Kalau bilang aku tidak terpesona dengan Devina, itu bohong. Aku masih dan akan selalu terkagum-kagum dengan Devina yang bahkan cantiknya seperti malaikat tanpa sayap.
'Keturunan murni dari suku Aonaralic itu keturunan iblis.'
Entah kenapa itu menusuk hatiku.
Devina tersenyum lembut dan berdiri dihadapanku dengan tenang.
"Apa yang kamu pikirkan, Arthur?"
Ini pertama kali Devina menyebut namaku.
Meski aku masih terpesona dengan Devina dan jantungku berdebar lebih kencang ketika berada di dekatnya. Aku jadi meragukan rasa suka ini, apakah memang tulus atau hanya ketertarikan semata?
"Kamu bukan manusia kan, Devina?" Tanyaku.
Badan Devina langsung menegang, kaku dan tak bergerak. Bahkan Devina tidak bernapas.
Sekolah sudah sepi. Dan sangat beresiko jika aku menembak seperti sekarang. Tak ada saksi mata jika aku kecelakaan atau Devina menginginkan intisari jiwaku untuk keabadiannya. Tapi, aku tidak bisa menahan rasa penasaran.
Suku Aonaralic yang sudah punah dan hanya menyisakan Devina seorang diri sebagai keturunan terakhirnya, malah mungkin Devina adalah keturunan murni.
"Sejauh apa yang kau tahu, Arthur?"
Devina tidak mengiyakan atau menolak pertanyaan dariku.
"Sebagian kecil," kataku berusaha berkonsentrasi ketika menatap bola mata Devina yang berwarna hitam. "Hanya sebagian kecil mengenai suku Aonaralic."
Devina seperti terguncang ketika mendengar kata suku Aonaralic. Matanya melebar dan wajahnya yang rupawan berubah pucat. Tak ada ucapan apapun dari Devina selama 1 menit penuh. Sebelum akhirnya dia desahan sinis
"Heh," Devina menundukkan kepala dan tersenyum mengejek. "Apa kali ini kau menolakku karena kita bukan dari jenis yang sama?"
"Apa?"
Kali ini menolak? Memangnya kapan aku pernah menolak Devina?
"Ini bukan pertama kali kamu menolakku, Arthur. Di beberapa kehidupan sebelumnya juga sama. Kau selalu seperti itu, dan aku tidak bisa menghilangkan rasa obsesiku setiap kali kamu bereinkarnasi."
Mataku melebar kaget.
"Kamu selalu ketakutan dalam reinkarnasimu setiap aku temui. Dan kita tidak pernah bersama!" Jerit Devina. "Harus seperti apa aku tunjukkan kalau aku tidak mungkin menyakitimu, Mon cœur?!"
Devina tampak kesakitan dan menderita, dia bahkan menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara teriakan. Matanya terlihat berapi-api ketika menatapku, namun Devina tidak bergerak mendekatiku, dia malah berjalan menjauh, seolah takut tidak sengaja menyakitiku.
Bayangan Devina terpantul di jendela, dan Devina menyadari itu. Lehernya mulai dirayapi tato hitam dari bahasa suku Aonaralic kuno, tidak ada yang mengerti selain Devina sendiri. Devina terlihat kaget dan terkejut, tak mengharapkan kalau akan lepas kendali di depanku.
Devina menatapku dengan pandangan meminta maaf dan menyesal oleh sesuatu yang tidak bisa dia sendiri kendalikan.
Melihatnya aku jadi tidak tega.
"Maaf, Mon cœur," Kata Devina terlihat malu. "Aku tidak bisa mengendalikan emosiku."
"Devina, kamu baik-baik saja?" Tanyaku, sambil maju selangkah untuk memastikan dia baik-baik saja. Karena Devina berkeringat dingin dan tato hitam dengan bahasa suku Aonaralic kuno mulai menjalar ke arah lengan dan kaki.
Tidak kuduga Devina malah mundur beberapa langkah lebih cepat dariku.
"Jangan dekat denganku, Arthur."
Wajah Devina pucat pasi menahan sakit dan Devina menangis tanpa suara.
"Aku..."
"Ya, Dev?"
"Maaf," bisik lirih Devina. Sesudah itu, ada angin berdebu masuk diantara kami. Aku menutup mata sejenak, menghindari masuknya debu ke mata. Suasana hening seperti hanya ada aku sendiri di lantai ini.
Saat itulah aku membuka mata. Tak ada siapapun.
Kemana Devina?
Tidak mungkin Devina loncat dari gedung lantai 2 kan?
Aku yakin tidak, tapi diam-diam aku melihat dengan seksama. Tidak ada.
"ASTAGA!" Dari belakang ada seruan kaget yang mengejutkanku, aku ikut terlonjak secara spontan.
Saat menoleh ternyata mang Dudung, penjaga sekolah sekaligus salah satu pembantu sekolah, memegangi dadanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya membawa kain pel.
"Kok di sini, Mas Arthur? Kenapa belum pulang?" Tanya mang Dudung sembari berjalan mendekatiku.
"Tadi ada teman yang iseng, Mang. Sepatu saya diumpetkan." Kataku berbohong, diam-diam aku meminta maaf di dalam hati.
Maaf ya mang Dudung, besok dibelikan gorengan deh! kataku dalam hati.
"Siapa temannya? Sini biar saya bilangin."
"Enggak usah, besok saya bales ngerjain dia."
Mang Dudung tertawa.
"Loh kok ada kelopak bunga? Siapa yang iseng sih?" Gerutu mang Dudung ketika melihat lantai di belakangku. "Kayaknya ini bukan mawar deh. Bunga apa sih ini?"
Aku menoleh dan menyadari kalau bunga yang digambarkan Pandi dengan bunga yang ada di belakangku sekarang amat sangat mirip.
Bunga poppy merah.
***
Sepanjang minggu ini terlalu banyak kejadian yang membuatku merasa lelah. Jadi hari Sabtu dan Minggu, kupakai untuk beristirahat. Aku berharap Irsan datang ke rumah dan menjelaskan apa saja yang dia temui ketika berada di galeri peninggalan suku Aonaralic. Sayang sekali aku tidak diberitahukan dimana tempatnya.
"Arthur! Kamu sudah bangun?" Teriak ibu dari depan pintu kamar.
"Sudah, Mam. Tapi badan Arthur sakit. Jadi nanti saja nyuci bajunya."
Ibu membuka pintu kamar sedikit.
"Ibu minta tolong dong, belikan kecap."
"Mama..." panggilku pelan. "Badan Arthur sakit. Nanti saja ya?"
"SEKARANG!"
Seketika kuambil jaket belel terdekatku dan berjalan keluar. Khawatir kalau tidak bergegas, ibuku marah lebih parah lagi.
Ketika sampai di daerah pertokoan beberapa blok dari rumahku, aku menyadari lupa membawa ponsel.
Semoga saja ibu tidak menambah barang belanjaan.
Aku masuk ke toko yang biasanya ibu sering belanja. Dan melihat beberapa merk kecap. Kupilih kecap yang sering ibuku pakai di rumah. Setelah selesai membeli kecap, aku berjalan kembali ke rumah.
Matahari yang tadinya bersinar cerah, sekarang terlihat redup. Aku berhenti berjalan dan melihat ke atas. Awan kelabu menutupi matahari.
Sepertinya akan turun hujan.
Aku berlari diiringi gerimis kecil yang mulai berjatuhan ke bumi, khawatir datangnya hujan lebih cepat datang daripada larinya aku, lariku bertambah kencang.
Ketika aku sudah sampai di rumah, ibu menatapku dari ruang tamu.
"Cepat banget kamu. Kenapa?"
Napasku masih tersengal-sengal.
"Gerimis... Ma..."
Kusodorkan bungkus plastik ke ibu.
"Cuma kecap saja kan, Mam?"
"Iya."
Aku menghela napas lega. Syukur tidak ada tambahan lagi.
Tidak berlama-lama di ruang tamu, aku kembali ke kamar. Membantingkan diri di atas kasur. Rasanya nyaman.
Mataku mulai berat karena kantuk yang tak bisa kucegah. Kututup kedua mataku dan mulai tertidur.
***
Aku tahu, aku pasti sekarang sedang bermimpi. Dengan penuh keyakinan, aku ingat kalau aku tidur di kamarku yang nyaman.
Tapi sekarang kenapa aku malah berdiri di sini?
Seandainya, aku tidak melihat dari gambar Pandi. Aku pasti tidak tahu tempat ini, di mana aku berdiri di atas bukit hijau kecil yang penuh rerumputan. Suasana sangat damai. Hingga meski dalam mimpi, aku bisa merasakan sejuknya angin sepoi-sepoi yang menerpa kulitku.
Aku berjalan menuruni bukit kecil.
Untuk melihat lebih jelas lagi. Dimana aku berada.
Bersambung