Widya menepuk pipi putrinya berulang-ulang sambil terus mengoleskan minyak kayu putih di kening dan hidungnya. Tika mulai siuman dan menatap ibunya.
"Ma, kepalaku sakit," keluhnya sambil berusaha bangun. Widya membantu putrinya duduk tegak.
"Iyalah kamunya jatuh dilantai, pasti kejedot tadi," ujar Widya memijit kening Tika dengan penuh kasih.
"Aku kepleset dan ...." Tika terdiam dan mulai mengingat memori terakhirnya. Dia menatap ke arah tangga takut-takut.
"Kamu kenapa Tika? Jangan bikin mama takut ah," protes Widya ikut menoleh ke arah tangga.
"Enggak ma, aku kecapekan mungkin, jadi ngebayangin yang aneh-aneh," tukas Tika sambil bangun dari sofa ruang baca.
"Aku juga udah liat kok mbak. Lemariku nutup dan buka sendiri tadi," cetus Kino dengan santai. Widya tercekat.
"Kino? Kok ngomong begitu? Jangan bikin cerita serem dong ah," seru Widya gelisah.
"Beneran ma, tadi aku juga liat sesuatu, ditambah gelas susuku gerak sendiri," akhirnya meluncur pengakuan dari mulut Tika. Widya menutup mulutnya dan menatap kedua anaknya bergantian.
"Maksud kalian hantu?" tanyanya masih tidak percaya. Kedua anaknya mengangguk. Widya menggelengkan kepalanya mengusir berbagai spekulasi, tapi bagaimanapun dia harus percaya pada buah hatinya. Mereka bukan tipe anak penakut. Jika ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan, pasti ini sesuatu yang serius.
"Mungkin kita yang salah, tidak permisi dulu sebelum masuk rumah baru. Kita sholat azhar yuk ..., biar adem rumahnya," ajak Widya. Tika dan Kino segera mengiyakan dan mereka bergegas mengambil air wudhu.
Malam itu selesai Shalat bersama, Widya mengajak keduanya menyiapkan keperluan sekolah. Tika sudah selesai terlebih dahulu dan turun ke bawah sambil membawa kotak kayu kusam yang mirip kotak perhiasan.
"Ma, aku nemuin ini dikotak kardus," lapor Tika menyerahkan kepada ibunya. Widya mengernyitkan dahi dan meneliti kotak itu. Kotak itu terbuat dari kayu besi atau kayu Kalimantan. Sangat jarang ditemukan di pulau Jawa, karena mahal harganya.
Widya membuka tutupnya dan menemukan sebuah bungkusan kain batik hitam dengan corak unik. Dibuka perlahan kain itu dan ada sisir emas yang sangat indah tanpa gagang. Mirip sisir jaman dahulu. Ditilik dari beratnya, sisir ini mengandung emas dengan kualitas bagus. Diujung sisir ada deretan angka 06.06.1666.
"Wow, emas ...," desis Kino kagum.
Widya merinding melihat deretan angka yang didominasi angka enam. Entah, mungkin karena pikirannya terdoktrin angka enam melambangkan sesuatu yang jahat maka pikirannya langsung menimbulkan sensasi ngeri.
"Tika, kembalikan sisir ini. Kamu nemuin di mana?" tanya Widya.
"Nggak tau tiba-tiba udah ada dalam kardus dikamarku. Satu tempat sama syal yang tadi aku pake, Ma," jawab Tika tidak mau disalahkan.
"Kino, kamu udah selesai belum?!" teriak Widya tidak menanggapi Tika, karena mulai curiga Kino terlalu lama dikamarnya. Tika tidak menunggu lama dan mulai berlari naik ke atas serta membuka pintu kamar Kino.
Teriakan Tika membuat Widya segera lari tunggang langgang menyusul putrinya. Saat tiba di kamar putra bungsunya, Widya mulai merasakan teror sesungguhnya. Kino sedang melayang di udara dengan posisi tidak sadar diri.
Widya langsung melompat dan merengkuh tubuh Kino, serta menarik tangan Tika untuk turun ke bawah dan masuk ke kamarnya.
Alunan ayat kursi mengalir dari mulut Widya sambil menguasai keadaan hatinya. Sementara Kino mulai tersadar namun tidak mengingat apapun. Malam itu, Widya memutuskan mereka tidur bersama di kamar bawah.
▪︎▪︎▪︎
Hari pertama sekolah, Tika bangun sedikit terlambat. Teror tadi malam membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Dielusnya kepala adiknya dengan penuh sayang. Apapun akan kulakukan untuk melindungimu dek, batin Tika dengan sendu.
Widya mengingatkan berkali-kali untuk tidak menceritakan kisah ini kepada siapa pun.
"Ada orang yang mengerti, tapi tidak sedikit yang akan menganggap kita gila," pesan Widya kepada keduanya. Tika dan Kino mengangguk dan berjanji akan bungkam.
Tebakan Kino betul, anak-anak di daerah jauh lebih ramah dan menerimanya dengan baik. Tika juga mengalami hal yang sama. Dirinya disambut dengan ramah. Mereka membantunya memberi tugas yang harus di kumpulkan sebelum catur wulan kedua. Ucapan syukur menyelinap dihatinya.
Bunyi lonceng usai jam sekolah berdentang. Rasanya tidak mau berakhir ketika ia menikmati suasana baru yang hangat dan menyenangkan seperti ini. Hampir semua siswa ramah dan menyambut Tika dengan baik. Semua terlihat tulus dan tidak dibuat-buat.
Tika mengingat pesan mamanya untuk pulang sekolah naik kendaraan umum satu kali hingga sampai di kantor ibunya. Sambil menunggu di halte, Tika membuka buku lima sekawan kesukaannya.
"Hai, Sartika anak baru ya?" sapaan ramah terdengar dari samping. Tika menoleh dan tersenyum. Seorang gadis dengan seragam yang sama dengannya, berdiri dan tersenyum manis. Rambutnya yang ikal spiral panjang tampak lucu membungkus wajahnya yang cantik.
"Hai, sorry belum hafal nama semua nih," balas Tika sopan.
"Mia, anak 10B, kamu pulang gak dijemput?" tanya Mia ramah sambil celingukan. Tika menunjuk ke arah angkot yang datang dari kejauhan.
"Tuh jemputanku," guraunya, Mia tertawa.
"Samaan dong kita," cengir Mia ceria. Tika langsung menyukai Mia, selain karena ramah, dia juga tidak banyak basa basi.
Mereka naik angkot bersamaan dan saling berbagi cerita seru. Mia ternyata juga pindahan dari kota Bogor tahun ini, hanya beda dua bulan dari Tika.
"Tapi ini bukan pertama kali pindah, aku udah bolak balik karena ngikutin papa," terang Mia. Tika makin terlihat tertarik. Mirip dengan dirinya.
"Aku main ketempatmu ya kapan-kapan," pinta Mia semangat. Tika terdiam langsung. Kantor ibunya sudah mulai dekat, dia harus menjawabnya dengan cepat.
"Rumahku anu," Tika tidak ingin temannya mengalami hal yang mengerikan seperti dia.
"Tik, aku paham kok makhluk begituan," balas Mia tanpa ragu. Tika terhenyak. Darimana dia tahu? Sebelum sempat bertanya, kantor ibunya sudah di depan mata dan dia harus turun. Angkot berlalu dengan Mia yang tersenyum melambaikan tangannya. Siapa gadis itu sebenarnya?
▪︎▪︎▪︎
Malam ini mereka kembali Shalat bersama, syukurlah tidak ada kejadian aneh setelah itu. Widya masih sibuk menyelesaikan audit gambar auto CAT arsiteknya. Kino baru selesai menyiapkan jadwal. Tika ingin mengambil air minum di area dapur yang hanya terpisah oleh dinding. Tapi ragu karena harus melewati tangga naik ke kamarnya. Bayangan wanita berkebaya hitam yang duduk di pegangan tangga membayangi dirinya.
"Ma," panggil Tika.
"Hmm," sahut ibunya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Anterin ke dapur dong," pintanya malu. Widya mengangkat wajahnya tersenyum.
"Kita gak boleh terus menerus hidup dalam ketakutan lho mbak," nasehatnya pada putri sulungnya. Tika menggigit bibirnya cemas.
"Tapi bukan tanpa alasan ma," Tika membela diri.
"Aku anter yuk mbak Tika," Kino menawarkan diri sambil bangkit. Wajahnya menunjukkan kesungguhan. Kakaknya masih ragu namun mengiyakan.
Baru saja Tika beranjak, pintu di ketuk. Mereka berpandangan dan heran. Siapa yang bertamu hampir jam sembilan malam ini? Dengan enggan Widya membuka pintu, tidak ada siapa pun. Terburu-buru Widya menutup pintu dan menguncinya. Dia segera memanggil kedua anaknya untuk mendekat dan bersiap diri atas teror yang mungkin akan mereka terima. Kino merapikan tas dan duduk merapat ke ibunya. Tika masih menyelesaikan soal terakhir PRnya saat pintu kembali di ketuk.
Tika menahan ibunya untuk membuka pintu, tapi kejengkelan atas teror yang dialami dua hari terakhir ini membuatnya di ambang kesabaran. Dengan kasar dia membuka kunci dan menarik daun pintu. Kosong, tidak ada siapa pun. Widya mengunci pintu dan mengajak kedua anaknya masuk kamar.
Dalam kamar mereka meringkuk ketakutan dan berdoa. Ayat-ayat suci dilafazkan. Tapi suara-suara barang jatuh dan ketukan keras di pintu tidak berhenti.
Widya menangis sedih dan pilu. Apa daya, rumah ini terlanjur dibeli dengan semua uang tabungannya. Mereka tidak mungkin berpindah lagi, sebelum rumah di Jakarta terjual. Hampir dini hari gangguan itu berlangsung dari lantai dua, hingga akhirnya, kedua anaknya pun terlelap kelelahan.
Widya masih tersedu.
Ya Allah apa rencanaMu?
▪︎▪︎▪︎
Bersambung