Perlahan Arina membuka mata. Kepalanya sakit. Rasanya seperti ada jarum yang menusuk kepalanya. Tapi itu hanya sesaat. Beberapa detik kemudian sakitnya mendadak hilang. Arina menengok ruangan yang ia tempati lalu mendesah lelah. Ruangan ini lagi. Tempat yang sama seperti mimpi sebelumnya. Kenapa dia selalu bermimpi sama seperti empat hari berturut-turut?
Mimpi. Ya, Arina tahu ini mimpi. Anehnya, ini terasa nyata. Ia mencubit tangannya berkali-kali, tetapi tidak ada yang berbeda. Arina masih di alam yang sama. Di alam mimpinya.
Herannya, Arina sudah tahu alur cerita yang akan terjadi di mimpinya. Dia akan bangun di ruangan ini, dokter datang, lalu dia memberontak, penyuntikkan, dan dia akan bangun dari mimpinya. Empat kali Arina mengalaminya. Bagaimana Arina tidak tahu?
Seperti mimpi sebelumnya, lengkungan logam bertengger di kepalanya. Banyak selang infus juga tertanam di lengannya. Ia juga masih memakai baju hijau layaknya pasien. Bedanya, kali ini idak ada alat bantu napas yang ia pakai seperti mimpi sebelumnya.
Seorang wanita masuk. Ia memakai jas putih dan kacamata. Arina melotot kaget, tapi bersamaan dengan hal itu, otaknya memberi sebuah ide. Pura-pura tidur.
Dengan mata yang sedikit terbuka, Arina bisa melihat wanita itu mendekati tempat tidurnya. Ia melihat sekilas monitor di sisi Arina lalu memeriksa sesuatu yang Arina tak pahami. Setelah itu ia memasangkan alat bantu napas kembali ke hidung Arina. Udara segar segera memenuhi rongga paru-parunya.
Wanita itu berbalik, menulis sesuatu di meja tak jauh dari tempatnya tidur.
Arina tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Berusaha tanpa suara, ia melepas lengkungan logam yang menempel di kepalanya dan alat bantu napas di hidungnya. Tak lupa selang infus dan selang lain di tangan dan kakinya. Pelan-pelan, walaupun perih. Tidak seperti sebelumnya yang melepas asal-asalan.
Arina bangkit. Wanita itu menyadarinya. Dia berbalik menghadap ke belakang. Belum sepenuhnya berbalik, Arina bergerak duluan.
Bugh!
Arina menghantam wanita itu dengan lengkungan logam tadi. Masa bodoh jika banyak kabel yang tersambung di logam itu akan putus.
Wanita di depannya jatuh. Mungkin pingsan karena pukulannya. Sebenarnya Arina tidak tega saat ingin memukulnya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia lelah jika mimpinya harus berakhir dengan penyuntikan kembali seperti mimpi sebelumnya.
Arina baru sadar, apakah dia sedang mengalami lucid dream?
Buru-buru Arina mengambil kapas lalu menekan luka bekas infusnya yang sedari tadi berdarah. Ia juga mengambil jas putih yang dikenakan wanita itu lalu memakainya, meskipun aneh, karena bawahan yang Arina pakai berwarna hijau dan sangat longgar.
Melihat ke sudut ruangan, Arina menghela napas. Tidak ada CCTV. Tanpa basa basi? Ia segera keluar dari ruangan itu.
Arina belum pernah mengalami lucid dream sebelumnya. Ini pertama kalinya. Walaupun rasa cemas dan takut menghampirinya ketika ia keluar ruangan. Arina takut ketahuan. Tetapi jika ia bisa mengeksplorasi mimpinya, kenapa tidak?
Arina berada di lorong. Lorong lebar dengan pencahayaan yang cukup. Seluruh tubuhnya sakit dan pegal-pegal, tapi ia berusaha berjalan sesantai dan sebiasa mungkin. Walau tak bisa dipungkiri, rasa kaget menghampirinya ketika melihat ruangan bercat putih berjejer-jejer di kanan kiri. Ruangan yang sama seperti ruangan yang ia tempati sebelumnya. Dan tambah mengejutkannya, ada manusia yang berbaring di sana, seperti dirinya sebelumnya. Arina bisa melihat hal itu karena dinding depannya berkaca transparan.
Siapa mereka? Mimpi macam apa ini?
Lorong ini panjang. Dengan ruangan sama di kanan kirinya. Setelah berjalan kurang lebih seratus meter, akhirnya Arina menemukan pertigaan. Mengikuti insting, Arina akhirnya memilih belok kanan daripada belok kiri.
Kali ini lorongnya sempit. Mungkin setengah lebih kecil dari lorong sebelumnya. Dari kejauhan, Arina bisa melihat ada pintu kaca di ujungnya. Setelah sampai ujung, Arina segera membuka pintu kaca tersebut. Hawa dingin yang menusuk tulang segera ia rasakan.
Arina sudah keluar dari bangunan seperti rumah sakit di belakangnya. Ini malam hari. Gelap, dingin, dan sepi. Hanya ada suara jangkrik dan gemerisik daun pepohonan. Ada kolam dan taman layaknya lingkungan rumah sakit di depannya. Tapi anehnya, ada banyak pohon tinggi berjejer tak jauh dari tempatnya berpijak. Rumah sakit ini terletak di pinggir hutan, mungkin?
Arina merapatkan jas putih yang ia kenakan. Hawa disini benar-benar dingin. Dan anehnya, kenapa Arina bisa merasakan? Bukannya ini mimpi?
Cukup jauh Arina memasuki hutan. Pohon yang ia temui juga tambah banyak. Daunnya lebat dan juga tinggi. Arina bisa melihatnya, walaupun sedikit tidak jelas karena kegelapan. Suara hembusan angin dan gemerisik daun juga terdengar, merubah suasana hutan yang tadinya sepi menenangkan menjadi sepi menyeramkan.
"Kita mirip orang kurjer ya, Bro. Tengah malam, bukannya tidur, malah nganter beginian."
Arina terhenyak. Ia membulatkan mata ketika melihat dua pria berjalan membelakanginya. Mereka berjalan lambat sembari berbincang. Salah satu dari mereka menyoroti hutan dengan senter. Dari pakaiannya, Arina yakin mereka adalah petugas keamanan. Tapi, kenapa mereka ada disini malam-malam?
"Mendinglah. Daripada di luar sana kita mampus, terus jadi zombie gila," ujar salah satu pria.
Arina berjalan mengendap-endap. Berusaha agar kakinya yang telanjang tidak bersuara ketika menggesek sampah dedaunan di bawahnya.
Dua pria itu berhenti. Arina langsung bersembunyi di balik pohon yang berjarak sekitar lima meter dari dua pria tersebut. Terlihat dua pria itu membuka tutupan bundar berbahan semen seperti tutupan sumur di depan mereka.
Arina mengerutkan dahi. Heran apa yang akan mereka lakukan. Apalagi ketika ia menyadari bahwa salah satu pria itu membawa botol tempat minum berukuran jumbo. Mereka ingin mengambil air, mungkin? Tapi kenapa salah satu dari mereka harus turun? Memangnya tidak ada kerekan untuk menimba? Pria itu juga terlihat mudah saat turun ke sana. Apa ada alat yang membantunya turun? Anehnya lagi, beberapa saat kemudian muncul cahaya dari dalam lubang sumur itu. Apa ada lampu di dalam sumur? Salah satu pria yang turun ke sumur juga tidak membawa apa-apa selain botol tempat minum tadi. Sebenarnya apa yang akan dilakukannya di dalam sana?
Untuk saat ini, Arina hanya bisa menyimpan pertanyaan itu di dalam otaknya. Dia masih menunggu di balik pohon sembari melihat gerak-gerik pria lain yang menunggu kawannya di atas.
Beberapa menit kemudian, pria yang turun tadi kembali muncul. Kali ini dia tidak lagi membawa botol, melainkan sebuah piring dan sendok dari dalam sana. Arina kembali mengerutkan dahi. Otaknya berpikir dan menebak. Sepertinya itu bukan sumur, melainkan penjara bawah tanah yang ada penghuninya. Itu baru tebakan, sih.
Dua pria itu kembali menutup lubang mirip sumur tadi seperti semula dan beranjak pergi dari sana. Arina menggeser tubuhnya ke sisi lain pohon saat mereka melewatinya, berharap mereka tidak melihat dirinya.
Setelah dua pria itu menjauh dan tidak lagi nampak, Arina segera berjalan ke sumur itu. Sekuat tenaga ia mengangkat tutupan semen itu ke samping. Entah memang tutupan itu yang berat atau dirinya saja yang lemah.
Lubang mirip sumur itu terbuka. Arina menengok ke bawah. Gelap. Ia tidak dapat melihat apa-apa. Tapi ada tangga besi menempel di dalamnya. Arina yakin pria tadi turun dengan bantuan tangga ini.
Dengan hath-hati, Arina turun ke bawah dengan tangga tadi. Keadaan yang gelap membuatnya turun perlahan-lahan. Sepi. Hanya ada suara pijakan kakinya yang menggema saat menyentuh tangga besi yang berkarat.
Setelah dua setengah meter turun, akhirnya Arina sampai permukaan. Keadaan disini sungguh gelap. Hanya ada cahaya sedikit dari lubang di atas. Arina meraba-raba dinding lembap di kanan kirinya. Pasti ada saklar di sana, mengingat sumur tadi sempat terang saat pria itu memasukinya.
Dapat!
Lampu kuning berwatt kecil segera menyala. Arina menyipitkan mata ketika melihat ruangan di depannya. Di sana ada dua sel penjara berjeruji besi yang kosong bersebelahan. Ketika Arina melangkah ke depan. Arina mendapati jika ternyata kedua tembok di kanan kirinya tadi adalah tembok sel.
Sepi. Arina berbelok ke kanan, ingin melihat-lihat. Tiba-tiba...
"Arisa, apa itu kamu?"
Arina menoleh. Seorang wanita berdiri di balik jeruji besi di sel sebelah kiri. Wanita itu menatapnya lekat-lekat. Arina mendekat. Rambut dan pakaian wanita itu berantakan. Tubuhnya kurus. Kulitnya keriput kusam.
"Kenapa kamu bisa tahu ibu ada di sini, Nak? Ibu senang liat kamu baik-baik aja." Wanita berumur sekitar setengah abad di depannya menatap haru. Arina sendiri menatap tidak paham. Dia sama sekali tidak mengerti maksud ucapan wanita di depannya.
"Maaf, tapi namaku Arina, bukan Arisa," jelas Arina. Wanita di depannya langsung menatap tak percaya.
"Apa mereka udah modifikasi ingatanmu? Apa mereka udah jalanin proyek mereka? Ini hari ke berapa setelah bencana itu, Arisa?"
Arina melongo. Dia lagi-lagi menatap tak paham lalu menggelengkan kepalanya. "Maaf. Tapi aku sama sekali nggak paham, Bu."
"Siapa nama ibumu dan ayahmu?" tanyanya.
"Ibuku Arira Rahmawati, ayahku Narendra Hermawan."
"Dengar, nama aslimu Arisa Rahmawati, Nak, bukan Arina Rahmawati. Arina Rahmawati itu nama ibumu. Dan aku ibumu, Arisa," ujar wanita itu.
Arina tambah melongo. Astaga... Apa maksudnya. Kenapa wanita di depannya bisa berkata begitu?
"Kamu pasti merasa ini hanya mimpi, bukan?" tanyanya lagi.
Arina tertegun sebentar lalu mengangguk. Kenapa dia bisa tahu?
"Aku bener-bener nggak paham. Apa maksudnya tadi?" tanya Arina, meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tadi.
Wanita di depannya menitikkan mata, mulai terisak. Tangan wanita itu terulur keluar dari jeruji. Ia memegang kedua bahunya. "Ibu tahu kamu nggak bakal paham, Nak. Ingatanmu udah berubah. Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang. Mereka pasti lagi cari kamu. Kamu harus—"
Ucapan wanita itu terhenti ketika suara langkah banyak orang terdengar. Sejurus kemudian suara seorang manusia juga masuk ke gendang telinganya.
"Dia ada di dalam!" seru seseorang.
"Terlanjur. Mereka udah temuin kamu," ujar wanita itu.
Arina langsung panik, bertanya, "Aku harus apa?"
Wanita itu berhenti dari tangisannya. Ia mengeratkan pegangan ke bahunya lalu menatap kedua matanya dalam, mencoba memberi ketenangan. Wanita itu berkata, "Ingat, Arisa, yang kamu alami sekarang adalah kenyataan. Jika kamu merasa bangun dari mimpi, justru alammu saat itu adalah mimpi. Ibu bakal tolong kamu sekuat tenaga Ibu."
Setelah wanita di depannya menyelesaikan ucapannya, seorang pria muncul di sampingnya. Pria itu menarik tangannya dan menguncinya ke belakang. Wanita tadi menggapai tubuhnya, tidak sampai. Arina memberontak, minta dilepaskan, tetapi pria di belakangnya jauh lebih kuat.
"Lepasin nggak?" seru Arina.
"Arisa, ingat ucapan ibu tadi. Yang kamu alami sekarang adalah kenyataan. Sebaliknya, alam yang kamu kira kenyataan itu sebenarnya alam mimpi. Ingat itu, Arisa!" Wanita itu berteriak. Itu suara terakhir manusia yang ia dengar.
Saat Arina berusaha melepaskan cengkraman di tangannya, ia merasa lengan atasnya yang tertutupi baju seperti digigit semut. Pria itu telah menyuntiknya. Detik selanjutnya, pandangan Arina memburam dan hitam.
Ia jatuh pingsan.
***
"Ngh..."
Arina bangun. Dia bangkit duduk lalu melihat ke kanan kiri. Dia masih di posisi yang sama, telentang, sama seperti terakhir kali ia tidur. Arina menoleh ke jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah dua pagi. Baru satu setengah jam Arina tertidur. Melihat dinding di sebelah kirinya, Arina mencoba mengetuknya. Tidak ada jawaban. Mungkin Biru sudah tidur. Teman sekamarnya juga masih terlelap.
Arina kembali berbaring. Ia menatap atap sejenak lalu teringat sesuatu. Mimpinya tadi, walau samar-samar dalam ingatannya. Arina berpikir, mencoba mengingat kejadian-kejadian dalam mimpinya.
Ah iya, ucapan wanita itu!
'Ingat, Arisa, yang kamu alami sekarang adalah kenyataan. Jika kamu merasa bangun dari mimpi, justru alammu saat itu adalah mimpi.'
Arina tertegun.
Jadi ... sebenarnya ini mimpi atau kenyataan?