Lagi. Aku melihat dalam mimpiku. Kali ini, bukan cahaya yang terang dalam mimpiku yang dahulu. Sekarang semua gelap dan penuh dengan teriakan ketakutan.
"Suku Aonaralic menyerang!" Teriak salah satu penduduk denan suara ketakutan dan jeritan itu terendam, suaranya melemah dan akhirnya terdiam.
Teriakan semakin menggema dengan keras bercampur dengan suara tangis bayi.
Langit malam terlalu gelap untuk melihat dengan jelas.
"Beraninya kalian membunuh Kai! Aku hancurkan kalian semua!" Suara Stellify.
"Stellify!" Teriak Galath, membuyarkan kekacauan pikiran Stellify. "Itu bukan salah penduduk desa. Tubuh Kai sudah rapuh dan akhirnya..."
"Jangan membohongi aku, Galath!" Sanggah Stellify dengan nada parau. "Bau dalam tubuh Kai yang sudah terbujur kaku adalah wangi bunga Poppy merah. Satu-satunya tempat yang ada bunga poppy merah adalah lembah yang kau kasih tahu, Galath!"
"Ya, kami yang membunuh Kai!" Dengan penuh emosi seorang nenek maju dan menunjuk Stellify. "Orang terkutuk itu terlalu akrab denganmu yang keturunan iblis! Lagipula, suku Aonaralic, menyetujui pembunuhan terhadap Kai, bocah terkutuk itu!"
Stellify yang masih melayang di lsngit, terlihat kaget dan tak menyangka.
Stellify berteriak kencang hingga angin menerbangkan debu dan air bergejolak.
"Aaarrrggghh!!"
Stellify mengepalkan kedua tangannya dan bumi tempat penduduk desa berada mulai berlubang. Beberapa orang jatuh ke dalamnya.
"Ayah!"
"Anakku!"
"Ibu!!"
"Lari, sayang, jangan lihat ke belakang. Aku akan menyusul kamu."
Begitu ricuh dan kacau. Semua orang berlarian, tak ingin tinggal di desa kecil ini lagi.
"Berhenti!" Teriak salah satu tetua Aonaralic. "Stellify, kamu sudah keterlaluan!"
"Keterlaluan?" Tanya Stellify pelan. "Keterlaluan?!" Nada suara Stellify meninggi. "Kenapa kamu membunuh Kai? Kalian yang keterlaluan! Kembalikan Kai kepadaku!"
"Stellify, itu diperlukan agar kau tidak penuh belas kasih lagi. Suku Aonaralic tempat berada orang yang kuat adalah pemenangnya."
Stellify tersenyum.
"Baik," Stellify terlihat mengerti, dia mundur. Srolah tidak melawan lagi. "Kalau begitu akan kuhancurkan semua. Kau, suku Aonaralic dan semua orang yang sudah menyakiti Kai. Matilah!!"
Petir menyambar bumi bersamaan dengan Stellify selesai bicara.
Malam yang tidak akan terlupakan itu adalah karena pembantaian suku Aonaralic dan penduduk desa kecil.
Tak ada yang tersisa selain Stellify yang setelah pagi menjelang, sudah berdiri di depan makam Kai.
Lama Stellify tak berbicara, hanya menatap hampa dan tidak bergerak.
"Kai, aku sudah membunuh semua orang yang sudah menyakiti kamu. Apa kamu bahagia?"
Stellify sadar tidak ada yang menjawab, tapi dia bersikeras mengeluarkan semua rasa emosi karena ditinggalkan oleh Kai.
"Maaf, membunuh itu salah. Dan aku tidak akan melakukan lagi." Stellify menghela napas panjang karena lelah. "Aku akan pergi, Kai. Nanti akan kubawakan oleh-oleh untukmu. Aku tidak tahu akan kemana. Yang jelas..."
Stellify membalikkan badan.
"Selamat tinggal, Kai."
***
Aku mengerjapkan mata dan menatap sekelilingku, memastikan jika aku tidak bermimpi lagi.
Syukurlah, aku sedang berada di kamarku.
Kuraba dahiku karena sudah tidak demam lagi dan juga badanku tidak selemas tadi saat diantarkan pulang oleh Irsan.
Eh, apa ini?
Aku baru sadar kalau aku menggenggam kertas putih. Dugaanku, ini kertas yang kupakai saat aku dan Irsan bertukar surat.
Ketika kubaca, aku baru menyadari ini bukan surat aku dengan Irsan. Tapi, ini surat dari Devina.
Kapan Devina memberikan surat ini? Apa pada saat aku tertidur?
Kubuka isi surat itu dan mulai membacanya.
"Hei, Arthur.
Kalau kamu membaca surat ini, berarti mulai hari berikutnya, aku tidak akan muncul lagi di kehidupan kamu. Apakah kamu senang dengan hadiahku?
Aku mengerti kalau masih banyak hal yang ingin kamu tanyakan dan tak kujawab. Bukan tidak ingin. Tapi aku tidak mau membuatmu ketakutan setiap kali aku mendekatimu.
Ah, mengenai Erika, dia adik tiriku dari suku Aonaralic. Bukan hanya aku saja yang masih hidup dari suku Aonaralic. Jadi, Arthur tidak perlu takut aku kesepian.
Kalau dari keinginan egoisku, aku tidak mau meninggalkan kamu. Bagaimana pun aku tidak mau menyerah.
Kupikir aku bisa mempertahankan kamu.
Ternyata aku terlalu percaya diri. Maaf. Aku yang menyebabkan kamu sakit seperti sekarang. Seharusnya aku tidak boleh dekat denganmu. Tapi, keinginan itu untuk berada di sisimu terlalu kuat hingga mengalahkan logika.
Maaf, tanpa sengaja menyerap intisari jiwa kamu lagi.
Mungkin suatu saat nanti aku akan kembali, tapi aku bisa meyakinkan kamu, Arthur, kalau aku tidak mungkin menyakitimu. Itu janji dan sumpahku.
Salam hangat.
Devina.
***
Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan Devina. Pada hari kelulusanku dari SMA, aku mendapatkan sekuntum mawar merah dan setangkai poppy merah, aku tahu siapa yang mengirimkannya kepadaku.
Sang gadis Poppy merah, Devina.
Ah, Erika hanya tersenyum ketika aku bertanya soal apakah benar Devina adalah kakak dari Erika.
Sembari tersenyum, Erika mengibaskan rambutnya yang halus.
"Coba tebak."
Erika benar-benar tidak ada lucunya. Berbeda sekali saat bicara dengan Irsan.
Devina tak pernah muncul ke depanku tapi Erika pernah berkata.
"Devina tidak bisa jauh darimu. Makanya dia hanya bisa bersembunyi. Tapi seberapa lama dia bersembunyi, aku tidak tahu."
Kutatap Erika dan menanyakan pertanyaan yang membuat aku penasaran.
"Kamu sudah baikkan dengan Devina?"
"Bukan urusan kamu."
Mulai kan juteknya.
***
Irsan dan aku berbeda jurusan saat kuliah. Ya agak sedih juga sih. Tapi mau bagaimana lagi? Irsan sudah tertarik dengan peninggalan sejarah karena kisah tak terduga yang masuk ke dalam kehidupan kami mengenai suku Aonaralic.
Pandi, jurusan seni.
Sementara Erika, sang gadis cantik, yang manis di luar namun jutek kepadaku, jurusan psikologi.
"Pasiennya kabur tidak ya, kalau Erika yang jadi dokternya?" Bisikku kepada Irsan yang dibalas dengan lemparan bantal dari Erika.
"Diam kamu!"
Tahun telah berganti lagi.
Oh, usiaku sudah 22 tahun. Dan...
Setiap ulang tahun aku selalu mendapatkan kado dan setangkai bunga poppy merah, yang dikirimkan ke rumahku.
'Selamat ulang tahun.'
Devina.
Selesai