Chereads / An Empty World (END) / Chapter 19 - 19-Dreams (b)

Chapter 19 - 19-Dreams (b)

"Dulu, waktu SMP, aku punya temen, namanya Aulia Lara. Waktu itu dia baru aja baca novel. Di sana ada cerita cowok kanibal yang berusaha nahan nafsunya buat nggak makan manusia. Terus dateng cewek, cowok itu berusaha tahan diri buat nggak makan si cewek. Tapi ternyata, ceweknya juga kanibal, tapi udah bisa tahan diri dari makan manusia. Akhirnya, si cewek kanibal bantu cowok itu buat tekan nafsunya dengan cara kissing."

"Bego. Tambah nafsu entar," ucap Merapi.

"Ya nggak lah. Kalau mereka berhasil selesai-in satu kiss, berarti si cowok udah bisa tahan nafsunya buat nggak makan si cewek."

"Tapi bikin nafsu buat kissing lagi. Mana mungkin-"

"Jangan banyak omong!" Ausans menyela lalu menyumpal mulut Merapi dengan tisu. Bisa-bisa pembicaraan tambah vulgar jika Ausans tidak menghentikannya. Masalahnya, masih banyak anak kecil di sini.

Merapi segera membuang tisu di mulutnya. "Nggak usah nyumpal tisu juga kali, Sans. Mending tisu baru, lah ini bekas bersihin meja," ucapnya lalu menjulurkan lidahnya, masih merasa jijik. Ausans nampak tak peduli.

"Bodoamat!" seru Arina sebal. "Salah sendiri cerewet," lanjutnya.

"Biarin, yang penting ganteng."

Sudah biasa. Arina mulai kebal sepertinya. Makanya dia tidak lagi terpancing emosi seperti sebelumnya.

"Terus, setelah itu gimana?" Arina bertanya, meminta Fadilah melanjutkan ceritanya setelah tadi sempat terputus karena—lagi-lagi—ucapan Merapi.

"Setelah baca novel itu, malamnya temenku mimpi. Dia mimpi ada serangan zombie, entah itu ada di mana. Tapi yang pasti, di mimpi itu dia dikejar zombie cowok. Dia lari lumayan lama sampai akhirnya berhenti. Dan tahu nggak dia ngapain?"

Semua orang menggeleng, mengedikkan bahu.

"Dia ganti nyerang. Dan asemnya, nyerangnya pakai kiss."

Arina menganga, lalu tertawa. Tidak menyangka akan seperti itu jalan mimpi yang diceritakan Fadilah. Yang lainnya juga sama seperti dirinya, bahkan Merapi sampai tertawa terbahak-bahak.

"Bisa ya kayak gitu? Itu mah korban novel," kata Ausans.

"Mungkin dia terlalu meresapi scene itu," ucap Nabila lalu menyuap makanan ke mulutnya. Biru yang mendengarnya tergelak. Manusia memang begitu.

"Mending kanibal, bentukannya masih manusia. Kalau zombie, nanti kayak Beauty and The Beast. Bedanya, si buruk lupa alias cozie nggak bakal bisa berubah jadi manusia, walaupun udah dicium," kata Merapi.

Arina mengerutkan dahi. "Cozie apaan?"

"Cowok zombie." Merapi nyengir. Arina menggelengkan kepala lucu. Sebutan macam apa itu?

"Tapi katanya zombie-nya cakep kok. Nggak kayak zombie di film," timpal Fadilah, meluruskan pemikiran jika zombie yang dicium temannya buruk rupa.

"Cewek emang gitu. Sukanya yang ganteng. Apalagi gantengnya kayak Budiman Santoso." Merapi menaik-turunkan kedua alisnya. Semua menatap jijik Merapi. Terkecuali Biru. Dia hanya tersenyum lucu mendengar orang di sekitarnya mengobrol. Dia irit bicara sekali.

Ganti topik, rasanya Arina ingin menggampar wajah sok cakep Merapi yang tadi mulai kembali narsis. Tidak lupa, ia juga ingin menendang kakinya. Tapi yasudahlah, Arina lelah jika harus bertengkar dengan Merapi sekarang. Biarkan dia ber-PD ria tanpa diganggu.

"Berarti namanya zogan." Merapi berkata lagi. Tanpa betanya, Arina sudah tahu apa kepanjangan dari singkatan itu. Zogan adalah singkatan dari zombie ganteng. Of course, tidak ada selain itu. Merapi emang ada-ada saja.

"Nanti terus ada zoban." Tiba-tiba Fadilah berucap. Semuanya mengernyitkan dahi. "Zombie banci maksudnya, kayak Mimi Peri."

"Mimi Peri siapa, sih?" Untuk kedua kalinya, Nabila bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Nggak tahu. Ngawur tadi." Dan untuk kedua kalinya juga, Fadilah menjawab dengan jawaban yang sama. Arina geleng-geleng kepala mendengarnya.

"Malam tadi aku juga mimpi." Kali ini Ausans yang bercerita. "Lebih tepatnya sleep paralisys, sih," lanjutnya. Yang lain mulai pasang telinga, ingin mendengar cerita Ausans.

Topik di meja makan kali ini sepenuhnya berganti tentang mimpi. Mendengarnya, Arina jadi teringat mimpinya tadi malam. Mimpi yang aneh dan tidak terlalu jelas. Bahkan Arina bisa melakukan sesuatu di mimpinya dengan sekehendaknya—seperti lucid dream. Anehnya, mimpi itu terasa nyata. Senyata lamunan Arina pada mangkuk bekas makanannya di depannya.

Arina masih ingat ucapan wanita di mimpinya. Wanita yang mengaku menjadi ibunya dan bernama Arina, seperti namanya. Wanita yang bertanya padanya tentang hal-hal yang sama sekali tidak Arina mengerti. Wanita yang memanggil Arina dengan nama Arisa. Wanita yang memberitahu bahwa alam tempat berada Arina sekarang hanyalah alam mimpi, bukan kenyataan.

Ingat, Arisa, yang kamu alami sekarang adalah kenyataan. Jika kamu merasa bangun dari mimpi, justru alammu saat itu adalah mimpi.

Arina mencubit lengannya sendiri. Berharap ada perubahan. Tetapi hasilnya nihil, dia masih dia alam yang sama. Sampai sekarang Arina masih bingung. Apa Arina harus mempercayai ucapan wanita di mimpinya? Tapi jika ini mimpi, kenapa rasanya nyata sekali?

"Sekarang giliran Mas Blue. Tadi malem mimpi nggak?" tanya Fadilah. Arina mendongak ke depan, menatap Biru yang terlihat sedang berpikir.

"Aku mimpi surat-suratan tengah malam," jawab Biru. Arina mengernyitkan dahi, tapi sejurus kemudian tersenyum ketika mengerti maksud ucapan Biru.

"Sama siapa, Kak?" Nabila bertanya.

"Palingan sama kunthilanak. Bener kan, Blue?" Merapi langsung mendapat pelototan dari fans Biru; Arina, Fadilah, dan Nabila.

Biru terkekeh, menatap Arina.

Fadilah mengikuti arah pandang Biru, tersenyum. "Oohh, sama Mbak Red ternyata," katanya. Arian meringis. "Ekhem, ekhem, tenggorokanku gatel."

Apaan, sih?

"Tengah malem? Kalian emang belum tidur? Surat-suratannya juga lewat mana?" Ausans menatap Arina dan Biru bergantian, bertanya. Arina menatap Biru, menyuruhnya untuk menjelaskan, tapi Biru hanya mengedikkan bahu sembari tersenyum.

"Ribet jelasinnya. Tempat tidur aku sama Blue sebelahan. Cuma dibatasin sekat. Sama-sama tidur di ranjang tingkat atas. Nahh, kita kasih kertas suratnya lewat celah antara atap sama sekat itu." Akhirnya Arina yang bercerita. Yang lain mengangguk paham, ada juga yang meng-ohkan.

"Btw, dia itu kunthilanak jelek terus jahat, bukan cantik. Wlee.." Merapi mengejek lalu memeletkan lidahnya ke Arina. Arina melotot tajam. Merapi sungguh menyebalkan. "Ngajak ribut, ha?" Arina berdiri lalu menggebrak meja di depannya, membuat orang-orang yang tersisa di kantin menoleh ke meja Arina dan kawan-kawan.

Biru menggelengkan kepala karena lucu, tersenyum. Tom and Jerry mulai beraksi.

"Udah, Na, jangan urusin Merapi. Anggap aja dia mantan pasien Rumah Sakit Jiwa." Ausans menenangkan. Ia menarik lengan Arian, menyuruhnya kembali duduk.

"Tadi juga cuma bercanda, Na. Kamu manusia, mana mungkin kunthilanak," timpal Biru. Arina tetap merengut, masih sebal karena ucapan Merapi.

Merasa haus, Arina segera mengambil gelas minumannya. Kosong. Ia lupa sudah menghabiskannya tadi. Ia menatap minuman di depan Biru yang masih setengah, tersenyum. Dengan PD-nya, ia mengambil miinuman Biru lalu segera menyerutnya dengan sedotan.

"Minta minum ya, Blue," ucap Arian setelah meminum es jeruk milik Biru.

"Telat, Kak," kata Nabila. Arina nyengir.

Biru tersenyum. "Habisin aja, Na."

"Katanya, kalau ada dua orang yang minum dari sedotan yang sama, mereka berdua berarti dianggap udah kissing. Berarti Mas Blue dan Mbak Red udah kissing dong?" tanya Fadilah. Nabila di sebelahnya menyikut lengan Fadilah, menyuruhnya untuk diam.

"Yang bilang kayak gitu jomblo mungkin. Gitu aja dibilang kiss," terang Arina. Tidak sadar bahwa dirinya termasuk dari kata 'jomblo' itu. "Ada juga yang bilang, kalau minum pakai gelas yang sama berarti udah kissing. Misal, mungkin aja gelas yang dipakai Merapi sekarang, sebelumnya udah dipakai sama mas-mas gigi tongos itu," ucap Arina sembari menunjuk pemuda yang duduk jauh dari mereka. "Berarti Merapi sama mas-mas tongos itu udah ciuman dong?"

Semua tergelak, kecuali Merapi. Dia melotot tajam ke Arina, seakan ingin berkata, 'why-me?!'

"Hai, lagi pada ngobrolin apa?" Riva datang, tersenyum, lalu duduk di sebelah Arina. Ia menaruh nampan yang tadi ia bawa ke atas meja. Ada makanan dan minuman di atasnya.

"Masa Mas Merapi kissing sama mas-mas itu." Fadilah menjawab sembari menunjuk pemuda cungkring bergigi tongos tadi, tertawa.

"Apa?!" pekik Riva lalu memberi ekspresi jijik. "Mas Merapi beneran homo?"

"Bodo ah, yang penting ganteng," ucap Merapi. Berbeda dengan nada bicaranya yang biasanya songong, kali ini terdengar pasrah dan lemah, mungkin lelah karena dibuli oleh banyak orang.

"Enggak, Riv, tadi kita lagi bahas mimpi sebenernya. Itu tadi Cuma bercanda," ujar Ausans, menyudahi pembulian terhadap Merapi. Merapi sendiri masih menekuk bibir, membuat Ausans yang beraberafa di sampingnya tersenyum karena lucu.

"Kirain beneran homo." Riva tersenyum. "Aku nggak mimpi apa-apa tadi malam," lanjutnya.

"Sama, aku juga nggak mimpi kayaknya," kata Fadilah.

"Aku mimpi," terang Arina. Biru menoleh, terlihat sangat tertarik. "Mimpinya aneh, terus udah berkali-kali aku ngalaminnya. Dan anehnya, mimpinya selalu sama, walaupun yang tadi maelm lebih panjang," jelas Arina sembari mengingat-ingat kejadian dalam mimpinya. Terutama ucapan wanita yang mengaku ibunya.

"Emang mimpi apa?" tanya Biru penasaran.

Arina mengambil napas, lalu menghelanya, mulai bercerita.

"Mimpinya..."

Arina mulai bercerita panjang lebar.