"Payah. Payah. Payah."
Berkali-kali Arina merutuki dirinya sendiri. Dirinya sungguh payah. Dia hanya bisa berjongkok dan menutup telinga rapat-rapat mendengar ledakan dan baku tembak di luar sana. Senapan yang ia bawa pun hanya ditentengnya sedari tadi.
Seharusnya ia berlari keluar menuju pesawat, lalu menenteng senjatannya dan menembakkannya ke alien berbentuk manusia di luar sana, seperti khayalannya. Tapi namanya juga khayalan, memang sangat keren jika dibayangkan, tetapi ketika sudah menghadapinya sungguhan, buruk! Seperti Arina yang sungguh buruk sekarang.
Dia payah. Dia penakut. Dia pengecut.
Padahal Ausans, Biru, dan pemuda dari Merapi sendiri sudah ada di pesawat sedari tadi. Tinggal menunggu dirinya yang dirinya sendiri masih dilema akan keluar dari pos penjaga brimob ini atau tidak. Aaah, Arina payah!
Orang-orang yang membantu melawan alien itu sebenarnya cukup banyak. Bahkan enam jet tempur di atas Arina telah banyak kali meluncurkan rudal untuk menghancurkan pesawat alien itu. Kadang juga meliuk-liuk menghindari rudal dari musuh. Pertempuran memang terjadi di udara dan darat. Dan payahnya, Arina yang takut tidak keluar-keluar dari pos juga meskipun banyak orang sudah membantu mengalahkan alien bertubuh manusia di dekatnya.
Jantung Arina berdegup tak karuan. Sebenarnya dia tidak takut mati. Karena fakta yang Arina tahu, alien itu mengincarnya dan manusia lain hidup-hidup, walaupun pada akhirnya terpaksa membunuh satu atau dua manusia yang membahayakan diri mereka. Seperti yang Arina lihat barusan dari lubang di pos jaga. Seorang pria ditembak dari jarak cukup dekat oleh alien yang memakai baju kebesaran seperti raja di film fantasi tentang kerajaan yang pernah ia tonton. Oke, mereka itu alien kerajaan mungkin? Tapi walaupun bentuknya seperti pembesar kerajaan, alien itu tidak menggunakan pedang, tameng, ataupun panah sebagai senjata. Mereka murni bersenjata senapan dari awal. Bahkan Arina rasa mereka juga memakai rompi anti peluru dibalik pakaian mereka. Hanya perasaan, sih.
Seseorang tiba-tiba meloncat masuk ke pos yang hanya berdinding setengah. Arina melotot kaget ketika melihat pria berbaju kebesaran ala-ala kerajaan di depannya menodongkan senjata. Senjata yang sama sekali belum pernah ia lihat dan bermotif bundar-bundar ruwet seperti ukiran. Ah, itu senjata alien!
"Kena juga akhirnya," ujar pria itu, maksudnya pria alien di depan Arina. Arina melongo. Ternyata alien bisa berbahasa Indonesia juga.
"Mundur atau kutembak?" ancam Arina lalu menodongkan senjata AK-47nya. Padahal dia baru belajar menembak sekali, itupun tanpa pelatih dan asal-asalan. "Kamu tahu ini senjata apa? Namanya AK-47. Rata-rata tembakannya 600 butir per menit, kecepatan 710 meter persekon, dan jarak efektif 300 meter. Ini lebih mematikan daripada senjata alienmu!"

Dalam kondisi menegangkan seperti ini, Arina malah menjabarkan spesifikasi senjata api yang sedang ia todongkan. Mulutnya itu sepertinya tak mengenal aturan kapan bicara banyak dibenarkan, walaupun bicaranya sekarang juga tidak bisa disalahkan.
"Manusia bumi itu lucu, ya? Apalagi manusia sepertimu. Aku jadi jatuh cinta deh. Siapa namamu, Nona?"
Arina melongo tak percaya lalu memberi ekspresi jijik. Makhluk di depannya bilang apa?
"Makhluk gila! Menjauh nggak!" seru Arina lalu berdiri dan menodongkan AK-47nya lebih dekat ke alien di depannya.
"Kamu tembak, aku juga tembak. Berarti kita bakal mati bersama. Emmm, nggak masalah. Mati secara romansa itu lebih menyenangkan. Ayo, saling tembak!"
Alien sinting. Arina benar-benar tak habis pikir dengan makhluk di depannya. Sudah alien, sinting, gila, hidup lagi!
Jika sudah begini caranya, lebih baik Arina tidak menembak daripada dia ditembak nanti. Tapi jika dia tidak melawan, bisa-bisa makhluk di depannya menangkapnya lalu membawa Arina ke lab percobaan mereka. Jadi, apa yang harus ia lakukan? Merayunya dan meluluhkannya agar ia tidak ditembak juga tidak ditangkap? Oh, please... Membayangkannya saja membuat Arina ingin muntah.
Dor. Dor. Dor.
Arina tersentak saat tiga peluru meluncur dengan indah ke dada alien di depannya. Terlihat darah segar segera merembes ke baju kebesarannya. Apa alien juga berdarah?
Biru menghampirinya. Rupanya Biru juga yang menembak alien sinting di depannya tadi.
"Buruan, Arina! Kenapa malah pacaran sama alien, sih?" seru Biru lalu menarik tangan Arina dan segera berlari.
Arina merunduk sembari memegang kepala. Biru di belakangnya merangkul bahunya, membentengi Arina dari tembakan alien dan ledakan di sekitar mereka. Di kanan kiri ada beberapa orang membantu menembak musuh.
Setelah dekat dengan pesawat, lebih banyak orang bersenjata datang membantu. Mereka menembaki alien yang tersisa lalu segera masuk ketika Arina dan Biru sudah masuk.
"Semua sudah lengkap. Ayo berangkat!" kata salah satu pria.
Arina ngos-ngosan. Tadi dia sprint seratus meter. Arina ingin menjatuhkan diri ke lantai pesawat, tetapi Biru sudah duluan menariknya.
"Pakai sabuk pengaman dulu, Na. Mungkin penerbangan kita nggak akan bagus," kata Biru lalu menyuruh Arina duduk di sampingnya. Di hadapannya ada pria kulit coklat berbadan kekar mirip The Rock.

Mulmed: Mirip bodinya aja loh, ya.
"Kamu nyusahin banget. Kita udah jaga di luar, tapi kamu tetep nggak keluar. Payah!" ujar pria itu. Arina menekuk bibir sebal mendengarnya.
"Udah takdir jadi payah dan lemah. Syukuri aja," kata Arina sekenanya. Pria di depannya menatap heran dan bingung, tetapi beberapa detik kemudian melengos tak peduli.
"Menjadi kuat itu sebuah pilihan, bukan takdir." Biru di sampingnya berucap. Arina sok tidak mendengar.
Pesawat jet yang Arina tumpangi mulai mengudara. Hal itu bisa ia lihat di jendela di depannya alias di belakang The Rock. Beberapa jet lain melindungi jetnya di kanan kiri. Mereka masih sibuk meluncurkan rudal untuk menyerang dan meledakkan rudal musuh sebelum mengenai jet yang Arina tumpangi.
Walaupun begitu, bukan berarti pesawat Arina terselamatkan. Si pilot masih sibuk mengulang-alingkan pesawat untuk menghindari serangan. Efeknya sampai dalam, membuat Arina pening karena pesawat bergoyang-goyang.
Saat Arina sedang seru-serunya melihat pertempuran sebuah jet di luar sana, ia dikagetkan dengan sesuatu. Jet itu hilang. Bukan hilang karena jatuh atau tertembak, tapi hilang dengan tiba-tiba dan tak lagi nampak.
Arina melongo dan membelalakkan mata. Dia langsung berseru, "Jetnya hilang, Blue. Sumpah, tadi aku lihat ada di sana, tapi langsung nggak ada."
Bicaranya dengan Blue, tetapi seluruh penumpang yang berjumlah 15 orang termasuk Biru, Ausans, dan cowok Merapi yang Arina tidak tahu namanya segera menatapnya. Arina meringis. Dia berbicara terlalu keras rupanya. The Rock di depannya sendiri menatap merendahkan.
"Ini jet terbaru milik TNI-AU. Cukup canggih karena udah dilengkapi mode invisible seperti yang ada di luar negeri. Bahkan truk yang mengangkut kuda dan raptor aneh kalian sudah dilengkapi mode invisible juga. Jadi amamln karena radar alien nggak akan bisa deteksi keberadaan jet maupun truknya. Tapi walaupun begitu, jet tetap bisa luncurin misil mereka," jelas The Rock di depannya.
Arina menatap kagum. Kenapa dia baru tahu mode invisible yang canggih sudah dipakai di militer Indonesia?
"Wah, pesawat alien aja kalah. Berarti jet ini juga ada di mode invisible?" tanya Arina. The Rock di depannya menjawab dengan deheman. Arina manggut-manggut. Nampak masih kagum. Pasalnya dia hanya melihat invisible jet di film-film, tetapi sekarang dia melihatnya sungguhan, bahkan menaikinya. Bukan film, bukan mimpi, tapi sungguhan.
Oke, kilas balik saja. Sebenarnya rencananya Tim Tasik akan datang pukul dua sore, tapi entah mengapa alien sudah datang duluan pada pukul sepuluh pagi. Gila, kan?
Padahal Biru, Thor, dan cowok merapi saja belum datang. Arina dan Ausans yang memang rencana pergi ke Brimob di jam sembilan pagi untuk siap-siap jadi kelabakan. Apalagi mereka juga hanya berdua. Itupun bersama hewan-hewan yang harus dilindungi. Arina sendiri sedang merekam video saat itu.
Tetapi tidak lama kemudian bantuan datang. Enam jet muncul dan menembaki pesawat alien milik musuh. Biru, Thor, dan seorang cowok yang pasti dari Merapi datang, disusul banyak personil bersenjata di belakang mereka. Cassini dan Thor segera dimasukkan ke truk lalu pergi duluan. Jet kecil juga mendarat di lapangan latihan di Brimob.
Arina ingat sekali, dia kebingungan mencari Brownie saat itu. Seingat Arina, ia memasukkan Brownie-nya ke tas selempang kecil yang ia biasa bawa. Tapi melihat di tasnya sama sekali tidak ada Brownie membuat Arina segera mencarinya. Terakhir ia lihat Brownie bersama Ndeso, Ndesit, dan Cassini di pos penjaga di awal masuk. Tapi saat pergi k esana dia sama sekali tidak melihat apapun. Saat itu Arina jadi ingat, Ausans menenteng kandang kotak besi di tangannya tadi. Dan saat Arina ingat-ingat lagi, ada Brownie di sana! Di dalam besama Ndeso dan Ndesit.
Arina memang payah. Iya itu memang benar.
Dan ketika Arina ingin kembali, keadaan di sekitarnya tambah kacau dan menegangkan. Suara ledakan dan tembakan terdengar di mana-mana. Bumi juga ikut bergetar saat ledakan terdengar. Suara rudal meluncur dan tembakan di atas sana juga membuat kuping Arina pengang. Nyali Arina jadi ciut. Padahal ada senjata di tangannya dan siap untuk menembak. Yaah begitulah, dirinya begitu payah! Sampai-sampai si menyebalkan The Rock mengatainya.
"Kita terbang kemana? Tasikmalaya?" tanya Biru membuyarkan flashback-an Arina tentang tadi. Ia menoleh ke Biru, dia bertanya pada The Rock di depan Arina.
"Bukan. Sebenarnya kita dari Jakarta. Tasikmalaya cuma untuk mengecoh. Di Jakarta tempat berkumpul seluruh manusia yang tersisa di Indonesia. Para alien nggak akan mungkin tahu keberadaan basecamp kita disana."
Arina yang mendengar langsung ber-oh ria. Yang ia tahu, Jakarta adalah ibukota Indonesia, kota metropolitan, dan padat penduduk. Emm, mungkin akan menyenangkan.