Irsan terlihat gugup ketika kembali dan duduk di sampingku. Aku menatapnya tidak mengerti. Apa yang sedang Irsan pikirkan? Kenapa dia sebegitu gugup sampai merinding ketika aku melihat Devina yang sedang menatap jendela kelas di sampingnya.
"Arthur," suara Irsan bergetar menahan rasa takutnya. "Coba kamu lihat lagi wajah Devina, terus pandang kaca ini."
"Kenapa sih, San?"
"Lakukan apa yang aku omongkan."
Dengan menahan perasaan aneh karena melihat reaksi Irsan, aku kembali menatap Devina.
Si cantik Devina nan rupawan juga anggun, kembali menatap jendela kelas, seakan tidak peduli dengan sekitarnya.
Kembali aku terpesona. Devina indah, bagaikan malaikat tanpa sayap. Begitu memikat dan cantik.
Aku punya banyak perumpamaan untuk menggambarkan kecantikan, anggunnya, serta rupawannya Devina.
"Arthur! Sekarang lihat kaca!" Sentak Irsan mengagetkanku.
Secara reflek, aku mengikuti perintah Irsan. Aku lakukan dalam satu detik, entah berapa lama aku menatap Devina, sedetik kemudian menatap kaca yang diberikan Irsan sebelumnya.
"Hah?" Aku kaget sendiri.
Wajahku!
Aku menyentuh wajahku dan bayangan di cermin pun mengikutinya.
"Irsan! Irsan!" Jeritku panik.
"Tenang, Arthur. Tenang. Sekarang coba lihat orang lain," kata Irsan, menenangkan. "Tapi, jangan lepas cermin yang ada di tanganmu."
Sembari menjaga napasku agar tetap teratur, aku memalingkan wajahku dari cermin dan menatap sembarang teman sekelasku.
"Arthur, coba lihat kembali cerminnya."
Tanpa menunggu lama, aku langsung menatap cermin kembali. Wajahku kembali normal, seakan tidak ada masalah.
Baik Irsan dan aku saling berpandangan dengan kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kamu lihat kan?" Tanya Irsan setelah beberapa menit kemudian.
Aku mengangguk kaku. Benar-benar tidak menyangka.
Saat aku berkaca setelah menatap Devina, aku bisa tahu kalau itu wajahku yang ada di cermin. Namun, aneh. Wajahku menua!
Bayangkan seorang kakek mengenakan baju SMA. Seperti itulah saat aku menatap di kaca yang kuambil dari Irsan. Aku tahu itu wajahku, tapi wajah dalam versi kakek-kakek. Itu sebabnya aku ketakutan.
"Kok bisa begitu, San?" Tanyaku pelan.
"Aku juga enggak tahu. Itu kenapa aku teriak manggil kamu."
Perasaan merinding Irsan menular ke aku.
"Ada yang salah dengan Devina," bisik Irsan.
Tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam saja. Namun bulu kuduk di sepanjang tanganku berdiri semua.
***
Pada saat aku dengan Irsan pulang bersama, kami tidak berbicara sedikitpun. Baik Irsan dan aku sibuk dengan pikiran masing-masing. Jadi malas rasanya untuk mengobrol. Mungkin karena Irsan sahabatku, dia punya pemahaman tentang aku yang sedang malas mengobrol.
Di belokan jalan menuju gang terpisah antara rumahku dengan Irsan. Kami berdua sama-sama berhenti berjalan. Dan saling berdiri berhadapan.
"Jadi..." Irsan menghembuskan napas. "Apa rencana kamu?"
"Enggak tahu."
"Arthur," Panggil Irsan dengan nada serius. "Aku tak pernah ikut campur dengan siapa kamu suka atau dengan cewek mana kamu nyaman. Bagaimanapun itu adalah hak kamu. Aku tak punya hak untuk ikut campur. Tapi, Arthur..."
Mata Irsan terlihat dingin dan serius, tak ada humor di matanya.
"Jangan Devina..."
Aku tercengang ketika melihat wajah Irsan yang tulus.
"Siapa saja, Thur. Cewek mana saja, kamu boleh suka. Tapi jangan Devina."
Aku tidak menjawab karena aku tidak tahu harus berbicara apa. Rasanya seperti mimpi buruk. Perempuan yang aku suka...
Bagaimana bisa menjadi seperti itu?
"Ada yang enggak beres sama Devina. Aku enggak tahu. Tapi pasti akan aku cari tahu."
"Jangan, San!" Teriakku, benar-benar terkejut.
Irsan tersenyum kecut.
"Kita bersahabat sudah lama, Thur. Jangan kamu pikir aku enggak tahu sifat kamu kayak gimana. Kamu ceria tapi, keras kepala kamu melebihi semua orang yang kukenal."
Aku menatap Irsan tidak mengerti.
"Kamu masih suka sama Devina," tandas Irsan. "Karena itu kamu enggak akan dengarkan apa nasihatku."
"Nanti juga hilang," sergahku. "Tapi, yang jelas jangan dekati Devina. Pembicaraan kita cukup hanya kamu sama aku yang tahu. Jangan dibicarakan lagi, jangan mencari tahu. Kubur semua di dalam hati."
Aku memang suka dengan Devina bahkan selalu terpesona setiap melihatnya. Tapi, bukan berarti aku rela jika sahabatku mendapatkan bahaya karena rasa suka kepada Devina.
"Kamu enggak akan menyukai Devina lagi?" Tanya Irsan ragu-ragu.
"Akan aku coba," jawabku, tanpa memberi kepastian.
Irsan menatapku lama sekali, sampai akhirnya dia tersenyum lega.
"Oke, kita enggak akan berbicara masalah ini, di masa depan. Lupakan semua."
Aku menganggukkan kepala, secara isyarat menyetujui perkataan Irsan.
Ya, lupakan semua. Jangan mencari tahu tentang Devina.
***
Malam ini, aku kembali tidak bisa tidur, kejadian di kelas hari ini, membuatku merasa tidak nyata. Berulang pertanyaan itu seakan tertempel dengan erat.
Bagaimana bisa? Kenapa harus Devina?
Atau hanya itu untuk aku saja?
Aku membalikkan badan menjadi menghadap tembok.
Sebenarnya, Devina tinggal dimana? Bahkan jika aku sekelas dengannya sampai satu tahun, aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Kenapa aku selalu terpesona olehnya?
Aku menghela napas dan memukul kasur.
Irsan dan aku sudah sepakat, untuk tidak mencari tahu. Untuk tidak penasaran dengannya Devina.
Aku berkata seperti itu supaya sahabatku, Irsan, tidak dalam bahaya. Namun jika aku boleh jujur, aku tidak ingin menyerah. Ada yang familiar ketika aku menatap matanya. Mata Devina menujukkan kesepian.
Apa besok aku harus pergi ke ruang TU? Menanyakan dimana Devina tinggal dimana atau setidaknya dimana Devina sekolah waktu SMP?
***
Ibu menatapku tanpa bersuara ketika mendatangi dapur untuk sarapan. Bahkan ketika aku duduk dan menahan menguap, ibu tetap dimana.
Aku berusaha membuka matanya ketika sedang makan.
"Arthur, sejak kapan kamu suka makan kacang?"
"Ah?" Aku juga ikut tercengang ketika menyadari sendok yang kupegang ada kacangnya.
"Hmm," ibu tersenyum lembut. "Ada yang sedang kamu pikirkan, Arthur?"
"Tidak ada."
Ini hanya perasaanku, atau memang rasanya sangat privasi, setiap aku menyebut Devina dimana depan ibuku.
Ibu terlihat curiga, senyumnya bahkan menghilang dari bibirnya.
"Kamu yakin, Arthur?"
"Ya, Mam. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."
Setelah aku menjawab seperti itu, ibu kembali terdiam dan tidak menanyakan apa-apa lagi kepadaku, entah ini baik atau tidak.
***
Sekolah masih sepi ketika aku sudah datang dan menyusuri lorong panjang menujukkan kelasku. Seolah ada yang membimbingku, aku menoleh ketika seberang lorong di samping kananku, yang terpisahkan olehnya luasnya halaman lapangan sekolah. Aku melihat Devina.
Devina berjalan pelan, dan seakan tidak menyadari aku sedang menatapnya terpesona. Gerakannya anggun dan memikat, dan hembusan angin menerbangkan rambutnya, seakan membelainya dengannya hati-hati.
Si cantik yang selalu membuatku terpesona, Devina.
Aku mengawasinya yang berjalan semakin dekat denganku. Jantungku berdegup kencang karena gugup.
Bersambung