Chereads / DEVINA SI GADIS POPPY MERAH / Chapter 7 - Devina Si Gadis Poppy Merah (Bab 7)

Chapter 7 - Devina Si Gadis Poppy Merah (Bab 7)

Tidak seperti yang kupikir terjadi dalam tidurku, aku bisa melakukan apa saja dalam mimpiku. Misalnya terbang. Ternyata aku masih tetap berjalan.

Ketika aku berjalan menuruni bukit hijau itu, ternyata situasinya tidak sesepi yang aku perkirakan. Ada hewan ternak yang sedang memakan rumput dan tawa anak-anak yang kudengar dari kejauhan.

Ketika aku sudah turun dari bukit hijau. Aku bisa melihat desa kecil yang berisikan pondok kecil kuno dalam jumlah yang banyak. Dan para penduduk desa beraktifitas, para pria ada yang membawa kapak dan kayu bakar, beberapa perempuan membawa keranjang berisi mentega, telur dan roti. Anak-anak berlarian dan berceloteh riang.

Ini seperti kehidupan lampau.

Mereka yang dalam mimpiku, tidak bisa melihatku. Namun, aku bisa melihat mereka.

Menarik sekali.

"Stellify! Hei! Aku di sini." Satu suara menyeruak membuat semua orang di sekitar menoleh ke arah dirinya.

Namun bocah laki-laki bercelana tanggung itu tidak menyadari, dia dengan semangat melambaikan tangan ke arah aku yang berdiri mematung beberapa langkah di sampingnya.

Aku... Stellify? Sejak kapan?

Menatap bocah remaja kecil yang kuperkirakan berusia 12 tahun, tersenyum cerah dan menunggu dengan tidak sabar.

Ada yang menerobos badanku seperti asap. Begitu orang itu pergi, segera aku perut dan kedua lenganku. Kok bisa?

Orang yang menerobos badanku seperti asap itu adalah seorang gadis berambut panjang dan bertubuh mungil.

"Ya, Galath." Jawab gadis itu dengan suara merdu, seperti Devina.

Badanku menegang dan terngiang suara Devina dua hari yang lalu.

"Kamu selalu ketakutan dalam reinkarnasimu setiap aku temui. Dan kita tidak pernah bersama!"

"Harus seperti apa aku tunjukkan kalau aku tidak mungkin menyakitimu, Mon cœur?!"

Apakah itu gadis reinkarnasi Devina?

Irsan benar, yang kualami ini seperti menentang logika.

Dahiku mengerut. Menimbang-nimbang apakah aku perlu mengikuti Stellify dan Galath itu?

Keberadaanku sekarang di dalam mimpi pasti ada alasan kenapa. Mungkin ...

Sudahlah, aku ikuti saja.

Stellify dan Galath mengobrol dengan riang. Sebenarnya kalau diperhatikan, Galath yang lebih sering berbicara, sementara Devina pendengar yang baik. Mereka berjalan menyusuri jalan dan kemudian berhenti.

Terdengar suara Galath terdengar.

"Stellify! Lihat! Ini yang ingin aku tunjukkan kepadamu."

Gadis kecil itu berseru kagum di sebelah Galath.

Aku yang berada di belakang beberapa langkah, segera bergegas dan melihat apa yang dilihat kedua orang remaja kecil itu.

Lembah yang sama dengan yang digambarkan oleh Pandi.

Jadi...

Aku melirik bocah laki-laki yang berdiri di sampingku.

Apa bocah ini adalah Pandi pada kehidupan masa lalu?

Mereka berdua langsung menuruni jalan setapak menuju lembah yang dipenuhi oleh bunga.

"Stellify! Ini bunga yang harum seperti dirimu," Wajah Galath memerah malu.

Bocah ini! Gerutuku gemas.

"Galath!" Protes Stellify.

"Maaf."

Mereka bermain di lembah yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang indah sampai sore hari.

Galath seperti menyesal ketika matahari hampir mulai terbenam.

"Yuk, pulang." Ajak Stellify yang tersenyum lembut.

"Tapi, Stell..."

"Aku enggak mau diomeli oleh kedua orang tuamu seperti terakhir kali. Kalau begitu lagi, mungkin aku tidak akan boleh bermain dengan kamu lagi, Gal."

Galath menundukkan kepala, sedih.

"Baik," Kata Galath lemas. "Ayo, pulang."

Mereka berjalan bersama hingga berpisah di persimpangan jalan.

Diantara keduanya, aku lebih memilih mengikuti Stellify.

Stellify bersenandung pelan sembari menlangkahkan kakinya, kemudian berhenti sejenak di pohon apel yang merah buahnya, jari kanan Stellify menunjuk ke arah apel yang besar dan merah.

Seketika itu juga apel jatuh langsung ke tangan Stellify.

"Buat aku satu. Buat Kai satu."

Kai?

Siapa lagi si Kai?

Aku terdiam sejenak. Sebelum akhirnya menduga...

Apakah Kai ini adalah reinkarnasiku pada jaman dahulu?

Kemudian, Stellify kembali berjalan kali ini, dia seperti masuk ke dalam hutan. Langit sudah mulai gelap, dan Stellify kecil ini tidak menujukkan ketakutan masuk ke dalam tempat yang gelap.

Aku mulai bertanya-tanya, kenapa tempat yang dituju itu belum sampai juga?

Stellify akhirnya berhenti di sebuah gubuk tua yang sudah cukup reyot. Aku tak tahu apakah manusia yang berada di dalamnya baik atau tidak.

"Kai!" Devina mengetuk pintu itu pelan. "Kamu ada di dalam?"

"Masuk Stellify, pintu tidak dikunci." Ada suara yang menyahut dari dalam gubuk reyot itu, seorang laki-laki yang masih muda.

Karena merasa sudah dipersilahkan masuk, Stellify membuka pintu.

"Kai, maaf aku baru datang."

"Tidak apa-apa, Stellify. Aku mengerti."

Stellify menggenggam tangan Kai dan memberikan sebuah apel merah yang besar.

"Ini apel yang kamu suka, Kai."

"Terima kasih, Stellify."

Kai makan apel dari Stellify tanpa ragu. Dari kecepatan makannya, Kai pasti sangat lapar.

Stellify kemudian mengulurkan apel merah yang seharusnya adalah untuk dirinya.

"Ini, Kai, satu lagi."

Wajah Kai berubah menjadi merah karena malu.

"Tidak apa-apa, Stell. Kamu makan sendiri." Tolak Kai dengan halus.

"Aku bisa mengambil apel sebanyak yang kuinginkan besok. Tapi, kau harus makan apel ini untuk sembuh, Kai."

"Stell," Kai tersenyum sedih. "Aku tidak tahu apakah aku bisa sembuh atau tidak. Aku rasa itu tidak mungkin, Stellify. Maafkan aku."

Mata Stellify terlihat sedih. Dengan keras kepala, Stellify menggelengkan kepala.

"Enggak. Kai pasti sembuh."

"Stellify," panggil Kai drngan suara lembut. "Aku rasa kamu tahu. Tidak ada gunanya menyangkal."

Wajah Stellify menengadah, menatap wajah Kai yang sedang tersenyum lembut.

"Kita berdua sama-sama tahu, kalau tidak ada kemungkinan aku bertahan hidup lebih lama. Tubuhku sudah lama dimakan penyakit. Itu sebabnya aku sering dibilang sedang dikutuk iblis."

Wajah Stellify pucat.

"Apa, Kai?"

"Kamu juga menganggapnya konyol, kan? Kata dokter desa yang datang pagi hari, tubuhlu seharusnya sehat. Tapi, entah karena alasan apa, tubuhku senakin melemah dari hari ke hari. Itu kenapa aku diisolasi di gubuk ini, Stell."

"Aku tidak tahu," gumam Stellify dengan suara pelan.

"Kamu tak tahu? Wah, kalau begitu, kok kamu tahu aku di tempatkan di sini?" Tanya Kai dengan nada heran.

"Intuisi, aku mengandalkan intuisi untuk menemukan kamu, Kai." Bisik Stellify pelan.

Aku mengamati keduanya sembari bersandar di gubuk reyot milik Kai ini.

Kalau dugaanku benar, di kehidupan lampau, Devina dan aku sudah berteman lumayan dekat. Tapi, Devina belum bisa mengendalikan kemampuan menyerap intisari jiwa manusia, itu kenapa badanku di masa lampau sakit-sakitan.

Devina kecil sudah menduga dilihat dari wajah pucatnya ketika Kai menyebutkan dibilang sedang dikutuk iblis. Devina sudah menduga itu ada kaitan dengan dirinya yang selalu mendekati Kai, aku pada jaman dahulu.

Sebuah asumsi muncul dibenakku, mungkinkah kalau Kai yang merupakan aku pada jaman dahulu, adalah cinta pertama Devina dan juga korban pertama pada saat Devina belum bisa mengendalikan kekuatannya?

***

Mendadak aku terbangun di atas ranjang. Tapi dengan jelas aku mengingat setiap detil yang kulihat di dalam mimpi. Begitu terang dan jelas, seolah aku tidak sesang bermimpi tapi aku benar-benar ada di sana.

Ponselku yang kuletakkan di atas meja belajar berbunyi. Menghentikan segala lamunanku. Aku berdiri dan mengambil ponsel.

Ternyata Irsan.

"Halo, San?"

Bersambung.