Aku tak tahu apa yang kuharapkan, tapi aku pasti tidak akan berharap akan ditemui oleh Erika, gadis yang digadang-gadang sebagai gadis tercantik di satu sekolah. Sekarang dia berdiri di sisi mejaku.
Semua teman satu kelasku yang cowok menatap dengan penuh rasa iri juga kesal. Melihat Erika tanpa berkedip.
Irsan menatapku dengan wajah dingin dan tak bersuara sedikitpun.
Dari ekspresi wajah Irsan, aku mengerti aku telah membuat Irsan marah.
Jelas aku mengerti kalau Erika jatuh cinta ke Irsan, tapi aku tak tahu kalau Irsan juga mempunyai rasa yang sama untuk Erika.
"Bisa bicara sebentar tidak, Arthur? Aku mau menanyakan sesuatu." Erika memulai pembicaraan denganku dan teman-teman satu kelasku langsung bersorak.
"Huuuu!"
"Jangan mau, Erika, nanti dimakan sama Arthur."
"Memangnya aku harimau apa?" Balasku sengit sembari memelototi teman-teman.
Erika tertawa kecil. Kembali aku memperhatikan Erika yang belum selesai berbicara.
"Ada apa, Erika?"
"Hm," Erika melirik ke arah Devina sebelum menatapku lagi. "Sebentar saja." Nada bicara Erika begitu memelas, hingga aku tidak tega menolaknya.
"Oke," aku bangkit dari bangku dan berjalan bersama Erika meninggalkan kelas.
***
"Tadi kamu mau bicara apa, Erika?" Tanyaku begitu ada di dalam kelas kosong yang berada di lantai dua sekolah.
"Kamu bermimpi kan?"
"Hah?"
Aku kebingungan. Apa maksud dari Erika ini?
"Itu..." Erika terlihat gugup. "Suku Aonaralic!"
Aku membatu, tidak yakin kenapa Erika bisa tahu mengenai suku Aonaralic ini. Apa Irsan memberi tahu Erika? Tapi tidak mungkin kan?
"Erika," panggilku dengan suara tidak yakin. "Kenapa kamu tahu mengenai suku Aonaralic? Kakek kamu Profesor juga?"
"Tidak," Jawab Erika dengan yakin.
"Terus? Kok kamu...?"
Erika tersenyum.
"Yah... Bukan hanya Erika saja kan yang punya ingatan yang panjang?"
"Kamu satu suku dengan Devina?"
Erika diam saja. Hanya tersenyum tanpa arti.
Aku memandang Erika, dan dia tenang saja saat kutatap tajam.
"Apa maumu, Erika?"
"Nyawa Devina."
Kupikir aku salah dengar. Apa tadi kata Erika? Nyawa Devina...
"Ini enggak lucu, Erika. Aku akan pergi jika kamu berbicara ngaco lagi." Aku membuka pintu kelas kosong dan mau pergi.
"Kamu pikir, kenapa Pandi dan kamu bermimpi tentang suku yang sudah punah? Itu bukan kebetulan."
Aku segera menyadari sesuatu.
"Kamulah yang membuat Pandi dan aku bermimpi," ujarku tegas.
Erika tersenyum, kembali tidak menjawab.
"Kenapa, Er? Kalau kamu cemburu Irsan menyukai Devina itu enggak mungkin. Juga itu alasan konyol kamu membunuh orang."
"Devina bukan manusia. Tidak ada manusia yang menyerap intisari jiwa orang tanpa sadar. Serta selalu awet muda," kata Erika mengejek. "Itu yang kamu bilang manusia?"
"Alasan kamu membenci Erika kenapa?"
"Kamu tidak perlu tahu."
"Lalu, kenapa kamu memberi tahu kalau kamu yang membuat Pandi dan aku mimpi mengenai suku Aonaralic?"
Erika tidak menjawab.
"Pertanyaan terakhir, Er. Kenapa kamu memberi tahu kalau kamu mau membunuh Devina?"
"Hanya agar kamu tahu kalau suatu saat kamu tidak bertemu dengan Devina. Berarti dia sudah mati di tanganku."
***
Entah bagaimana aku kembali ke kelas dengan keadaan pikiran kosong. Ajaib aku tidak terguling di lantai dua berjalan karena berjalan dengan pikiran bercabang seperti sekarang.
"Kamu kenapa, Arthur?" Tanya Irsan dengan nada prihatin.
Itu membuatku penasaran. Memangnya sekacau apa wajahku?
"Kamu ditolak Erika?" Tanya Irsan lagi.
Dari sudut mataku, Devina langsung menoleh dan menatapku tajam.
"Tidak, aku tidak ditolak Erika!" Bantahku.
"Jadi di terima?" Ada nada emosi dari suara Irsan yang ditekan.
"Bukan, Irsan! Kami hanya ngobrol biasa."
"Oh," Irsan kembali santai.
Aku menuliskan di selembar kertas. Dan menyerahkan ke Irsan.
Irsan membacanya.
Aku bisa menebak pikiran Irsan dari raut wajahnya.
Pertama dia terlihat kaget, lalu berubah tidak percaya dan akhirnya kembali tenang. Setelah selesai membaca, Irsan menatapku.
"Jadi, gimana menurut kamu?" Tanyaku.
"Aku pusing. Sumpah. Enggak nyangka juga." Jawab Irsan sembari memegangi kepalanya.
"Jadi kamu ngerti kenapa aku datang-datang berwajah pucat?"
Irsan menganggukkan kepala. "Kalau itu aku di posisi kamu saat menghadap Erika, kayaknya reaksi kita sama."
"Kalau gitu," aku berbisik pelan. "Rencana kita apa?"
"Maunya kamu gimana? Mencegah Erika membunuh Devina?" Irsan menunjukkan ekspresi ragu. "Kalau semudah itu membunuh Devina, pasti enggak menunggu kamu reinkarnasi di generasi sekarang."
"Hm," aku memberikan persetujuan.
"Lagipula, Erika enggak bilang dia orang dari suku Aonaralic, ya kan?"
"Dia tidak secara terang-terangan mengakui," kataku mengingatkan Irsan.
Irsan terdiam dan memalingkan muka, di tangannya ada selembar kertas yang tadi kupakai untuk menceritakan secara ringkas apa yang terjadi ketika aku bersama Erika.
'Nanti kita bicarakan saat pulang sekolah.'
Begitu isi surat dari Irsan kubaca, aku berhenti berbicara dan mengalihkan perhatianku ke Pandi yang duduk di meja pertama.
Pandi adalah Galath. Orang yang menunjukkan lembah indah dan berisi bunga salah satunya adalah bunga poppy, bunga favorit Devina. Aku menatap lama sekali hingga guru masuk dan memberikan materi pelajaran.
***
Ketika istirahat selesai, badanku lemas sekali. Tidak keruan rasanya.
"Badanku enggak enak ini, San." Keluhku ketika kami pulang sekolah.
Irsan menempelkan tangannya sebentar ke dahiku.
"Panas banget. Mau pulang sekarang?"
"Iyalah, San. Enggak kuat aku."
Irsan setengah menopang badanku sembari membawa tasku.
Sebelum pergi dari kelas Irsan berbalik dan menatap Pandi dan berbicara.
"Pan, tolong bereskan tas yang ada di meja ya? Setelah aku antar Arthur, aku pasti balik ke kelas lagi."
"Oke, sudah sana antar Arthur pulang. Butuh motor enggak? Ini kunci motor aku," kata Pandi sembari mengulurkan kunci ke Irsan.
"Ya, terima kasih," kata Irsan sembari menerima kunci motor Pandi.
***
Ibu pun kaget ketika Irsan mengantarkan aku pulang dalam keadaan sakit.
"Kamu pas pergi ke sekolah baik-baik saja, Arthur, kenapa pas pulang kamu malah sakit mendadak sih?"
Ibu terdengar histeris dan segera memelukku.
"Tante, Irsan bantu Arthur masuk ke kamar ya?" Tanya Irsan.
"Iya, iya, nak. Terima kasih."
Ibu memiringkan badannya agar Irsan dan aku bisa lewat.
***
Irsan sudah pamit dan kembali lagi ke sekolah. Badanku lemas dan menggigil tertidur diatas ranjang di kamarku. Ibu sempat membelai rambutku sebelum akhirnya pergi ke dapur.
Kenapa aku bisa sakit? Aku merasa sehat tadi pagi, kenapa setelah istirahat aku malah langsung sakit.
"Nak, minum teh hangat dulu."
Aku berusaha mengangkat kepalaku dan meminum sedikit. Kemudian kembali tertidur.
"Mau makan bubur, Thur?"
"Enggak, mau tidur saja."
Ibu tidak memaksa, beliau membiarkan aku tertidur.
Samar-samar, kusadari kalau wajahku sedang di seka dengan kain yang berisi air hangat. Setelahnya aku di kompres dengan handuk kecil berisi air hangat.
Bersambung...