Chereads / An Empty World (END) / Chapter 34 - 34-The Hidden Past

Chapter 34 - 34-The Hidden Past

Awal tahun 2042. Perang Dunia III pecah. Sangat dahsyat. Nyaris seluruh negara di dunia terlibat di dalamnya. Rusia dan Amerika Serikat, negara adidaya yang bermusuhan sejak lama masih menjadi dua poros yang kuat di Perang Dunia III. Seluruh senjata biologi dan kimia, rudal, serta bom nuklir masing-masing negara diaktifkan. Masing-masing menunjukkan kekuatan senjatanya. Tidak peduli akibat-akibat buruk yang akan ditimbulkan. Dunia hancur. Lebih hancur dari perang dunia sebelumnya. Manusia memang tidak pernah berhenti menghancurkan tempat tinggalnya sendiri. Menghancurkan sesamanya.

Jiwa yang tak bersalah menjadi korban. Mereka mengungsi, kehilangan anggota keluarga dan tempat tinggal. Sisanya mati terbakar, hangus karena bom yang diledakkan.

Sejatinya peperangan hanya menimbulkan penderitaan. Kesakitan, kematian, dan kehilangan. Juga luka fisik dan trauma berat. Tidak ada hal positif yang didapat. Masalah-masalah yang lebih besar bermunculan. Sama seperti yang terjadi di Perang Dunia III ini. Semua orang tidak menyadari. Perang sesama manusia bukanlah perang mereka sesungguhnya. Ada peperangan lain. Peperangan mengerikan yang tinggal menunggu waktu.

Enam bulan setelah meletusnya Perang Dunia III, Rusia masih terus menyempurnakan senjatanya. Terutama senjata biologi dan kimia. Mereka sengaja membuat senjata yang mematikan perlahan-lahan untuk menunjukkan kekuatan dan kekejaman mereka pada dunia. Menunjukkan bahwa mereka negara terkuat yang dapat menghancurkan lawannya dengan mudah dan tidak dapat dikalahkan.

Begitu juga negara lain. Mereka masih terus saling menyerang. Setiap harinya banyak orang yang mati perlahan karena zat kimia dan biologi. Anak kecil, wanita, orang tua renta. Mereka semua harus menderita beberapa jam sampai zat itu benar-benar mematikan tubuh. Mereka menggelepar diantara reruntuhan bangunan dengan kulit memanas terbakar dan dada yang semakin sakit dan sesak. Mereka menunggu, berharap kematian datang lebih cepat. Sedetik bagi mereka rasanya seperti berjam-jam lamanya. Itu tidak hanya terjadi di satu tempat, melainkan di banyak tempat di dunia. Pemerintah negara yang saling melemparkan senjata, akan tetapi rakyat yang harus menanggung akibat perbuatan dan keserakahan mereka.

Tetapi balasan selalu setimpal dengan perbuatan.

Bulan Agustus 2042, Rusia berniat eluncurkan senjata biologi terbarunya ke lima negara di lima benua. Senjata itu berbentuk gas dan berisikan virus yang direkayasa secanggih mungkin sehingga bisa menimbulkan kesakitan pada tubuh inangnya. Senjata biologi itu belum dicoba. Dan percobaan pertama kalinya adalah saat Rusia menjatuhkannya ke Pearl Harbour, pangkalan AL Amerika Serikat, untuk membalas serangan mereka ke Rusia beberapa waktu yang lalu. Rusia tidak menyadari jika senjata mereka akan menjadi malapetaka bagi seluruh umat manusia.

Virus itu diberi nama virus Moscow. Virus yang berevolusi secara cepat. Berubah menjadi kuat dan merusak. Dalam sekejap, sebelum debu-debu mengepul akibat bom menghilang, sebelum rintihan kesakitan manusia yang selamat terdengar, virus itu telah menguasai inangnya. Virus yang mengakibatkan mutasi pada pada sel-sel dan cara kerja otak manusia. Infected, zombie, atau sejenisnya. Manusia yang telah terinfeksi itu bangkit, bergerak mencari tubuh yang segar. Menggigitnya. Menularkan virus.

Beberapa jam kemudian, seluruh dunia terinfeksi. Begitu juga dengan Rusia. Senjata makan tuan. Tidak ada lagi peperangan antar manusia. Para petinggi negara berusaha menyelamatkan diri—menaiki kapal dan tinggal sementara di atas laut, untuk kemudian berpikir mati-matian solusi untuk hari esok—kebutuhan makan, minum, dan yang lain pasti habis.

Wajah mereka kuyu dan tertekuk, berkali-kali mengusap wajah dan bertanya hal yang sama, bagaimana ini bisa terjadi? Mereka tidak lagi bisa angkuh dan berkuasa seperti dulu. Memerintah ini dan itu. Memborbardir ini dan itu. Kekuasaan mereka runtuh. Lihatlah isi gedung tempat mereka bekerja dan jalanan, infected bertebaran di mana-mana. Apa yang bisa mereka harapkan?

Balasan memang selalu setimpal dengan perbuatan.

Mereka menginginkan kehancuran dunia, maka Sang Pencipta mengabulkannya. Itu yang mereka dapatkan. Dunia yang hancur dengan manusia yang terinfeksi memenuhinya. Sang Pencipta selalu adil.

Hanya sedikit manusia yang masih hidup. Jumlahnya hanya sepersekian dari total penduduk bumi. Mereka lari ke bukit, pegunungan, hutan, atau tempat apapun yang tidak dihuni manusia terinfeksi, untuk kemudian membangun benteng pertahanan di sana.

Beberapa hari kemudian, permasalahan orang yang masih hidup dan bersembunyi di tempat terjauh dari infected adalah makan dan pakaian. Mereka tentu saja butuh makanan dan pakaian ganti. Umbi-umbian, sayuran, atau sejenisnya juga tidak selalu bisa ditemukan. Bersyukur jika hidup di negara yang mudah air dan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan. Bayangkan bagaimana keadaan manusia di gurun pasir sana? Mati-matian berlari dari kejaran zombie serta kehausan.

Tapi ternyata bukan itu permasalahan serius mereka. Virus itu dapat menyebar lewat udara. Dapat menginfeksi orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh atau daya imun rendah. Satu persatu manusia berubah, sisanya yang masih sehat terpaksa segera membunuh mereka sebelum mereka berubah seutuhnya dan menukarkan virus. Meskipun yang dibunuh harus keluarga sendiri. Kekurangan pangan membuat tubuh mereka tidak fit sehingga virus dengan mudah menyerang mereka.

Tapi vaksin untuk mencegah virus menjangkit segera ditemukan. Dengan keadaan dunia yang kacau balau, pusat World Health Organization di Jenewa Swiss mengirimkan vaksin yang mereka temukan lewat transportasi udara ke berbagai tempat yang ditinggali manusia yang mengungsi dan bersembunyi. Vaksin itu hanya memberi kekebalan sementara agar virus tidak menjangkit. Disuntikkan beberapa minggu sekali ke tubuh manusia. Mereka belum tahu jika beberapa manusia memiliki kekebalan alami terhadap virus Moscow di tubuh mereka.

Seperti yang disebutkan, mereka mulai membuat dinding pertahanan. Contohnya Indonesia, negara yang masih memegang prinsip mencintai perdamaian dan membenci pertumpahan darah sehingga menjadikannya salah satu negara yang tidak terlibat Perang Dunia III selain Saudi Arabia dan lain-lain. Tetapi tetap saja, Indonesia merasakan imbasnya. Virus Moscow juga menginfeksi jutaan rakyat yang hidup di sana. Membuat nyawa hilang sia-sia.

Ada beberapa benteng yang dibangun di Indonesia. Tersebar di berbagai daerah. Awalnya mereka berkelompok bersembunyi di gua-gua atau membuat perkemahan di tengah hutan atau di pinggir sungai. Tetapi karena alasan keamanan dan keselamatan, akhirnya mereka membangun dinding beton dengan tinggi tiga meter dan memutari lahan berdiameter sepuluh meter di atas bukit, gunung, atau hutan. Tapi seiring waktu berjalan, mereka menyempurnakan benteng tersebut. Memperluas, meninggikan dinding, memperkuat, mempercanggih, serta mendirikan bangunan-bangunan baru yang kemudian dijadikan tempat untuk para ilmuwan meneliti dan mencoba mencari penawar obat virus Moscow tersebut. Juga memperbanyak atau membuat sendiri vaksin yang telah ditemukan para ilmuwan di pusat World Health Organization Jenewa dua bulan setelah virus menjangkit.

Bahan bangunan memang sulit dicari, tapi manusia yang tersisa bekerja mati-matian untuk mendapatkannya. Dengan alat komunikasi yang masih berfungsi, manusia di negara lain juga saling tolong-menolong, tidak peduli jika beberapa hari yang lalu negara mereka saling berperang. Sejatinya hanya para pemimpin mereka saja yang saling berperang, rakyat tidak ikut campur apa pun. Tapi mereka juga yang harus terkena dampak buruknya. Rakyat menderita sedangkan Presiden tersenyum setelah selesai memerintah memborbardir ini itu.

Mungkin hanya itu juga satu-satunya cara agar dunia kembali berdamai. Meskipun harus menelan banyak korban jiwa. Lagipula perang dunia juga sama menelan banyak korban. Hanya saja kelas eksekutif—presiden dan seluruh bawahannya yang sebenarnya merupakan otak terjadinya perang—selamat. Bukannya itu jauh lebih tidak adil?

Setiap bencana mengandung hikmah dan pelajaran tersendiri bagi orang-orang yang mampu memahaminya. Bahwa pertumpahan darah di muka bumi merupakan hal yang merusak. Sangat dibenci. Tidak mengandung manfaat dan hal positif apapun. Justru kebalikannya, peperangan dan pertumpahan darah hanya menimbulkan hal negatif. Kehilangan. Luka fisik. Trauma berat.

Semua orang di dunia pasti akan menyetujui hal itu. Terkecuali orang yang memang berniat membuat kerusakan di muka bumi. Orang-orang biadab, bengis, dan tak punya hati.

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, manusia masih terus menjalani hidup. Menikah, mempunyai keturunan, bekerja—benteng yang dibuat memiliki lapangan pekerjaan seperti pertanian yang hasilnya untuk kebutuhan makanan, ahli membuat senjata, penjahit, serta pekerjaan lain yang dibutuhkan benteng yang sangat luas. Penduduk benteng juga diajari bela diri dan menggunakan senjata, lalu kemudian dipilih beberapa pemuda untuk dijadikan pasukan terlatih dan melakukan pekerjaan khusus—menjaga benteng pastinya. Di sisi lain, para ilmuwan di seluruh dunia masih terus mencari the cure alias penawar Virus Moscow. Bertahun-tahun mereka mencari, tapi bertahun-tahun itu juga mereka tidak menemukannya.

Sampai suatu saat, 18 tahun setelah peristiwa infected apocalypse itu, seorang ilmuwan wanita menemukan penawarnya. Ilmuwan di negara yang malah tak diharapkan banyak hasil penelitiannya oleh dunia.

Indonesia. Ya, ilmuwan itu berasal dari Indonesia.

Sungguh betapa senangnya ia. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, akhirnya penelitiannya membuahkan hasil. Dunia akan kembali seperti semula. Tidak lagi mengerikan.

Tetapi takdir berkata lain. Ia tidak tahu dan tidak menyangka. Penawar yang ia temukan justru membahayakan orang lain. Bahkan orang-orang terdekatnya. Sahabatnya, juga anaknya sendiri.