Senyap.
Arina perlahan membuka mata. Buram. Samar-samar. Ia mendongakkan kepala. Butuh beberapa kali kerjapan untuk menormalkan penglihatannya.
Arina mengerutkan dahi, menoleh ke kanan-kiri. Di depannya ada kaca transparan, begitu juga kanan kirinya. Ia duduk di atas kursi logam. Tangannya terkunci pada pegangan kursi yang ia duduki. Kakinya juga begitu, tapi yang ini di kaki kursinya. Arina tertegun, dia dimana?
"Bangun juga akhirnya."
Menelan ludah, Arina menatap seseorang yang berada tepat di depannya. Di luar kaca transparan. Itu Arival Adijaya dengan seringaian mengerikannya. Ia berjubah panjang khas orang-orang kerajaan, sama seperti manusia Mars yang ia lihat di Brimob untuk terakhir kali. Mendadak seluruh kejadian tadi malam berputar di otaknya, mengingatkan Arina tentang apa yang terjadi sebelumnya.
Dia diculik!
"Bagaimana tidurmu?" tanya Arival berbasa-basi. "Semoga saja nyenyak. Kamu tahu, Arina, bertahun-tahun setelah aku dikirim ke Mars, aku tidak pernah tidur nyenyak. Setiap malam aku selalu memikirkan bagaimana melancarkan pembalasan dendam paling menyakitkan untuk manusia bumi, terutama Ibumu, Arira Rahmawati."
Suara Arival terdengar jelas meskipun ada kaca pembatas diantara mereka. Arina tertegun, baru merasakan ada sesuatu-mungkin alat-di telinganya. Itu alasan mengapa ia bisa mendengar ucapan Arival dengan jelas.
Arival berubah. Dia bukan sosok Arival yang terakhir Arina lihat. Gaya bahasa baku, ekspresi wajah mengerikan, serta aura dingin nan kejam. Dia bukan psikopat berselera humor, receh, dan menyebalkan seperti sebelumnya. Dia ada di mode sadis sekarang. Arina tahu hal itu lewat seringaian mengerikannya. Seringaian yang sama saat Arival mengancam akan menyakiti keluarganya.
"Lepasin aku, Val!" Arina berseru kencang, meronta. "Apa kamu belum puas hancurin bumi?! Hancurin manusia?!" Dada Arina naik turun, menahan amarah yang bergejolak.
"Aku tidak akan pernah puas meskipun sudah memutilasi seluruh keluargamu, Arina. Bahkan memutilasi seluruh manusia bumi."
Arina mengumpat dalam hati. Arival bilang apa?
"Jangan sentuh keluargaku, Val." Arina tidak lagi berseru. Ia menekan ucapannya. Entah memohon atau memerintah.
Sorot mata Arival berubah. Tidak lagi dingin. Tapi tetap mengerikan karena sekarang ia tersenyum keji. "Aku tidak menyentuhnya, Ar. Tenang saja. Virus itu yang merubah mereka. Bukan aku." Arival menyebut Arina dengan Ar—panggilan yang Arival gunakan untuk memanggil Arina saat duduk di bangku SMP dahulu.
Arina terperangah mendengarnya. Terkejut. Rasa sakit menghantamnya. Menjalar ke seluruh tubuh. Menggedor jiwa berkali-kali. Arina menahan napas. Air matanya mendesak keluar.
Itu berarti keluarganya tidak selamat.
"Jangan sedih, Ar. Kamu masih bisa bertemu keluargamu untuk terakhir kalinya. Mungkin aku memang jahat, tapi aku bisa memberimu acara perpisahan yang tidak terlupakan dengan keluargamu. Mau coba?" Arival menekan tombol panel di dekatnya, membuat kursi logam Arina bergerak, berpindah menghadap arah lain. Arina yang awalnya di tengah ruangan ikut berpindah mendekat ke sisi ruangan yang lebih sempit.
Arina hanya bisa menatap tak mengerti. Tapi ia tahu hal buruk akan terjadi.
Setiap sisi ruangan terbuat dari kaca transparan. Bentuk alasnya persegi panjang. Tentu saja, ruangan ini berbentuk balok. Arina menghitung, mungkin luasnya sekitar 7x4 meter. Dan pastinya dinding kaca yang mengelilinginya sekarang sangat tebal sehingga tidak dapat ditembus rudal sekalipun.
Arival yang sekarang ada di sampingnya mengambil kursi, duduk di sana. Dan Arina sama sekali tidak ada ide apa yang akan Arival lakukan.
"Asal kamu tahu, Ar, ini tontonan yang sudah lama aku rindukan."
Arival kembali menekan panel di sampingnya, masih tersenyum keji. Setelah itu, lantai di ujung ruangan yang berseberangan dengannya merekah, terbuka. Arina menunggu dengan was-was. Sebuah tabung kaca muncul dari lantai yang merekah tadi. Tabung yang setelah muncul sempurna ke atas terlihat berisikan makhluk yang sama yang mengejarnya dan Biru tadi malam.
Apa yang akan Arival lakukan?
Makhluk malang itu menggedor tabung kaca berkali-kali, minta keluar. Makhluk yang bergerak aneh dengan darah yang memenuhi wajah itu menatap beringas ke arahnya. Manusia yang terinfeksi dan berjenis kelamin perempuan—Arina bisa tahu dari rambut panjangnya yang tergerai berantakan.
Arina menelisik tubuh makhluk yang berjarak 7 meter jauh di depannya. Rasanya ia mengenal dan tidak asing dengan sosok itu.
"Itu Ibumu, Arina."
Arina membelalakkan mata. Benar-benar terkejut dengan yang Arival katakan. Sekian lama Arina ingin bertemu Ibunya, tapi mengapa saat Ibunya telah berubah? Menjadi sosok yang mengerikan dan siap menerkamnya kapan saja.
Mengapa?
Arina menutup mata. Menahan rasa sakit dan sesak di dada. Hatinya hancur. Pemandangan di depannya sungguh menyakitkan. Mengentakkan jiwanya ke ujung kesedihan yang paling dalam.
Tapi ini belum selesai.
Arival kembali menekan sesuatu di panel. Kali ini lantai di depannya yang merekah. Tidak lebar. Sesuatu mirip meja logam muncul dari sana. Di atasnya tergeletak sebuah pisau. Arina menelan ludah. Ini sungguh buruk. Sejurus kemudian, pengunci di tangan dan kakinya terbuka. Arina bebas bergerak sekarang.
Tapi...
Tiba-tiba kaca tabung di depannya terbuka. Arina melototkan mata. Ibunya-dalam bentuk lain-sudah keluar, melengking kencang, berlari cepat ke arahnya dengan gerakan patah-patah.
"Sekarang pilih nyawamu atau nyawa Ibumu, Arina. Selamat berjuang."
Sial! Arina benar-benar mengumpat sekarang. Ia tahu mengapa Arival memberinya pisau tadi. Ia berputar menatap sekelilingnya, mencari jalan keluar. Hasilnya nihil. Tidak ada celah untuk keluar sama sekali.
Arina menjerit tertahan ketika Ibunya melompat ke arahnya. Mendekatkan wajahnya, berusaha menggigit Arina. Arina terpojokkan di sudut ruangan. Menahan mati-matian tubuh Ibunya agar tidak mendekat. Ibu di depannya masih melengking kencang, beringas ingin menyerangnya. Air mata Arina jatuh untuk ke sekian kalinya. Ia tidak kuat. Menyakitkan. Melihat perubahan Ibunya dari dekat benar-benar menyesakkan.
"Bu, sadar, Bu! Ini Arina!" Arina terisak. Ia berseru, meskipun ia tahu bukan Ibunya lagi yang mengendalikan fisik dan pikirannya.
Lima menit Arina bertahan. Tapi tubuhnya melemah, tenaganya habis. Ia bukan Biru, The Rock, atau siapapun yang memiliki fisik kuat. Arina hanya gadis biasa. Ia juga tidak mungkin mengambil pisau yang sudah tersedia seperti yang Arival inginkan. Arina tidak bisa. Ia tidak mampu. Ia tidak ingin membunuh Ibunya. Tidak akan.
"Cukup, Val. Berhenti." Arina berucap pelan, masih terisak. Tapi ia tahu Arival yang sedang duduk mengamatinya mendengar ucapan Arina.
Arival hanya menyeringai. Terlihat senang dengan pemandangan Arina yang sangat menderita.
Terpaksa Arina membanting Ibunya agar menjauh---itupun sekuat tenaganya. Ia berlari menghindar, menjauhi Ibunya yang berlari mengejarnya lagi. Tapi tetap saja, Ibunya bisa menangkapnya. Dan hal itu berakhir dengan Arina yang berusaha bertahan lagi.
Sepuluh menit. Arina belum juga memilih. Bosan, Arival kembali menekan panel di dekatnya. Menurunkan tabung kaca tempat Ibu Arina muncul dan menggantinya dengan tabung lain. Arina menahan napas. Itu Ayahnya. Dinding kaca tabung terbuka. Dan sekarang Ayahnya dengan bentuk yang sama seperti Ibunya berlari ke arahnya. Arina akan mati. Apa yang harus ia lakukan? Tubuhnya sudah letih. Tidak mungkin ia menahan serangan dua orang sekaligus.
Arina menutup mata sejenak, mengambil keputusan cepat. Ia mendorong Ibunya menjauh lalu dengan gerakan cepat mengambil pisau di atas meja. Ibunya mendekat. Dengan hati hancur dan air mata mengalir deras ia menusukkan pisau yang ia bawa ke Ibunya, tepat di jantungnya. Ayahnya mendekat. Dan lagi-lagi Arina kembali menusukkan pisau itu tepat ke jantung Ayahnya, membuat Ibu dan Ayahnya langsung terkapar jatuh ke lantai, tak bergerak.
Tapi Arival tidak pernah puas menyakiti.
Tabung kaca kembali turun. Digantikan tabung baru yang berisi orang baru. Arina mengeluh tertahan. Sekarang sosok kakak laki-lakinya yang berubah berlari keluar hendak mengejarnya. Baru saja kakaknya keluar, tabung itu kembali turun, naik membawa adik perempuannya yang juga sudah berubah mengerikan. Kakaknya mendekat. Dan seperti yang sudah-sudah, Arina dengan mudah menusuk jantungnya. Selalu tepat sasaran padahal Arina baru sekali ini melakukannya. Sisanya lebih mudah, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SD. Badannya yang lebih kecil dari Arina memudahkannya bergerak tanpa serangan berkekuatan. Dan sedetik kemudian, adiknya sudah jatuh tergeletak tak bernyawa. Bersimbah darah di dadanya.
Arina terduduk di sudut ruangan, tergugu. Air matanya masih mengalir deras. Ia menatap pisau di tangannya yang penuh dengan darah. Pisau yang Arina pernah berjanji tidak akan memegangnya karena tidak tega dan tidak mampu untuk membunuh, tetapi sekarang ia gunakan sendiri dengan kedua tangannya, dengan segenap kesadarannya.
Arina menjatuhkan pisau itu. Tapi tentu saja darah telah mengenai tangannya. Darah seluruh keluarganya. Ia berganti memandang empat mayat yang tergeletak tak jauh dari Arina. Arina menangis sejadi-jadinya. Tak menyangka jika tangannya sendiri yang akan menghabisi seluruh keluarganya. Meskipun itu terpaksa, tapi tetap saja. Itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Arina yang telah membunuh keluarganya. Keluarga yang selama ini ia harapkan keselamatannya, tetapi malah mati di tangannya.
Arina menutup mata, menangis sejadi-jadinya. Ini kenyataan tak terbayangkan baginya. Menjadi pembunuh dan membunuh keluarganya.
"Terimakasih tontonannya, Arina."