Entah mengapa, aku merasa gambar yang ada di dalam buku adalah Devina. Aku berusaha menyangkalnya, tapi ...
"Kamu lagi gambar siapa sih, Pand? Pacar kamu?"
"Ah..." Pandi berhenti menggambar dan menatapku dengan heran. "Bukan. Jelas bukan." Kemudian terkekeh sebentar. "Aku melihatnya dalam mimpiku."
"Dalam mimpi?" Tanyaku dengan suara tegang.
Pandi menghembuskan napas dan mengangguk. "Entah bagaimana, aku bermimpi sosok yang sama selama 7 hari berturut-turut."
Pandi menyentuh gambar gadis itu.
"Aku hanya lihat sosoknya. Tapi tidak lihat wajahnya. Entah kenapa aku familiar dengan gadis yang kuimpikan."
Dengan sopan, aku tidak menyelak perkataan Pandi.
"Hal itu..." Pandi termenung. "Itu membuatku terobsesi untuk menemukannya."
Aku berusaha tenang, meski dadaku berdegup kencang karena tegang. Entah kenapa aku merasa dikhianati.
Gadis yang sedang digambar dan begitu membuat Pandi terobsesi adalah Devina. Aku sangat mengenali sosoknya.
Rasanya dadaku nyeri, karena ternyata...
Bukan aku saja yang tidak bisa menolak perasaan terpesona kepada Devina.
Bahkan, Irsan dan aku bertengkar demi aku membela Devina. Tapi, tak pernah sekalipun, Devina hadir di dalam mimpiku. Kenapa Pandi yang bermimpi tentang Devina? Apa lebihnya dia?
Pandi jelas tidak menyadari kalau aku sedang menatap penuh kebencian kepadanya, dia masih menatap penuh kasih ke gambar yang sudah selesai. Ada banyak kata yang tidak diucapkan oleh Pandi melalui matanya.
Getar dari ponselku yang berada di kantong celana abu-abu, membuyarkan pikiran negatifku.
"Bentar ya, Pand?" Ujarku, setelah Pandi menganggukkan kepala, aku berjalan menjauh.
Ternyata Irsan.
"Halo?" Sapaku setelah memencet layar sentuh ponselku untuk menjawab.
"Enggak ada guru, Thur?" Tanya Irsan. Ada suara ribut-ribut dibelakangnya.
"Hah? Enggak ada. Kenapa emangnya?"
"Kamu bisa menjauh enggak dari kelas. Cari kelas kosong apa dimana gitu yang sepi."
"Kenapa, San?" Tanyaku penasaran.
"Ini rahasia, Thur," ujar Irsan kalem.
"Ya, bilang saja."
Kenapa si Irsan ini? Bilang saja, kenapa mesti sembunyi segala.
"Ini masalah orang yang kamu suka."
Aku menghentikan langkahku.
Masalah orang yang kusuka?
Terbayang seorang gadis berwajah kalem nan rupawan, menyebarkan aroma bunga ketika dirinya lewat, Devina.
"Ini enggak mungkin tentang..." aku susah menyebut namanya. "Dia kan?"
Irsan pasti mengerti siapa yang kumaksud.
"Ya, ini tentang dia." Irsan terdengar serius. "Aku pergi setelah mendapat petunjuk dari Kakekku."
"Apa?" Aku terkejut. Kenapa kakeknya Irsan dibawa-bawa?
"Maaf," ujar Irsan dengan nada menyesal. "Aku terlalu cemas setelah kita berdua bertengkar kemarin. Aku tahu kamu enggak akan menerima jika secara terang-terangan aku meminta kamu menjauh dari Devina demi kebaikanmu sendiri."
Aku jadi merasa bersalah karena merepotkan Irsan.
"Maaf, San."
"Enggak masalah."
Terlalu beruntung aku mendapat sahabat seperti Irsan.
"Jadi?" Tanyaku, sambil berjalan keluar kelas. "Apa yang telah kamu ketahui, Irsan?"
***
"Pernah dengar suku Aonaralic?"
"Ini pertama kalinya aku mendengar suku Aonaralic? Kenapa?"
"Ehm, suku ini menarik sekali."
Aku sudah memasukkan headphone ke dalam ponselku. Jadi, sepanjang jalan tidak perlu memegangi ponsel. Mataku berkeliaran mencari tempat yang bagus untuk berbicara dengan Irsan.
Apa saja yang sudah Irsan temukan?
Ketemu. Mataku berbinar ketika melihat kelas kosong yang tidak ada orangnya. Cepat-cepat aku masuk dan mengunci pintu kelas dari dalam.
"Apa yang menarik, San?" Tanyaku.
"Suku itu terisolasi sekali. Tidak pernah ada satu pun manusia yang bisa masuk ke dalam suku itu. Pertahanan dan juga teknik gerilya mereka menunjukkan kalau orang suku Aonaralic bukan orang bodoh." Ada desah kagum dari nada bicara Irsan.
"Terus, San?"
"Tapi, bukan itu yang terpenting. Suku Aonaralic terkenal karena umur panjang mereka dan juga masa muda yang awet. Entah apa rahasia, mungkin ilmu itu tidak akan diketahui, karena suku Aonaralic sudah punah."
"Kata kamu tadi itu ada hubungan dengan Devina? Apa? Devina keturunan suku Aonaralic yang sudah punah?"
"Bukan," bantah Irsan. "Devina orang terakhir suku Aonaralic."
"Hah?" Teriakku.
"Benar. Itu seperti reaksi pertama kali aku tahu kalau Devina orang terakhir suku Aonaralic." Kata Irsan kalem ketike melihat responku.
"Ngaco, ah, San. Ini Devina, San! Devina! Yang benar saja!" Suaraku terdengar histeris karena tidak percaya.
"Aku juga tahu ini enggak masuk akal, Thur. Bahkan ini seperti menentang logika."
"Gila! Ini gila banget." Gumamku pelan dengan perasaan kacau.
"Tapi menurut cirinya, Devina adalah suku Aonaralic yang terakhir," Irsan bersikeras. "Coba dengarkan."
"Apa, San?"
"Suku Aonaralic adalah suku pemuja iblis. Bahkan menurut desas-desus yang beredar, beberapa yang keturunan murni suku Aonaralic adalah penjelmaan iblis yang sesungguhnya. Suku Aonaralic musnah karena bencana gunung meletus. Tapi, menurut sejarah, gunung yang berada di sekitar suku Aonaralic sudah non aktif sejak lama. Namun sampai sekarang, belum ditemukan kenapa gunung non aktif itu bisa meletus dan memusnahkan suku Aonaralic."
"Lalu?"
Suara Irsan berubah tegang.
"Ciri keturunan murni dari suku Aonaralic adalah bisa menghisap jiwa orang lain sampai mati agar mereka tetap awet muda. Meski itu bukan keinginan keturunan murni suku Aonaralic. Itu seperti refleks. Dan yang lebih menakutkan, mereka, keturunan murni suku Aonaralic itu bisa mempengaruhi cuaca sesuai keinginan mereka. Dan juga mereka diberkahi wajah rupawan dan tubuh yang indah."
Badanku menegang. Perasaan merinding membuatku menggigil.
Teringat di cermin wajahku yang berubah menjadi kakek-kakek.
"Jadi, San, waktu itu pas wajahku..."
"Ya," selak Irsan. "Itu yang menguatkan dugaanku kalau Devina adalah orang terakhir suku Aonaralic."
Kepalaku pusing dengan info yang mendadak ini.
"Siapa saja yang tahu mengenai Devina, San?" Tanyaku.
"Hanya aku saja dan Kakekku, karena Kakek adalah seorang Profesor. Tapi, tenang, Kakek tidak tahu nama Devina. Aku bilang ingin tahu."
"Sekarang kamu dimana, San? Rame banget."
"Di galeri peninggalan suku Aonaralic. Maaf, tidak bisa memberitahukan di mana tempatnya. Kata Kakek peninggalan sejarah Aonaralic masih dipelajari."
"Irsan, makasih. Aku benar-benar terima kasih banget."
"Iya, enggak masalah." Kata Irsan dengan senyum di suaranya. "Nanti kalau Kakek lagi enggak melihat, akan kufoto beberapa peninggalan suku Aonaralic. Oh!" Suara Irsan berubah tegang. "Kakek datang. Aku tutup dulu teleponnya. Sudah ya."
Ponselku langsung bernada sambungan telepon dimatikan.
Hatiku masih kacau.
Devina... orang terakhir dari suku Aonaralic?
***
Entah sudah berapa lama, aku terdiam di ruang kelas yang kosong ini. Bukannya aku suka kesendirian. Tapi, aku tak mungkin menunjukkan wajah kacau ke semua orang. Bisa-bisa disangka putus asa.
Setelah hatiku tenang. Dan bel sekolah sudah berbunyi dari tadi, aku memutuskan untuk keluar kelas.
Aku berjalan dengan langkah lunglai, tidak bertenaga karena kaget yang kurasakan. Aku tidak ingin percaya, tapi beberapa bukti yang Irsan dan aku saksikkan sudah dijelaskan melalui peninggalan suku Aonaralic.
Tapi, yang mengherankan, Devina bagaimana bisa menjadi suku Aonaralic terakhir?
Matahari senja menyorot dari balik jendela di lorong sekolah, samar-samar ada sosok yang sedang bersandar di tembok dan kuperhatikan, orang itu adalah Devina, gadis yang membuatku tidak pernah lupa.
Aku berhenti berjalan, pandanganku rumit ketika menatap Devina. Tak lama Devina sadar ketika kutatap tanpa bicara apa-apa.
"Kau sudah keluar dari kelas itu, Mon cœur?"
Bersambung