Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami imsonia. Tidak, aku tidak percaya kalau Devina membuat Erika terkunci di dalam gudang. Masalah Erika terkunci di dalam gudang bisa saja menjadi lebih besar kalau Erika mengadu ke guru.
Aku tidak mau Devina mendapatkan masalah seperti itu.
Sembari menghembuskan napas, aku membalikkan badan, secara tidak sadar, aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 malam. Aku harus tidur sekarang. Kalau tidak, aku tidak bisa bangun pagi.
Meski aku merasa akan gugup jika bertemu dengan Devina. Setidaknya, aku harus menanyakan apakah benar, Erika dikunci oleh dirinya?
Aku harap tidak.
***
Mataku masih ingin terpejam tapi aku harus tetap berangkat ke sekolah. Beberapa kali aku nyaris tersandung. Ibu yang masih mencuci piring di dapur ternyata memperhatikan gerakanku yang masih mengantuk.
"Arthur, kamu masih mau tidur?" Tanya ibu lembut, membuat hatiku tenang. "Tidur saja, tapi kamu enggak usah sekolah lagi."
Langsung mataku tidak mengantuk lagi. Diam-diam aku bergidik mendengar ancaman halus ibu.
Ibu punya seribu satu cara agar aku tidak mengantuk lagi.
"Enggak, Arthur sudah bangun."
"Oh," ibu tersenyum kembali, "sarapan dulu, yuk."
Sarapan biasa untuk pagi muramku.
Aku sudah pernah bilang kalau Erika itu seorang gadis populer dari sekolahku, benar? Erika cantik, baik dan punya senyum yang hangat.
Kejadian Erika terkunci di gudang bukan kejadian kecil, apalagi karena Erika terkenal di kalangan guru dan murid.
Yang menjadi masalah adalah karena begitu keluar dari pintu gudang, dia bilang 'Devina'. Aku sudah bertanya ke Erika, dengan penuh harap agar bukan Devina yang mengunci Erika di gudang kecil.
Beda masalah kalau Erika tidak bicara tentang penguncian dirinya di gudang kecil di lantai pertama. Tapi, rasanya tidak mungkin. Mang Dudung, penjaga sekolah sekaligus salah satu penjaga sekolah, memergokiku keluar dari pintu gudang kecil.
Aku menghela napas.
Baru memikirkan saja, dadaku sudah sesak.
"Kamu kenapa, Thur?" Tanya ibu sembari duduk di hadapanku.
"Mam, kalau Arthur merusaki barang sekolah, gimana, Mam?"
"Ada alasannya kamu merusak properti sekolah tanpa ijin?"
"Salah satu temanku terkunci di dalam gudang. Karena khawatir kalau nyari bantuan dia kenapa-napa, kami mendobrak pintu gudang."
Padahal bukan itu yang ingin kukatakan. Tapi rasanya sulit sekali menceritakan tentang Devina di depan ibuku.
Apa aku sepengecut itu?
"Ya kalau begitu, enggak masalah." Ibu tersenyum sembari menepuk tanganku. "Kerja bagus karena menyelamatkan teman yang membutuhkan."
Senyum ibu begitu hangat dan membuatku tenang. Sesaat aku jadi lupa tentang kegelisahanku.
"Tapi uang sakumu ibu sita selama sebulan, untuk memperbaiki pintu gudang yang kamu rusak."
"Tapi, Bu, bukan Arthur saja yang merusak, Irsan juga sama."
"Yah, tinggal kamu bicara dengan Irsan. Tapi keputusan menyita uang jajan udah pasti."
Tadi apa sih yang aku gelisahkan sampai terjadi penyitaan uang saku selama sebulan?
***
Sesampai di pintu gerbang sekolah, aku mendapati situasi menjadi aneh. Semua murid yang kuperhatikan, semua terlihat tegang dan berbisik pelan diantara mereka. Sembari berjalan pelan, aku terus-menerus menatap sekitar.
Ada apa ya?
Di kelasku yang ada di lantai dua. Aku perhatikan, Irsan sudah ada di kelas dan sedang membaca buku, tangannya sesekali mencoret di buku yang dia baca. Setengah tergesa aku duduk di sebelahnya.
"Eh, kamu, Thur. Ngagetin aja," begitu respon Irsan ketika menghempaskan diri duduk di sampingnya.
"Kenapa suasana tegang amat sih, San?" Tanyaku.
"Itu masalah yang kemarin," ujar Irsan, santai.
"Hah?"
Irsan terlihat enggan ketika menatapku.
"Oke, Begini, Arthur. Aku tahu apa yang kukatakan ini akan membuat kaget, terkejut atau semacam itu. Tapi, yah..."
"Langsung saja. Ribet banget," selakku, tidak sabar.
"Kejadian Erika terkunci di gudang sekolah sedang diselidiki. Dan..." Irsan mengecilkan suaranya, hingga hanya aku saja yang mendengar. "Devina sedang ditanya oleh guru BP."
"Tapi pelakunya belum tentu Devina."
"Ya, tahu. Terus? Erika hanya menyebutkan nama Devina enggak ada penjelasan lainnya."
"Haaah," aku menghela napas.
"Jangan ikut campur masalah ini, Thur. Situasinya lagi enggak bagus."
"Iya, aku mengerti."
***
Tidak begitu jelas bagaimana kasus terkuncinya Erika berakhir. Semua yang terlibat membungkam. Aku tidak tahu apa itu baik atau buruk.
Devina kembali dari ruang guru. Terlihat rapuh dan tidak bersemangat.
Kelas menjadi hening ketika Devina kembali. Tak mengacuhkan keadaan sekitarnya, Devina berjalan masuk dan duduk di bangku yang dia tempati.
"Devina," gumamku dengan nada prihatin.
Irsan menyodokku dengan sikutnya.
"Jangan di sini, Arthur." Bisik Irsan dengan nada mendesak.
"Aku yakin bukan Devina pelakunya," ujarku balas berbisik.
"Terus?" Tanya Irsan sambil menyipitkan matanya. "Asal kamu tahu, yang terhormat, Tuan Arthur. Aku enggak mau, enggak akan pernah lagi terlibat urusan kau. Cukup kemarin saja. Terimakasih."
Aku agak tercengang melihat tanggapan Irsan.
"Memangnya kenapa sih?"
"Kenapa?" Irsan memelototiku. "Uang sakuku dihentikan selama 2 bulan, kau tahu?"
Uh... Bukan ide yang baik kalau aku bilang aku dihentikan uang sakunya cuma satu bulan.
"Sama, aku juga," ujarku, berusaha terlihat serius.
"Oh," begitu tanggapan Irsan.
Meski tidak terlihat terang-terangan, aku bisa lihat bahu Irsan tidak setegang tadi.
"Beneran."
"Oh."
Diam-diam aku melihat Devina yang sedang memalingkan wajah ke arah jendela. Rasa prihatin melihat Devina, membuatku menatapnya diam-diam.
Seperti biasanya, ketika aku melihat Devina, aku selalu terpesona. Wajahnya yang pucat nan rupawan, rambut hitam yang halus bagaikan sutra hitam yang mahal. Dan aroma badannya yang samar-samar menyebarkan aroma bunga poppy yang misterius.
"Eh, Thur. Thur." Irsan beberapa kali menyenggol lenganku. "Arthur!"
Bukan hanya aku yang kaget. Tapi sekelas ikut menoleh ke arah Irsan dan aku. Yang membuatku semakin kaget adalah Devina ikut menoleh, sehingga aku dan Devina saling bertatapan selama beberapa detik, itu saja lama menurutku.
"Ah... Hah? Apa?"
Irsan menatapku ngeri.
"Ada apa sih, San?"
"Kamu lihat apa sih, Arthur?" Tanya Irsan, berusaha tenang. "Kok sampai senyum-senyum kayak terhipnotis gitu?"
"Cuma lihat Devina," kataku berbisik, agak malu dilihat Devina.
"Kamu tahu enggak? Kamu lihat Devina bukan kayak orang kasmaran. Tapi lebih seperti..." Irsan kembali bergidik.
"Apa?"
"Perasaan kamu saat melihat Devina seperti apa?" Tanya balik Irsan. Kulihat sepanjang lengan Irsan yang diletakkan di atas meja, menujukkan bahwa dia merinding. Bulu di sepanjang lengan berdiri semua.
"Aku juga enggak ingat. Hanya kagum dan enggak bisa lepas pandangan dari Devina yang terlihat ekspresi tenangnya dan anggun Devina."
Irsan kembali terlihat takut saat melihatku yang sedang mengingat Devina.
"Sebentar. Tunggu dulu," Irsan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian menghampiri salah satu bangku di kelas yang duduk dua orang cewek.
Entah apa yang dibicarakan Irsan, dia kembali dengan cepat ke bangku Irsan dan aku duduk.
Bersambung...