Chereads / Blue Valentine / Chapter 4 - Sahabat

Chapter 4 - Sahabat

Sahabat

Di kantor, Widya masih mencari cara untuk mendapatkan bantuan melalui browsing. Sejak terakhir kali mereka mengalami teror berupa ketukan pintu, rumahnya sudah mengadakan tahlilan tiga hari berturut-turut. Memang, teror itu berhenti, tapi Kino dan Tika masih melaporkan melihat wanita berkebaya hitam di taman belakang.

Apa mau dari makhluk tersebut? Jarinya menelusuri layar mencari bantuan situs ahli yang bisa menangani kasus seperti mereka, tapi selalu berakhir dengan paranormal yang tidak jelas dan tampak oportunis.

"Wid, kamu bisa pindah kerumahku lho kalo mau, aku ada pavilyun kecil sih, tapi cukup buat kalian bertiga. Yang penting ngerasa aman, gak kayak gini," ucap Sari teman sekantornya.

"Pikirin dulu aja, siapa tau semakin memburuk," lanjut Sari lagi.

"Makasih ya Sar," jawabnya terharu. Sari menepuk pundaknya dengan senyum hangat dan berlalu.

▪︎▪︎▪︎

Tika meremas kertas dan bergegas membereskan buku-bukunya. Jam sekolah berakhir, tapi dirinya enggan pulang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, malah membuatnya mengalami kejadian terburuk dalam hidupnya.

"Tika, kok gak pulang?" suara Mia terdengar dari arah pintu kelasnya. Tika tampak gugup dan tersenyum.

"Eh Mia, iya lagi beresin buku nih," sahut Tika melanjutkan memasukkan buku ke tasnya. Lamunan tentang kengerian teror di rumahnya buyar.

"Kamu masih mengalami teror?" tanya Mia ringan namun terkesan bersimpati.

"Kamu tau darimana kami ngalamin itu?" tanya Tika heran sekaligus ingin menghilangkan penasaran lalu atas ucapan Mia. Teman yang baru dikenalnya beberapa ini duduk di bangku sebelah.

"Kamu jangan kepikiran aneh-aneh tentang aku ya, tapi aku emang bisa tau dan lihat, orang bilang aku sedikit gila," jawab Mia nyengir. Tika kaget.

"Serius?" tanyanya sambil mencengkeram tangan Mia.

"Tuh kan nggak percaya," rungut Mia.

"Bu-bukan, tapi mungkin kamu bisa bantu aku Mi, ngusir roh itu," pinta Tika bersungguh-sungguh.

"Emang kamu masih di ganggu?"

"Dua hari ini lumayan tenang, tapi feelingku nggak lama lagi pasti muncul," jawab Tika putus asa.

"Aku nggak punya kemampuan kayak ngusir hantu gitu, cuman bisa liat aja," tukas Mia.

"Maaf ya," lanjutnya penuh sesal. Tika terlihat putus asa dan tersenyum lesu.

"Tapi Papaku bisa, kalo nggak keberatan, aku bisa minta Papa mampir nanti," ralat Mia cepat-cepat. Tika masih terlihat ragu dan tidak mau berharap.

"Semoga papa kamu bisa bantu kita," harap Tika.

▪︎▪︎▪︎

Sore ini Widya mencoba mengusir ketakutan keluarganya dengan aktivitas yang bisa membuat mereka teralihkan. Tika asyik membuat sate dibantu oleh Kino. Ya, mereka akan melewatkan akhir pekan ini dengan pesta barbekyu di taman belakang. Tika mengundang sahabat barunya Mia untuk datang. Ketiganya mendengarkan musik dan bernyanyi dengan riang. Setelah siap semua, Widya mulai memanggang sate di tungku bara. Tidak lama Mia datang dan bergabung bersama mereka.

Celoteh dan canda tawa menghiasi taman itu.

"Sudah masuk bulan Februari nih, mau valentine sama siapa nih," tanya Mia pada Tika. Gadis itu tersenyum malu-malu.

"Aku mana ada rencana?" kelit Tika dengan wajah memerah. Mia menopang dagunya dan membalik sate.

"Sama, aku pengen dapet seseorang yang special dan bisa bervalentine sama aku," harap Mia sembari membayangkan pria asing yang wajahnya masih kabur namun selalu hadir dalam mimpinya. Widya yang masih asyik meracik minuman sop buah tersenyum geli mendengar obrolan dua remaja putri.

Tiba-tiba Kino yang duduk di sebelah Tika bangun dan berjalan menuju pohon kelengkeng besar dan berhenti. Sikapnya sangat ganjil. Tubuhnya berdiri menghadap ke arah pohon, tidak bergerak hanya kepala menengadah memandang atas.

Ibu dan kakaknya baru menyadari sesuatu dan berteriak kepada Kino. Tapi dia tidak merespons. Mia berjalan mendekati Kino dan menepuk pundaknya.

"Kino ayo pulang," ajak Mia. Widya dan Tika tidak mengerti maksud Mia, mereka sudah berada di rumah, kenapa mengajak Kino pulang?

Kino diam sejenak. Tapi beberapa detik kemudian seperti tersadar dan menoleh ke samping dimana Mia berada.

"Ah kakak, aku kan lagi asyik main," keluh Kino berbalik meninggalkan Mia. Widya dan Tika seperti disiram es, keduanya menggigil. Ucapan Kino barusan membuat merinding. Putra bungsu Widya masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi lagu cublak-cublak suweng. Sebuah lagu Jawa yang mustahil diingatnya, karena mereka baru seminggu pindah.

"Mia, kenapa kamu mengajak Kino pulang? Main dengan siapa dia? Dan lagu itu ...," Widya mengajukan serentetan pertanyaan dengan panik. Mia menghela napas dan kembali menghampiri Tika dan ibunya.

"Di pohon itu banyak anak-anak jin, ada juga arwah para bayi, banyak banget anak-anak kecil. Mereka coba mau ajak Kino tante," jawab Mia pelan. Widya dan Tika saling merapatkan tubuh mereka. Mia mendengar beberapa bisikan.

"Rumah ini milik wanita berkebaya hitam, kita panggil papa aja kalo tante mau lebih lengkap," jawab Mia kembali pelan.

Widya seperti tersengat listrik. Tika menutup mulutnya dengan ekspresi ngeri. Ternyata rumah ini menyimpan banyak sekali misteri.

"Bisakah kita bertemu papamu sekarang?" pinta Widya dengan penuh harap. Mia mengangguk. Rencana Mia yang ingin mengajak ayahnya di lain waktu, ternyata harus terjadi malam ini.

Sementara Mia menelepon, Tika termenung di depan tungku panggang. Terlalu intens gangguan yang mereka alami. Ini akan berlangsung sampai kapan?

Satu jam kemudian, ayah Mia, Bima, datang bersama dua temannya. Widya segera membuka pintu dan mempersilahkan untuk bergabung di taman belakang. Bima adalah orang tua tunggal sama seperti Widya. Usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya. Bima duduk mendengarkan semua kisah yang diceritakan Widya dari awal hingga akhir. Dua temannya, Gatot dan Nunik, tampak sedang menemani Kino bermain di rerumputan.

"Saya tidak berjanji, tapi kami usahakan semampu kami ya mbak," ucap Bima santun. Widya mengangguk penuh harap.

"Tidak ada salahnya mencoba," sahut Widya optimis.

"Kita bisa mulai sekarang tidak ya mas?" tanya Widya ingin langsung segera teror ini berakhir.

"Hmm saya sih siap, gimana Tot, Nun?" seru Bima meminta persetujuan timnya.

"Harus hari ini Bim, kasian mereka," sahut Nunik cepat.

"Terima kasih banget, saya bersedia bayar biayanya berapapun itu," ucap Widya antusias. Nunik tersenyum.

"Wah, kita bukan seperti itu mbak Wid. Ini murni bantuan kok," balas Nunik sambil tertawa.

"Tapi kan ...,"

"Udah, nggak usah dipikirin mbak Wid. Kita konsentrasi dulu ke tujuan kita ok?" potong Bima.

"Makasih ya, semoga Tuhan semakin menambah rejeki berlimpah untuk kalian," doa Widya penuh syukur.

"Amin. Oh ya, sebelumnya, mas Gatot ini yang akan meneliti tiap sudut rumah dan memasang cctv, jika diperbolehkan untuk mempermudah pantauan kami. Mbak Nunik bersama saya yang akan melihat perkembangan aktivitas supranatural tanpa media teknologi. Putri saya sebetulnya bisa, tapi jangan dulu, masih anak-anak," papar Bima memperkenalkan satu persatu timnya.

"Sepertinya saya bertemu dengan orang-orang yang tepat. Semoga, kali ini berhasil," sambut Widya.

Setelah Widya sepakat dan menyetujui, Gatot dibantu Bima segera berkeliling memeriksa dan memasang cctv di sudut-sudut dengan jangkauan pandang luas.

Malam itu setelah empat jam persiapan, semuanya selesai. Tika dan Mia tertidur di sofa ruang baca, sementara Kino di seberangnya. Waktu menunjukkan pukul satu malam.

Sesuai kesepakatan, Bima dan kedua temannya akan memantau dan tinggal di area rumah hingga masalah ini selesai. Dia dan timnya tidur di minibus yang menjadi rumah mereka selama berkeliling untuk membantu kasus demi kasus.

Malam berganti dini hari. Suasana tenang tidak ada gangguan. Tapi Bima yang masih terus berjaga memantau layar cctv menggelengkan kepala berulang kali.

Baru kali ini dia menemukan kasus yang cukup frontal dan mencengangkan.