"Mereka makhluk apa, sih?" tanya Arina, agak berbisik agar tidak terlalu menimbulkan suara. Ia melihat kerumunan makhluk di bawahnya lewat lubang persegi di plafon. Arina hanya bisa melihat siluet mereka saja karena keadaan gelap. Senter Biru hanya menerangi atap tempat Arina berpijak. Tidak mungkin Arina menyorotkannya ke bawah. Ia takut makhluk itu peka terhadap rangsangan cahaya. Mereka sendiri sudah tenang, tidak seberisik tadi. Mungkin mereka akan berteriak kembali jika diberi rangsangan. Benar-benar mirip zombie alias infected yang pernah ia tonton saja.
"Aku masih nggak yakin, Na." Biru menjawab, ikut melongok ke bawah, melihat makhluk mengerikan di bawahnya. "Tapi kalau lihat pakaian mereka, aku jadi beramsusi dulunya mereka manusia," sambungnya.
Mendengarnya, Arina jadi khawatir. Perasaannya sungguh tak enak. Keluarganya tidak diketahui kondisi dan posisinya sampai sekarang, dan tiba-tiba, makhluk itu datang entah dari mana menyerangnya. Bagaimana jika mereka sudah menyerang tempat keluarganya berada juga?
"Keluargaku ... Aku khawatir, Blue. Takut mereka kenapa-napa," terang Arina. Raut cemas mengisi wajahnya. "Kenapa bumi jadi hancur kayak gini, sih?"
Biru menghela napas, menatap Arina iba. Ia berpindah posisi, duduk di kayu dekat tempat Arina duduk.
"Lihat aku, Na," pinta Biru. Arina mendongak, menatap Biru yang sekarang memegangi kedua bahunya. "Jenderal Joko udah kirim bawahannya buat cari mereka. Itu informasi yang terakhir aku dapet. Tetep positive thinking. Aku yakin mereka baik-baik aja." Biru berucap menenangkan.
Arina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Entah mengapa, ucapan Biru sedikit menenangkannya—meskipun hanya sedikit. Setidaknya Arina tidak se-khawatir tadi.
"Blue, darah mereka nggak akan nyebarin virus kan kalau kena badan?" tanya Arina, tak sengaja melihat ada bercak darah yang masih menempel di tangan Biru walau tadi sudah sempat dibersihkan. Mungkin Biru cepat-cepat saat mencuci tangan tadi. Arina sendiri samar-samar melihatnya karena pencahayaan yang minim. Hanya dari genting kaca dan senter Biru yang dayanya hampir habis.
Biru menurunkan tangannya, mengedikkan bahu tidak tahu. "Entahlah, Na. Tapi kalau semisal aku berubah, bunuh aja aku pakai ini." Biru mengambil pistol bekas membunuh makhluk tadi dari sepatunya. Arina baru tahu jika Biru masih membawanya.
"Jangan ngomong gitu deh, Blue. Kayak di film-film aja. Nanti kalau kamu mati, aku gimana? Thor sama Brownie juga kasihan nggak punya bapak buat nafkahin mereka." Arina berucap senewen. Biru tertawa, antara lucu dan geli saat mendengarnya. Sudah cukup lama Biru tidak mendengar Arina berucap aneh seperti tadi.
"Bawa aja nih. Siapa tahu kepakai." Biru kembali menyodorkan pisau yang ia bawa, menyuruh Arina membawanya.
"Nggak." Arina menolak mentah-mentah. "Aku nggak lihai bunuh pakai pisau. Nggak tega juga," alibinya.
"Kalau darurat pasti dipakai juga."
"Kan ada kamu, Blue. Kamu yang bagian lawan musuh aja. Aku cewek, jadi harus dilindungin," ujar Arina. Padahal beberapa menit yang lalu ia ingin menjadi pahlawan wanita yang keren seperti tokoh di film favoritnya.
"Kalau aku berubah, berarti kamu musuhku, Na," ucap Biru. Arina melotot, menekuk bibir sebal mendengarnya.
"Stop bilang gitu, Blue. Kamu buat takut deh," rengut Arina, masih menekuk bibir sebal.
"Takut aku bunuh atau takut kehilangan aku?" Biru bertanya, tersenyum menggoda. Arina tertawa pelan. Kenapa Biru mendadak jadi seperti Merapi? Tetapi tidak masalah jika Biru yang mengatakannya.
"Semuanyalah. Soalnya kalau aku kehilangan kamu, aku mungkin bisa mati saat itu juga."
Biru hanya terkekeh pelan, masih menjaga suara. Mereka bahkan mengobrol dengan suara pelan di bawah rata-rata
Arina kemudian berdiri, melangkah di atas kayu dengan hati-hati. Tangannya memegang erat pelintang kayu di atasnya.
"Mau ngapain?" tanya Biru.
"Cek luar, Blue," jawab Arina sembari menggeser beberapa buah genting di atasnya, membuat lubang di atap. Ia mengeluarkan kepalanya, melihat keadaan dari luar sana. Biru yang melihatnya mengikuti. Ia menggeser beberapa genting di dekat Arina lalu mengeluarkan kepalanya seperti yang Arina lakukan.
"Mereka masih ada, Blue, walaupun cuma sedikit," ujar Arina ketika melihat keadaan di bawah. Beberapa makhluk diam berdiri, bersuara aneh pelan, tapi terlihat tenang. Sama seperti makhluk yang ada di ruangan di bawahnya. "Selain mereka pasti udah masuk rumah, toko, ataupun gedung. Mereka mungkin capek, jadi nggak ikut temen-temen mereka lari menjelajahi bumi. Kayak makhluk yang nyangkut di kedai ini," lanjut Arina. Biru terkekeh, lucu dengan ucapan Arina.
"Aku jadi bingung gimana cara pulang ke basecamp," terang Arina. Kurang kerjaan juga karena sambil menghitung jumlah makhluk yang ada di bawahnya.
Tepat setelah Arina berbicara, sebuah panggilan masuk di alat komunikasi Biru. Biru menekan sesuatu di kupingnya, menjawab panggilan. "Kita dihubungi basecamp, Na." Biru berucap memberitahu. Arina tersenyum senang. Pasalnya, Biru sudah mencoba menghubungi basecamp sedari tapi, tapi selalu tidak bisa, entah mengapa. Arina sendiri tidak tahu cara kerja alat tersebut. Entah menggunakan gelombang radio seperti HT atau jaringan telepon seperti alat komunikasi pada umumnya.
Biru menjawab, membenarkan logam bulat di telinganya.
"Ya, disini Biru."
Arina menoleh, menatap Biru, ingin tahu apa yang dibicarakan.
"Ya, ada Arina di sini. Kami baik-baik aja, Jenderal."
Arina ber-wow ria, tertarik karena Jenderal Joko yang berbicara di seberang sana.
"Kami di atap warung makan. Mungkin dua ratus meter dari basecamp," sambung Biru. Arina masih senantiasa mendengarkan walaupun yang bisa ia dengarkan hanya ucapan Biru saja.
"Arival bilang apa?" Biru bertanya pada Jenderal Joko. Wajahnya nampak cemas.
Arina mengernyitkan dahi ketika nama Arival disebut.
Arina jadi teringat Arival. Apa Arival sudah berbicara? Apa dia mau memberitahu dimana keberadaan manusia lain yang mereka sembunyikan? Entah mengapa perasaan Arina jadi tak enak.
Biru terlihat sedang menyimak ucapan Jenderal Joko di seberang sana. Jika bisa dilakukan, rasanya Arina ingin melepas alat komunikasi di telinga Biru lalu memperbesar volumenya agar ia juga dapat mendengar ucapan Jenderal Joko.
"Apa?" Biru berseru tiba-tiba. Nampak terkejut dengan sesuatu yang Jenderal Joko ucapkan. Biru mengusap kasar wajahnya. Sepertinya berita buruk. Perasaan Arina jadi tambah tak enak. Apa terjadi sesuatu?
"Apa Anda percaya, Jenderal?" Biru masih berbicara dengan Jenderal Joko di seberang sana. Arina terdiam, masih menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan.
Biru menghela napas, antara lelah dan cemas setelah berbicara dengan Jenderal Joko. "Ya, Jenderal," ujarnya. "Kami tunggu disini." Biru menekan sesuatu di alatnya, menyudahi percakapan. Ia menoleh ke Arina, menatap sedih.
"Blue, ada apa? Apa Arival udah bilang sesuatu? Kenapa muka kamu sedih gitu? Kok aku jadi takut. Ceritain ada apa, Blue," tuntut Arina, ingin tahu karena wajah Biru tidak pernah semuram sekarang.
"Ada berita buruk, Na."
"Iya, tapi apa?" Arina berucap tidak sabaran.
"Arival udah angkat suara."
"Terus?"
"Dia bilang ... manusia dari Mars yang udah nyebarin virus. Semua manusia kena, kecuali orang-orang yang dari awal nggak bisa mereka lihat, atau mudahnya, orang yang nggak keculik mereka malam itu. Kita belum tahu sampai sekarang penyebabnya. Tapi yang pasti, kita termasuk orang-orang itu dan kita kebal." Biru menjelaskan.
Arina melotot, kaget bukan kepalang. Jadi, merubah manusia menjadi makhluk yang mengerikan seperti zombie-zombie tadi adalah rencana mereka? Arina tidak habis pikir. Mengapa mereka sejahat itu? Tidak puas kah mereka menghancurkan bumi sehingga juga menghancurkan manusia yang mendiaminya?
"Bentar, Blue. Kamu bilang semua manusia kena? Keluargaku? Ayah? Ibu? Kakak adikku?" tanya Arina, khawatir.
Biru menghembuskan napas perlahan, tidak tega untuk mengatakannya pada Arina. "Arival bilang semua manusia, Na. Termasuk keluargaku dan keluargamu."
"Apa?" Arina menutup mulut, syok dan tidak percaya dengan ucapan Biru.
"Lautan makhluk yang udah terinfeksi tadi asalnya dari manusia yang disembunyiin di Jakarta Barat. Dan kata Arival..." Biru menggantung ucapannya, bimbang, benar-benar tidak tega untuk melanjukannya. Ia tidak ingin membuat Arina sedih.
"Arival bilang apa?" Arina bertanya, menuntut Biru melanjutkan ucapannya.
Lagi-lagi Biru menghembuskan napas perlahan, lalu menarik napas.
"Keluargamu ada diantar mereka, Na. Mereka udah berubah."
Arina melemas. Dadanya begitu sesak mendengan ucapan Biru. Tubuhnya bergetar. Begitu juga dengan kedua kakinya, tidak kuat menopang berat tubuhnya. Ia terduduk di atas kayu di bawahnya. Matanya berkaca-kaca. Ucapan Biru seperti palu godam yang menghantamnya. Sejurus kemudian, air matanya jatuh untuk pertama kalinya sejak pagi di mana ia menyadari semua manusia hilang. Sebenarnya Arina masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, tetapi perkataan Arival... Ia sulit untuk tidak mempercayainya.
Arina menangis, terisak tanpa suara.
Biru duduk di sebelah Arina, ikut terluka melihat gadis di sampingnya meneteskan air mata. Pasalnya, ini baru pertama kalinya Biru melihat Arina menangis. Saat Arival mengancam akan menyakiti keluarganya waktu itu, Arina hanya sedih dan khawatir. Dia tidak menangis sama sekali.
Arina mengusap air matanya, berusaha berhenti mengeluarkan air mata. "Nggak mungkin, Blue. Kamu tahu, Arival suka bohong. Dia cuma mau buat orang-orang nangis, sedih, dan menderita. Kayak aku sekarang." Arina berusaha mengelak, masih mengusap air matanya yang jatuh, belum percaya. Biru yang mendengarnya tambah iba. Baru tahu bisa sesakit ini melihat seorang gadis menangis dan menderita.
"Arina, maaf." Biru berucap lirih, memeluk Arina, berusaha menguatkannya.
Biru tidak pintar menenangkan seseorang yang sedang menangis, apalagi wanita. Jadi, hanya ini yang bisa ia lakukan; memeluk Arina, terdiam, ikut merasakan apa yang Arina rasakan. Rasa sakit kehilangan orang yang dicinta.
Biru tahu, ini hari menyedihkan bagi Arina, bahkan bagi semua orang yang tersisa termasuk dirinya.