"Halo, San?" Sapaku begitu aku sudah membuka ponsel.
"Arthur!"
Terdengar kalau Irsan sedang bersemangat.
"Kenapa, San?" Tanyaku sembari menjauhkan telepon dari telinga, berjaga-jaga kalau Irsan berteriak lagi.
"Hari ini, kamu enggak kemana-mana kan?" Tanya Irsan.
Suara antusiasnya enggak bisa ditutup-tutupi.
"Enggak, ada apa, San?"
"Aku ke rumah kamu sekarang. Tunggu aku."
Sebelum aku menjawab, Irsan sudah menutup teleponnya.
Dahiku mengerut, berpikir apa yang ingin di sampaikan Irsan sampai bersemangat seperti itu. Aku menyadari jam 7 pagi, sudah saatnya sarapan. Jadi aku keluar kamar dan menuju dapur. Ibu sedang menumis sayuran yang akan dijadikan sarapan.
"Tumben hari libur bangun," kata ibu sembari melihatku yang masuk ke dalam dapur. "Biasanya bangun jam 10 pagi."
"Irsan nelpon, mam. Bentar lagi dia datang."
"Kenapa datang pagi-pagi? Kalian mau main?"
"Enggak, Irsan kemarin hari jum'at kemarin enggak masuk. Jadi, dia ke sini?"
Tak lama ada suara yang mengetuk pintu rumahku.
"Irsan kali tuh," ujar ibu mengingatkanku.
Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Ternyata benar Irsan.
"Thur, aku enggak sabar nunjukkin apa yang aku temukan di galeri peninggalan suku Aonaralic itu, aku enggak..."
"Eh, ternyata benar ada Irsan. Masuk, San?"
"Oh iya, Tante."
"Kamu sudah sarapan belum? Makan bareng, yuk."
"Oh saya sudah..."
"Ayo, makan bareng saja, kasihan si Arthur belum sarapan nungguin kamu datang."
Irsan menatapku enggak enak.
Padahal bukan itu alasannya, aku belum sarapan karena memang lauknya belum matang. Tapi, ibu bersikeras mengajak Irsan sarapan. Jadi, aku pura-pura enggak lihat saja tatapan tidak enak dan sungkan dari Irsan.
"Oh ya, Tante. Makasih."
***
"Lain kali kalau datang ke rumah kamu, aku enggak mau pagi-pagi." Kata Irsan begitu masuk ke dalam kamarku.
"Masakkan Mamaku tidak enak?"
"Bukan gitu. Maaf banget. Aku terlalu bersemangat sampai lupa kalau ada kemungkinan kamu belum sarapan."
"Iya, bukan masalah."
Setelah kami duduk, kami berdua sama-sama duduk di lantai yang sudah dilapisi karpet.
"Jadi, apa hasil kesimpulanmu?" Tanyaku.
Irsan merogoh saku jaketnya dan memberikan selembar foto kepadaku.
"Kamu lihat?"
Di foto terlihat ada puing bebatuan yang berantakan, dan debu yang sudah menumpuk.
"Ini apa, San?"
"Foto itu ada lokasi dimana diduga suku Aonaralic dulunya tinggal," kata Irsan. "Ingat ketika aku bilang, suku Aonaralic musnah karena gunung meletus yang semula tidak aktif?"
Aku mengangguk.
Irsan memberikan foto kedua.
"Coba lihat ini," kata Irsan.
"Foto itu diambil dari reruntuhan. Entah apa yang digambarkan oleh anak kecil itu, tapi dia melindungi gambar itu sampai nafas terakhirnya."
Wajah mungil yang sudah tidak bernyawa dalam foto itu menunjukkan kesakitan, tetapi dia melindungi gambar di dalam foto itu dengan baik.
Aku mengenali wajah yang telah membeku karena debu menyelimuti badannya dan seluruh penghuni suku Aonaralic dan sekitarnya.
'Stellify! Hei, aku di sini!'
"Galath," gumamku.
Remaja kecil ini kemungkinan adalah kehidupan Pandi yang terdahulu.
"Maaf, kamu ngomong apa?" Irsan menunjukkan wajah heran.
"Anak ini, sepertinya bernama Galath."
"Tahu darimana, Thur? Kamu baru melihat fotonya saja baru hari ini."
"Aku mimpi."
"Mimpi? Mimpi apa?"
"Gimana kalau kuceritakan saat kamu tidak masuk sekolah waktu hari jum'at kemarin?"
Sepertinya Irsan ragu waktu menganggukkan kepala.
"Waktu selesai kamu menelpon, Devina menungguku di luar kelas. Dan secara spontan aku bertanya kepadanya, apakah dia benar dari suku Aonaralic? Devina terkejut."
Irsan terlihat kecewa.
"Kenapa kamu ngomong gitu, Arthur? Kalau bukan, Devina pasti tersinggung."
"Tapi..."
"Jangan lakukan itu lagi, Arthur. Mengerti?"
Aku merasa seperti anak kecil yang diajari oleh orang tuanya.
"Iya, Pak." Kataku sembari mencibir. "Aku lanjutkan cerita apa yang terjadi di mimpiku. Oke?"
"Oke."
"Ini hanya mimpi, paham?" Tegasku sekali lagi.
"Jadi?" Desak Irsan.
"Di mimpiku itu aku melihat ada bukit hijau yang penuh rerumputan dan ketika aku berjalan menuruni bukit, aku melihat banyak pondok kecil penduduk desa biasa. Di sana Galath yang kuduga adalah reinkarnasi Pandi dan Stellify adalah Devina yang terdahulu."
"Hah? Gimana aku enggak ngerti?"
"Waktu jum'at kamu enggak ada di sekolah, aku melihat pandi menggambar lembah yang indah serta seorang gadis berambut gelap. Aku yakin sekali kalau itu adalah Devina. Tapi Pandi tidak menyadarinya. Di situ, Pandi mengaku kalau dia sudah selama seminggu ini bermimpi hal yang sama, lembah dan gadis itu." Kataku.
Irsan terlihat serius.
"Dan dalam mimpiku, hanya Galath yang tahu dimana lembah bunga itu berada. Galath mengajak Stellify ke lembah itu."
Irsan menganggukkan kepala.
"Dan reinkarnasiku pada jaman dahulu adalah sebagai Kai. Maaf jika aku narsis, sepertinya aku cinta pertama dan korban pertama Devina."
"Hah?" Irsan kaget. "Kok kamu bisa tahu?"
"Yah," aku tersenyum malu. "Waktu di sekolah hari jum'at itu Devina bilang kalau dia suka aku."
"Sebenarnya aku enggak masuk cuma sehari kan? Kenapa ketinggalan banyak sekali cerita?"
"Enggak juga, San."
"Foto ketiga yang terakhir ini, berarti kamu sudah lihat dalam mimpi kamu?" Tanya Irsan sembari menyodorkan foto yang ketiga.
Aku terdiam untuk sejenak. Ini lembah yang serupa dalam mimpiku tapi tidak sama. Lembah yang dalam foto terlihat suram tanpa kehidupan.
"Ya, San. Hampir mirip. Cuma lembah dalam mimpiku lebih rapih dan tertata apik."
"Hmm," Irsan menfambil kembali foto-foto yang berada di dalam tanganku.
"Apa?"
"Tidak ada. Sepertinya masalah ini lebih berst dari yang kuduga. Benar kan, Thur?"
"Benar, aku tidak tahu akan serumit ini."
***
Irsan memutuskan pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Irsan tidak enak makan di rumahku lagi.
"Kenapa sih, San? Masakkan Mamaku kenapa?"
"Bukan gitu, Thur. Aku masih harus menulis di buku biar enggak lupa. Ini menarik sekali. Devina sang gadis keturunan murni dari suku Aonaralic terakhir jatuh cinta kepadamu di setiap reinkarnasi, karena kamu cinta pertamanya Devina." Irsan melirikku dengan pandangan menggoda.
"Irsan." Protesku.
"Oke, oke..." Irsan mengangkat kedua tangannya. "Tapi serius, Thur, aku harus mencatat apa uang kudapatkan, dan apa yang kamu dapatkan biar semua menjadi jelas."
"Maaf ya, San, kamu jadi terlibat."
"Arthur, aku sudah bilang, aku senang. Jadi kamu enggak perlu merasa bersalah." Irsan menepuk bahuku dan pergi keluar dari rumahku.
Aku menghela napas menyaksikkan Irsan pergi.
"Loh, Irsan mana? Mama sudah bikin cemilan lho?"
"Sudah pulang, Mam. Katanya dia langsung mau ngerjain catatan," kataku memberi alasan, sembari menutup pintu dan berjalan ke arah ibu.
"Hari libur masih mau mengerjakan catatan? Irsan rajin juga."
Mama melirikku dengan pandangan mata berarti.
Tentu saja aku mengerti arti tatapan ibuku.
'Kamu kapan rajin seperti Irsan?' itu isyarat ibu.
"Dia rajin kan karena waktu kemarin hari jum'at dia enggak masuk sekolah, Mam. Biasanya Irsan juga sama kayak Arthur," ujarku berusaha menjelaskan.
Bersambung...