1971
Raut wajah Satrio mendadak mendung, kondisi kesehatan Menik, istrinya semakin memburuk. Dokter kembali memeriksa hasil lab terakhir, dan menyampaikan kabar itu sehalus mungkin. Namun Satrio tahu, waktu Menik tidak lama lagi. Kanker rahim yang menggerogotinya semakin parah dan menyebar. Di era tahun 1970-an ini teknologi kedokteran belum begitu canggih. Pengobatan istrinya sudah mencapai tahap maksimal.
"Mas, aku haus," keluh Menik dengan wajah pucat. Bibirnya kering, dan rambut di kepalanya sudah habis. Bercak hitam menghiasi hampir seluruh tubuhnya.
Satrio menyorongkan gelas dengan sedotan mendekat ke bibir istrinya. Sayangnya, Menik sudah tidak sanggup menelan cairan. Seluruh air tumpah kembali. Airmata Satrio bergulir.
"Mas, berjanjilah satu hal jika aku mati, kuburkanlah aku dengan sisir emas peninggalan ibu, kesayanganku. Pastikan itu, supaya semua ini berhenti," bisik Menik.
Satrio tersedu. Digenggam tangan Menik yang makin lama semakin terasa dingin. Mata istrinya menutup perlahan seiring napas yang tersenggal. Tidak lama kemudian, mesin deteksi jantung terlihat datar.
Raungan Satrio mengiringi dokter yang mengumumkan waktu kematian almarhumah.
▪︎▪︎▪︎
Widya adalah seorang ibu tunggal muda yang memiliki dua anak. Si sulung, Tika, adalah gadis remaja yang berusia enam belas tahun dan duduk di bangku SMA kelas sepuluh. Sedangkan Kino, anak laki-laki bungsunya, berusia delapan tahun. Suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu. Semenjak itu, dirinya harus berjuang sendiri menghidupi kedua anaknya.
Widya sendiri bekerja sebagai seorang asisten manajer pengembangan bisnis di perusahaan kontraktor. Profesinya menuntut dia untuk bepergian dari satu kota ke kota lainnya. Terkadang dia iba harus meninggalkan Tika dan Kino di rumah sendiri. Tapi tidak ada pilihan. Widya adalah anak yatim piatu yang akhirnya berhasil karena gigih dan tekun bekerja. Begitu juga suaminya, yang berasal dari Aceh, juga yatim piatu, dimana hampir seluruh keluarganya menjadi korban tsunami. Mereka berdua tidak memiliki sanak saudara. Tika dan Kino harus mandiri di saat ibunya bertugas keluar kota.
Hari itu Widya kembali dan dengan tidak sabar, dia menyampaikan kabar gembira pada kedua buah hatinya.
"Mama dapat promosi," pekik Widya di tengah mereka menyantap makan malam. Tika putrinya hampir tersedak.
"Mama ih, bikin kaget," rungutnya. Widya tersenyum geli.
"Coba tebak," timpalnya mencoba berteka teki.
"Paling Mama malah makin sibuk, makin nggak pulang-pulang deh," protes Kino. Widya tersenyum sendu. Putranya memang cerdas untuk ukuran delapan tahun.
"Enggak Kin, kali ini mama bekerja sesuai jam kantor dan rumah kita hanya lima menit dari kantor mama. Tapi, kita akan pindah ke daerah agak sedikit pelosok dari Jakarta. Namanya, Sleman," papar Widya panjang lebar.
"Kita pindah lagi, Ma?" pekik Tika tidak terima.
"Aku kayaknya suka tinggal di jawa, anak-anaknya pasti ramah dan baik-baik. Nggak kayak temenku disini, tiap hari nakalin aku," seru Kino antusias.
Widya hampir tidak bisa menelan kunyahannya. Pengaduan Kino menusuk ulu hatinya. Tika menoleh ke arah adiknya.
"Kalo Kino mau, mbak Tika setuju aja deh," tukasnya buru-buru. Widya tersenyum lega. Mereka akan memulai hidup baru ditempat baru. Semoga Tuhan, bisiknya.
▪︎▪︎▪︎
Setelah tiga hari merapikan dan selesai mendandani rumah baru mereka, Widya memandang keseluruhan dengan puas. Warna putih yang dipilihnya, ternyata pas dengan model rumah belanda yang dibelinya dengan harga murah. Jarak dari kantor hanya lima menit, dan ke sekolah anak-anak sekitar dua puluh menit.
Rumah itu berada di lereng bukit. Entah apa yang menginspirasi Widya, tapi sebutan rumah white memang cocok untuk rumah barunya. Berharap semoga ada kehidupan lebih baik kedepannya.
Tika dan Kino masih asyik mendekorasi kamar mereka masing-masing. Ini pertama kali mereka memiliki kamar sendiri. Widya merapikan lagi gorden putihnya dan mengelus meja makan kayu jati yang tampak vintage dengan cat rusty white pilihan Widya. Rumah ini terasa sempurna. Kali ini, Widya tidak menyesali keputusannya.
Tiga kamar yang cukup besar adalah poin utama rumah ini. Dua kamar tidur di lantai dua dan satu kamar tidur utama di bawah. Ruang tamu didesain menjadi satu dengan ruang baca.
Widaya mengagumi jejeran rak buku beserta isinya yang sudah berada di tempat itu sebelumnya. Ruang dapur juga begitu luas. Memiliki pintu kayu sliding yang besar dan bisa digeser seluruhnya, hingga terbuka lebar menghadap ke taman belakang rumah.
Selain terlihat asri, taman belakang dilengkapi tungku seperti sumur batu di tengah, untuk barbekyu. Tempat duduk dari batu juga mengelilingi tungku pemanggang tersebut. Setiap detail menambah kesan nyaman dan mewah.
"Ma, bikin ayunan dong di pohon itu," teriak Kino menunjuk ke arah pohon di taman belakang. Widya mengernyitkan matanya. Pohon kelengkeng besar. Wow, bonus tambahan nih, pikirnya.
"Besok ya Kin, tukangnya dah pulang semua," sahut Widya. Kino melonjak senang.
Sementara itu, Tika masih menikmati menata kamarnya. Tinggal satu kotak lagi yang belum dibuka. Tika begitu semangat membuka kotak kardus terakhir. Ketika tangannya menarik penutup atas, Tika tertegun.
Tumpukan syal berbahan wol dengan warna dan corak yang belum pernah Tika lihat sebelumnya. Ada juga kotak perhiasan dengan warna kayu kusam beserta alat rajutan dan buku-buku tua yang kurang menarik. Mungkin milik orang yang sebelumnya, pikir Tika. Dia segera menutup kotak kardus dan bergegas ke bawah.
"Syalnya bagus mbak, hadiah dari siapa?" tanya Widya sambil menata makanan di meja makan.
"Nemu di kardus ma, lumayan. Nggak nyangka di sini dingin banget," jawab Tika sambil mencomot kerupuk udang.
"Panggil Kino buat makan siang," pinta Widya. Tika berlari ke taman belakang dan memanggil adiknya untuk santap siang.
Tidak ada jawaban. Tika naik ke atas batu dan mengintip ke balik tembok batu yang mengelilingi rumahnya. Kosong. Dengan kesal dia berlari ke depan rumah dan keluar gerbang. Kino tampak sedang berdiri membelakanginya dan menghadap ke arah turunan aspal rumah mereka.
"Kino! Jangan keluar gerbang sembarangan ya! Dipanggil kok diem aja," seru Tika kesal. Kino diam masih membelakangi Tika.
"Kino, mbak Tika nggak temenin baca buku ya ntar malem," ancamnya mulai gusar. Masih tidak bergeming adiknya. Jarak mereka kurang lebih hanya sepuluh meter saja, mustahil Kino tidak mendengar.
"Tika, kok malah disini, mama kan minta cariin Kino," seru Widya berjalan ke arahnya.
"Ini lagi manggil Kino, dia ...," Tika menoleh dan Kino tidak ada.
"Kino udah di dalem, ayo buruan masuk, dah keburu siang nih, lapeerrr," keluh Widya meraih tangan putrinya. Tika mengikuti dengan penuh tanda tanya. Kino sudah di meja makan, sedang melahap ikan goreng. Terus tadi siapa?
Baru saja mereka selesai bersantap, pintu kamar di lantai dua terbanting menutup.
Widya menggelengkan kepalanya. Mungkin harus menutup pintu dapur sedikit lagi supaya angin tidak masuk.
Perasaan Tika sudah tidak enak, namun dia menyimpan semua kejadian dan takut membahas dengan ibunya. Mungkin ibunta akan menganggap Tika mencari alasan karena tidak betah. Kepindahan mereka memang tidak terlalu menyenangkan buat Tika. Berbeda dengan adiknya yang langsung antusias.
Kino sudah asyik membaca di depan dengan ibunya yang sibuk menghadap laptopnya. Karena haus, Tika melenggang ke dapur untuk mengambil minuman.
"Dek mau susu nggak?" teriak Tika dari dapur.
"Enggak, aku udah minum," jawab Kino dengan suara setengah malas menjawab.
Tika menuang susu ke gelasnya dan mengembalikan kotak ke kulkas kembali. Saat tangannya ingin meraih gelas, ternyata benda itu bergerak sendiri. Tika mengucak matanya dan mencoba mengambil gelas kembali.
Gelas itu bergerak menjauh. Tika sontak berlari sambil berteriak ketakutan. Tapi, saat dia hendak melewati ruang makan, kakinya terpeleset dan terjatuh. Dia mengangkat kepalanya sambil meringis. Ketika menghadap ke arah tangga, dia melihat seorang wanita berkebaya hitam duduk di pegangan tangga, sembari menggoyangkan kaki tanpa menoleh ke arahnya. Tika menjerit histeris dan seketika pingsan.
▪︎▪︎▪︎
Bersambung