Seumur hidup, aku belum pernah merasa kikuk seperti sekarang. Rasanya seperti akan kencan dengan seorang primadona dan aku lupa memakai celana panjang. Mengenakan kemeja yang bagus namun untuk bawahanku hanya memakai celana pendek polkadot merah jambu yang norak.
Apa yang harus aku lakukan?
Bagaimana cara menyapa dengannya yang mengesankan? Haruskah aku bilang 'hai' kepada Devina?
Aku menggarukkan belakang kepala karena gugup.
Devina di sini!
Berjarak hanya 2 meter di depanku.
Cantiknya! Luar biasa! Bagaimana bisa ada manusia secantik, anggun dan menawan seperti Devina?
Rambutnya hitam berkilau bagaimana sutra hitam yang mahal, kulitnya mulus seperti pualam, hidungnya mancung seakan diukir dengan hati-hati, bibirnya merah bagaikan delima dan badannya proposional (kurus, tinggi dan langsing).
Sempurna!
Mataku menyorot memuja dirinya. Devinaku tersayang.
Sekarang dia sudah berdiri didepanku. Devina menjulurkan tangannya. Baru saat itu, aku menyadari kalau jari-jemari Devina lentik.
Tidak kusangka Devina membelai wajahku dengan halus.
"Jangan terpesona kepadaku," bisik Devina dengan suara merdu.
"Ah?" Pikiranku masih melayang hingga tidak mengerti apa yang diucapkan olehnya.
"Manusia mahluk lemah, kamu tidak bisa menatapku lebih dari 2 menit. Atau..." Devina menujukkan senyumnya yang manis. "Intisari jiwamu secara tidak sengaja akan terhisap."
"Apa?"
Terlalu terpukau dengan Devina yang berdiri di depanku, aku jadi tidak nyambung dengan perkataan Devina.
"Aku sih tidak keberatan. Tapi kamu pasti akan mati, seperti manusia-manusia sebelumnya."
Aku masih tidak mengerti kenapa Devina berkata aneh seperti itu.
Pikiranku sukar berkonsentrasi karena harum dari badan Devina. Barusan Devina bilang apa?
Melihatku yang tidak menjawabnya, Devina tidak marah. Dia masih memegangi wajahku, sebelum akhirnya menyentil dahiku pelan.
"Jiwamu sudah kukembalikan, Mon cœur." Devina tersenyum lembut, kemudian berjalan terlebih dulu menujukkan kelas.
Aku masih memegangi keningku. Tidak sakit karena disentil Devina pelan. Tapi... keningku barusan disentuh Devina! Wajahku memerah karena senang.
Dan...
Aku mengerjapkan mata, mendadak bingung.
Ah? Apa? Devina memanggilku apa?
Sebentar...
Tadi apa yang dibicarakan oleh Devina?
Kenapa aku hanya ingat separuh perkataannya?
***
Irsan menatapku dengan pandangan sinis dan tidak suka ketika aku masuk kelas. Aku tidak mengerti apa yang telah membuatnya tersinggung. Bahkan ketika kami berdua merobohkan pintu kayu gudang sekolah, dan didenda karena merusak properti sekolah. Irsan tidak berwajah seperti sekarang.
"Aku pikir kita berdua sepakat untuk tidak mencari tahu mengenai Devina," kata Irsan, begitu aku duduk di sebelahnya.
"Ya."
Irsan dan aku mengucapkan kesepakatan itu kemarin sore. Enggak mungkin lupa secepat itu.
"Terus kenapa kamu mengobrol di lorong sekolah sebelum masuk?"
"Hah?"
Aku terperanjat, tidak menyadari kalau saat aku berhadapan dengan Devina terlihat oleh Irsan.
Padahal, waktu aku berhadapan dengan Devina, aku merasa sekitarku sepi. Tidak ada orang lain, selain aku dan Devina. Ternyata itu dilihat oleh Irsan?
"Kamu di sana melihat Devina dengan aku, San? Kok enggak manggil aku?" Tanyaku sedikit tidak percaya.
"Siapa bilang aku enggak manggil, Thur? Aku panggil kamu berulang kali, tahu! Tapi kamu kayaknya enggak dengar sama sekali."
"Tapi, aku enggak dengar kamu manggil aku, Irsan," kataku.
"Masa?" Irsan mencibirku, tersenyum mengejek.
"Sumpah, Irsan. Aku enggak dengar kamu manggil aku!"
Kami saling berpandangan, keheningan menyeruak diantara kami.
"Kamu sama Devina mengobrol apa?"
"Apa yang kamu lihat ketika aku bersama dengan Devina?"
Irsan dan aku bertanya pada saat yang bersamaan.
Raut wajahku Irsan berubah pucat, menahan emosi. Melihatku tidak menjawab pertanyaan Irsan, dia berteriak dengan suara menakutkan.
"Kan sudah aku bilang ada yang enggak beres dengan dia!"
Satu kelas langsung menatap Irsan dengan pandangan aneh. Devina juga sama seperti yang lain, menoleh ke arah Irsan dan aku dengan pandangan bingung.
Yang lain tidak memperhatikan perubahan ekspresi wajah Devina. Tapi, aku melihatnya.
Mulanya, Devina terlihat bingung, tapi dia mengamati wajah Irsan dan aku, kemudian berubah tersenyum tipis, seolah tahu apa yang menjadikan nada Irsan berubah galak. Devina membuka mulutnya, sebelum aku tahu apa yang akan dia katakan, Devina sudah memalingkan wajahnya.
"Apa yang kamu lihat, Arthur?" Tanya Irsan, kemudian menoleh ke arah yang sedang kutatap. "Melihat Devina lagi?"
"Enggak," jawabku secara spontan.
Irsan menyipitkan mata, tidak percaya dengan perkataanku.
"Oke, aku salah. Maaf. Itu bukan hal yang kusengaja."
"Alasan."
Kali ini, Irsan benar-benar marah. Dia memalingkan wajah. Tak mengajakku berbicara sampai pulang sekolah. Bahkan pada saat pulang dari sekolah, Irsan langsung melesat pergi, tak menunggu aku yang masih membereskan kolong mejaku.
Aku tahu Irsan akan marah, tapi tak menyangka reaksinya akan separah ini. Karena itu kesalahan dari pihakku, aku tak berani mengajak bicara terlebih dahulu.
Bagaimana ini?
***
Besoknya Irsan malah tidak masuk sama sekali. Tak ada keterangan kenapa Irsan tidak masuk. Diam-diam ketika sedang tak ada guru yang mengajar di kelas, aku berulang kali menelpon Irsan.
Irsan tidak menjawab telepon dari ponselku.
Aku tidak ingin melibatkan Irsan jika bisa. Karena sebenarnya, aku sendiri saja tidak yakin akan menang melawan pesona dari Devina. Begitu memukau dan indah, seperti nyanyian dari putri duyung, berbahaya, tapi tidak bisa ditolak.
Aku sedang mengobrol dengan Pandi, teman sekelas yang duduk di bangku pertama, untuk mengalihkan perhatianku, aku khawatir dengan Irsan yang tidak menjawab teleponku. Jam kosong dimanfaatkan anak-anak sekelasku untuk mengobrol.
"Kemarin kamu berantem sama Irsan? Tumben banget." Tanya Pandi sembari menggambar di bangkunya.
"Enggak juga."
"Yang benar? Irsan jarang berteriak kencang lho. Baru kemarin aku melihat Irsan terlihat kesal. Memangnya ada apa?" Pandi berhenti menggambar, dan menatapku dengan pandangan serius.
Aku mendesah dengan perasaan rumit. Niat hati ke Pandi supaya bisa meredakan perasaan tidak enak, Pandi malah mengingatkan lagi.
"Apaan sih, Pandi? Enggak ada apa-apa."
Pandi masih menatapku curiga.
"Beneran."
"Oh," Pandi menunduk dan mulai menggambar lagi. "Sebenarnya itu juga bukan urusanku sih."
Aku menghembuskan napas lega.
Tapi, sehabis itu, hening lagi. Pandi tidak mengajakku berbicara dan tetap asyik menggambar di buku gambar.
Aku baru melihatnya dengan benar sekarang, meski gambarnya terbalik, karena aku berdiri di depannya Pandi, setidaknya aku mengerti apa yang sedang Pandi gambar.
"Ini bunga apa, Pand?" Tanyaku, menyentuh sebentar gambar bunga yang menarik perhatianku.
Bunga yang menarik perhatianku adalah bunga berkelopak tunggal, tapi bergerombol sehingga terlihat indah. Warnanya merah menyala.
"Mana?" Pandi kembali berhenti menggambar dan melihat bunga yang kutunjuk. "Oh, ini bunga poppy merah namanya."
Kutatap buku yang sedang Pandi gambar.
Matahari menyorot berwarna orange karena senja telah tiba, lembah itu penuh dengan bunga-bunga. Bunga popy merah bergerombol di satu tempat, dan ada banyak bunga di dalam lembah sore hari itu. Dan tokoh utama dalam lukisan itu adalah seorang gadis yang memakai topi dan gaun panjang berwarna biru muda.
Bersambung...