Chereads / Blue Valentine / Chapter 5 - Terkuak

Chapter 5 - Terkuak

Terkuak

Udara pagi di pinggiran Sleman sangat dingin menggigit. Widya menyiapkan sarapan istimewa pagi itu dengan penuh semangat. Setelah suaminya meninggal, dia hanya menjalani hidup dengan kedua anaknya. Belum pernah ada orang lain atau kerabat yang datang dan menginap di rumah mereka. Namun hari ini, dia bisa merasakan rasanya memiliki teman, walaupun karena kepentingan masalah teror. Semua saling menyapa dan suasana menjadi hangat.

Nunik dan Gatot adalah pasangan yang baru menikah, keduanya mendedikasikan hidup mereka untuk membantu kasus seperti mereka. Sedangkan Bima, baru bergabung empat tahun yang lalu. Bertiga melanglang buana hampir ke seluruh Indonesia.

"Lha terus kalo gak pernah dibayar, biaya operasionalnya gimana?" tanya Widya penasaran. Bima tertawa.

"Ada rejeki lain kok mbak Wid, dari catatan perjalanan kami, dituangkan ke dalam buku dan hasilnya lumayan banget untuk back up operasional. Tapi, selain itu, kebetulan kami bertiga ini punya hobi yang sama sejak SMA dulu. Otomotif, jadi dari hobi tersebut, kami usaha barengan," sahut Nunik panjang lebar.

"Enak ya bersahabat dari dulu," puji Widya tersenyum.

"Yah, kebetulan saya dan Nunik sepupuan, jadi klop aja. Sekarang setelah nikah sama Gatot, kita jadi saudaraan, bukan lagi sahabat," tambah Bima.

"Moga-moga kita dari bertemen jadi sahabat ya Tik," cetus Mia.

"Udah saudaraan kita, dari sejak kamu nolong aku," sahut Tika sambil mencubit pipi Mia gemas. Semua tertawa. Usai sarapan, Bima langsung memberi isyarat untuk Mia mengajak main Kino dan Tika di luar, sementara dirinya menjelaskan sesuatu.

Widya sedikit cemas dengan kabar yang akan diterimanya.

"Mbak Widya, santai aja jangan stres, ini baru dugaan sementara aja. Kita berusaha menyampaikan opini kita sejauh ini," Bima membuka percakapan pagi itu. Widya meremas tangannya dengan cemas.

"Dari hasil cctv di lantai bawah tidak ada pergerakan. Rata-rata hanya gerakan kecil yang tidak berarti. Nah, tapi liat lantai dua, terutama kamar Tika, kalian harus menyaksikan sendiri." Gatot menampilkan video cuplikan hasil rekaman cctv di lantai dua. Pintu kamar Tika membuka sendiri, kemudian tampak menutup kembali.

Cuplikan berikutnya kamar Tika bergeser tempat tidur dan meja rias. Buku-bukunya beterbangan dan kembali lagi tertata rapi. Sebuah kardus di ujung kamar tampak terbuka, dan sebuah kotak terangkat sendiri, melayang ke meja rias. Kotak perhiasan terbuka dan sebuah sisir melayang naik turun seperti ada seseorang yang menggunakannya. Kejadian itu berlangsung hingga satu jam. Begitu suara azan subuh berkumandang, semua kamar kembali rapi, dan kotak perhiasan melayang ke dalam kardus kembali.

Widya menahan napas dan bibirnya gemetar. Nunik menyentuh tangan Widya yang dingin dan berkeringat.

"Mbak Wid, ada sesuatu yang akan kita lihat, jika di ijinkan," pintanya hati-hati.

Widya mengangguk.Bima dan Gatot menuju kamar atas dan menemukan kardus beserta isinya.

Setelah membawa dan membongkar kardus di bawah, Nunik memejamkan mata sambil meraba satu persatu barang. Bibir dan tangannya gemetar. Keringat muncul di kening Nunik. Gatot menyentuh pundak istrinya dengan lembut.

"Nun, jangan dipaksa kalo nggak kuat," bisiknya lirih. Satu bulir hangat mengalir perlahan dari ujung mata kirinya, seiring Nunik membuka matanya.

Widya menyodorkan tisu dan menelan ludah ikut larut dalam ketegangan.

"Sisir itu punya ikatan janji dengan setan," desis Nunik dengan wajah pias.

Gatot mengusap wajahnya penuh prihatin. Bima menyandarkan badannya ke kursi dengan napas berat. Widya tergugu dalam diam.

▪︎▪︎▪︎

Bima meneliti sisir emas itu di tiap ujung. Mencatat dan mengambil foto kemudian mengirimkan kepada seseorang.

"Saya sudah mengirimkan foto penemuan kita ke teman saya yang lebih paham. Semoga ada titik terang nanti," kabarnya sambil menyeruput kopi.

"Sementara ini, kita belum tau bentuk ikatan apa tentang sisir itu. Jadi jika tidak keberatan, seluruh barang yang ada di kotak kami akan bawa ke tempat yang lebih aman ya mbak Wid," pinta Nunik. Widya mengangguk cepat-cepat.

"Bawa aja, mungkin dengan begitu rumah ini lebih aman," sahutnya.

"Maksud kami juga, ingin menyampaikan bahwa kebetulan kepercayaan kami dengan mbak Widya berbeda, jadi tanpa mencoba menyinggung, ini akan kami bawa ke gereja. Semoga mbak Wid tidak keberatan," lanjut Nunik. Widya tersenyum.

"Ayolah, saya bukan orang seperti itu, bagi saya agama itu masalah pribadi, jadi jika memang cara untuk membantu saya sesuai dengan kemampuan dan kepercayaan kalian, ya saya harus menghormati itu," jawab Widya lembut. Nunik tampak lega.

"Kita beres-beres kalo gitu," ajak Bima.

Observasi pertama mereka selesai.

▪︎▪︎▪︎

Widya melepas Bima dan timnya dengan hati lega. Tika terlihat lebih antusias dan ceria.

"Senang ya Tik dapat teman baru," ucap Widya. Tika tertawa kecil.

"Dulu aku nggak sempet nyari temen Ma. Sekarang setelah pindah kesini, aku baru sadar bahwa punya temen itu menyenangkan. Maaf ya Ma, sempet ngambek waktu itu. Gak nyangka di kota kecil ini ternyata manusianya lebih ramah dan terbuka," Tika memeluk ibunya. Mereka melenggang masuk. Widya merasa tertusuk hatinya. Tika harus mengasuh dan merawat Kino juga dirinya sendiri. Putrinya tidak ada waktu untuk memiliki teman sebaya. Betapa menyedihkan kehidupan mereka dulu.

"Kino ayo masuk tutup pintu gerbangnya," ajak Widya.

Kino dengan pelan menutup pintu dan menunduk masuk melewati kakak dan ibunya.

"Kamu kenapa dek?" tanya Tika heran.

"Sedih ya pisah sama tante Nunik, besok dia main lagi kok," hibur Widya sambil mengusap kepala Kino.

"Salah besar bawa sisir itu pergi, mereka akan marah besar kalo tau," cetus Kino menatap mata mama dan kakaknya bergantian.

"Maksud kamu apa Kin?" Widya jongkok di depan putra bungsunya. Kino tampak gusar.

"Temen-temenku yang di pohon itu yang kasih tau, sisirnya gak boleh keluar dari rumah ini," jawab Kino polos.

"Ka-kapan mereka bicara sama kamu?" Jantung Widya berdebar kencang.

"Barusan ma," jawaban Kino membuat Widya panik dan ngeri sekaligus.

"Tika siapin bajumu dan adikmu, kita nginep di hotel!" seru Widya.

Bergegas mereka tunggang langgang bersiap dan kabur ke hotel.

▪︎▪︎▪︎

Widya merebahkan tubuhnya di kasur. Berharap dengan menginap di hotel ini mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan. Tika dan Kino sudah terlelap. Widya membiarkan mereka tidur siang, mungkin lelah karena berhari-hari mengalami kejadian menegangkan, keduanya tampak pulas.

Ponselnya bergetar, pesan dari Bima masuk.

- mbak Widya ada di hotel mana?-

Widya membalas.

-Hotel Beringin mas, kabari jika sudah dekat-. ✔Terkirim

Jarinya kembali mengirim pesan ke kantor untuk mengajukan cuti mendadak selama seminggu. Dia ingin menyelesaikan ini hingga tuntas. Sudah terlalu lama dia membiarkan kedua anaknya berjuang sendiri tanpa pendampingannya. Selama ini Widya terlalu mengejar materi untuk kemapanan hidup mereka. Kehadirannya dalam berperan sebagai ibu sering digantikan oleh Tika, putrinya. Maafkan mama nak, bisiknya dalam hati. Menatap wajah keduanya dengan haru.

Bima mengirim pesan bahwa mereka sudah sampai. Widya segera bergegas dan turun ke lobi untuk menjumpai mereka.

"Halo mbak, sorry kelamaan, soalnya agak macet," ujar Nunik sambil memeluk Widya.

"Nggak apa2, maafin aku ya, harus hubungin kalian lagi," jawab Widya sedikit tidak enak.

Mereka mengambil tempat untuk berdiskusi di kafe hotel.

Dengan terbata-bata Widya menceritakan tentang ucapan Kino. Nunik tercekat. Bima terlihat mengerutkan keningnya saat membuka pesan di ponselnya.

"Kayaknya Kino bener," ucap Bima serta menunjukkan foto ganjil sebuah ruangan yang terlihat hancur berantakan dengan kardus di tengah-tengah dalam keadaan tertutup rapi.

"Ini ruang baca gereja, barusan koster (penjaga gereja) mengirimkan foto ini. Untung tidak ada yang terluka," ucap Bima sambil menggelengkan kepalanya.

"Apa yang akan yang terjadi pada keluarga saya sekarang?" tanya Widya putus asa.

"Saya dan Gatot jika mbak Widya setuju, akan tinggal bersama kalian. Karena ...,"

"Mama! Kino Ma!" ucapan Nunik terpotong oleh teriakan Tika yang berlari menuju mereka tanpa memakai sandal.

Seluruh tubuh Widya seperti tersengat listrik. Bima dan Gatot dengan cekatan berlari mengikuti Tika ke kamar.

Begitu membuka pintu, Kino sedang berputar di udara sambil teriak ketakutan. Kain seprai putih membungkus tubuhnya rapat. Kino mulai sulit bernapas saat kain putih itu menutupi wajahnya. Bima dan Gatot berseru melantunkan doa seraya menarik turun Kino.

Kino berhasil ditarik, tapi kain itu membungkus tubuhnya semakin kuat. Nunik menghantam sesuatu di udara dengan telapak tangan yang teracung dan teriakannya menggetarkan dinding juga kaca hotel.

Kain terurai, Kino pingsan. Widya menyerbu dan memeluk anaknya dengan teriakan histeris. Nunik terjatuh lunglai. Tika menangis di pintu masuk dengan wajah ketakutan.

Ternyata sisir itu menyimpan kengerian yang tidak terbayangkan sebelumnya.

▪︎▪︎▪︎

Bersambung