setiap cobaan, pasti ada berkat yang tersembunyi. Saya kehilangan rahim saya pada usia begitu muda, dua puluh tahun. Pertama saya ngerasa hancur dan hilang harapan hidup. Tapi, sekarang saya menikahi seorang pria yang mau menunjukkan bahwa hidup tidak selalu mengenai punya anak, banyak tujuan mulia lainnya. Termasuk seperti sekarang ini. Jadi, keep positive thinking terus. Mbak Wid hebat lho single parent tapi bisa berhasil, dan sukses kayak begini," hibur Nunik tersenyum. Widya menunduk dan tampak malu. Nunik menghadapi kisah yang jauh lebih berat.
"Kamu bener. Aku seharusnya bersyukur karena masih ada kedua anak untuk penguat jiwaku. Sekarang malah baru nyadar, anak-anak masih butuh aku banget. Selama ini sibuk nyiapin masa depan mereka, sampe lupa peranku harus terlibat juga dalam keseharian mereka," sambut Widya setuju. Nunik menghadap Widya sepenuhnya.
"Bima juga keren, ngurusin Mia sendirian dari kecil. Berat sih, tapi mungkin itu yang terbaik untuk dia saat ini. Kalo nikah lagi, belum tentu istrinya setuju dia gabung sama kita dan ngelayap kayak gini," kata Nunik tertawa.
Widya terpancing geli. Setidaknya dia menemukan sahabat baru dan bisa berbagi dengan mereka. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sejak lama.
"Papa nggak pernah mau nyari Mama baru. Padahal pasti seru kalo aku punya mama dan adik. Kayak Tika," protes Mia dengan wajah kesal. Widya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
▪︎▪︎▪︎
Hari kedua setelah mereka kembali kerumah, remaja putri itu menjadi semakin akrab. Mia dan Tika tampak menemukan kecocokan sebagai remaja. Keduanya berbagi banyak hal. Widya mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang dunia 'lain' dari Nunik.
Gangguan memang tidak berhenti, tetapi Widya memiliki Nunik dan Gatot yang bersedia menemani hingga misteri sisir emas terurai.
Siang itu, Bima tiba dengan kantung belanjaan dan tampak kewalahan.
"Nggak usah repot-repot, mas, masih banyak kok bahan makanan kita," seru Widya.
"Kita kan sering nongkrong di sini mbak, biar tambah asyik aja kalo banyak camilan," sahut Bima sambil nyengir.
"Bim, cek email, ada kabar nih dari Wuri," seru Gatot. Bima sontak meletakkan semuanya dan membuka ponselnya. Wajahnya berubah menjadi serius. Dia meraih tas dan mengeluarkan laptopnya.
Widya menunggu dan duduk dengan sedikit cemas. Nunik mendekati suaminya dan ikut membaca isi email.
"Mbak Widya, sorry, pernah lihat ini nggak sebelumnya?" tanya Bima. Widya berjalan mendekati meja di mana Laptop berada dan melihat lampiran berita yang dikirimkan.
Sebuah artikel tentang kebakaran di London tahun 1666. Kebakaran hebat yang membumi-hanguskan kota tersebut anehnya hanya memakan korban sebanyak enam orang saja.
"Semua berjumlah enam. Walaupun kebakaran itu terjadi 2 September 1666 dengan begitu mengerikan dan menghanguskan keseluruhan kota, tapi jumlah korban hanya berjumlah enam," papar Bima.
"Belum pernah. Apa hubungannya dengan sisir ini mas?" tanya Widya belum paham.
"Sabar, ada fakta lain lagi yang akan menuntun kita kesana," jawab Bima sembari membuka informasi lain di laptopnya.
Widya kembali membaca artikel kedua :
Perang Inggris-Belanda kedua berlangsung antara Inggris dan Provinsi Bersatu mulai 4 Maret 1665 hingga 31 Juli 1667. Inggris berusaha mengakhiri dominasi Belanda atas perdagangan dunia. Setelah kesuksesan pertama Inggris, perang kedua justru berakhir dengan kemenangan Belanda.
Bima menunjukkan artikel terakhir :
Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada akhir abad ke-16 di mana mereka datang sebagai pedagang internasional. Bukan sebagai penjajah di Batavia.
Widya menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.
"Maaf saya masih belum paham," keluhnya.
"Tenang mbak, kita akan jelasin pelan-pelan. Tapi alasan kita unjukin artikel tersebut supaya ada dasar fakta yang kita ungkapkan berikut ini," tukas Bima sabar. Widya mengangguk dan memusatkan konsentrasi penuh.
"Mbak Wid, penyebab Inggris terbakar hingga detik ini memang masih kontroversial. Tapi menurut analisa teman kami, Wuri, Belanda penyebabnya. Kemudian, sisir tersebut berpindah tangan ke Belanda sebagai barang rampasan perang lalu dibawa ke Indonesia pada akhir abad 16. Sebagai pedagang, Belanda membawa berbagai benda unik hasil jarahannya untuk diperdagangkan dan ditukarkan dengan rempah-rempah.
Ini hanya dugaan sementara, sisir tersebut kemudian jatuh ke tangan pribumi kaya raya hingga terbawa ke daerah sini. Menilik bangunan rumah ini bergaya Belanda, menunjukkan bahwa pribumi tersebut tidak hanya membeli tapi juga menikah dengan orang Belanda," Nunik menarik napas setelah menjelaskan panjang lebar. Widya tertegun.
"Maksudmu bangunan ini berusia 450 tahun?" tanya Widya tidak percaya.
"Mungkin sudah mengalami pemugaran, tapi bangunan ini ya, sudah dibangun sekian lama," lanjut Bima.
"Apa yang sedang kita hadapi sekarang mas Bima ...," suara Widya terdengar gemetar. Bima menunduk dan melirik Nunik yang serba salah.
"Perjanjian berdarah yang berusia 500 tahun lebih mbak," sahut Bima seperti tercekik.
"Ta-tapi kami tidak pernah menemukan atau membuat perjanjian apapun!" pekik Widya tidak terima.
"Tidak ada perjanjian langsung, tapi jika kalian sudah pernah menggunakan sisir ini maka itu sama saja kalian mengikat diri," jelas Nunik masih bersabar menerangkan.
"A-aku tidak pernah menggunakan itu, sumpah," serunya. Wajah Bima, Gatot dan Nunik masih gelisah. Widya tiba-tiba tersadar. Ia membuka mulutnya dan menoleh ke arah taman belakang. Tika putrinya sedang bermain dengan gembira bersama Kino dan Mia.
Bulir hangat mengalir dari kedua matanya tanpa isak dan sedu sedan. Mulutnya masih terbuka dan ekspresi pilu terukir di wajah Widya. Mia mendadak menoleh pada Widya dan mengangguk dengan wajah sendu.
Tika pernah menggunakan sisir itu!
▪︎▪︎▪︎
Bersambung...