"Thor itu cyborg." Seseorang tiba-tiba bersuara di belakangnya. Arisa tertegun lama. Ia kenal suara itu
Itu suara ... Arival.
Kakak laki-lakinya.
Arisa menoleh ke belakang. Arival bergerak menuruni tangga lalu duduk beberapa senti di sebelahnya. Ia bergerak menjauh. "Jangan deket-deket. Di ingatanku, kamu masih psikopat."
Arrival terkekeh, mengacak rambut Arisa di sebelahnya. Arisa memegang rambutnya, berseru tidak terima, "Apaan sih!"
Arival tambah terkekeh. "Kamu tetep aja jadi adik nyebelin walaupun ada di memori ibu."
Arisa terdiam. Mendengar kata ibu keluar dari Arival membuat perasaannya bercampur aduk. Ada gelanyar aneh yang ia rasakan di hatinya. Ya Tuhan... Arisa masih tidak menyangka Arival adalah kakak laki-lakinya. Saudara satu ibu, satu ayah, satu orang tua. Satu-satunya keluarga yang ia punya setelah ibunya di dunia ini.
"Oh ya, Ibu titip salam tadi. Aku sempet datang buat liat keadaan Ibu sebentar. Ibu bilang dia kangen kamu. Pengen lihat gimana anak gadisnya sekarang," kata Arival. Arisa sempurna terdiam mendengarnya. "Dua setengah tahun lamanya kita anggap ibu udah meninggal. Tapi ternyata kita salah. Ibu masih hidup. Bahkan jarak kita selama ini nggak jauh," lanjut Arival, menatap lurus ke depan. Tatapannya terlihat berbeda, ada denting kesedihan di sana.
Arisa tidak berkata. Otaknya reflek memutar memori saat ia bertemu dengan seorang wanita di penjara bawah tanah beberapa hari yang lalu. Wanita yang memanggilnya dengan nama aslinya. Wanita yang tampak lemah dengan tubuh kurus dan kulit keriput kusamnya. Wanita yang ternyata benar-benar ibunya.
Arisa menahan mati-matian air matanya agar tidak jatuh. Membayangkan ibunya tinggal di tempat gelap dan lembap seperti itu selama dua setengah tahun membuatnya sakit. Batinnya menggedor keras. Dua setengah tahun itu bukan waktu yang singkat.
"Gimana kabar ibu?" Suara Arisa tercekat.
Arival menghela napas. "Ya kayak gitu. Bukannya kamu udah pernah ketemu ibu?" Arival balik bertanya. Arisa hanya mengangguk lemah. "Yang pasti ibu bersyukur setelah denger Biru berhasil bawa pergi kamu dari benteng. Ibu cerita, dia khawatir banget semenjak kamu dateng ke selnya beberapa hari yang lalu. Ibu nangis, dia nggak bisa tidur karena terus-terusan kepikiran kamu. Ibu takut kehilangan kamu."
Arisa menelan saliva susah payah.
"Aku udah janji sama ibu buat jaga kamu, Arisa," kata Arival. Hati Arisa menghangat mendengarnya. "Tapi rasanya sama aja kalau kamu masih anggap aku psikopat," lanjutnya, melirik Arisa di sebelahnya.
"Bercanda," koreksi Arisa cepat. Arival tertawa.
"Kamu beruntung, Sa, bisa tahu gimana mudanya ibu dulu. Bisa tahu gimana kakek sama nenek yang dulunya nggak pernah kita lihat sama sekali. Bisa tahu gimana adik sama kakaknya ibu, paman sama bibi kita," terang Arival.
"Iya, tapi sama aja kalau nggak inget siapa diriku sendiri."
Arival lagi-lagi tertawa, "Inget aja satu kalimat; Arisa itu adik paling nyebelin di dunia."
Arisa melotot marah ke Arival. Tangannya gatal ingin memberikan pukulan ke sosok di sampingnya. Arisa jadi tahu tipe kakak seperti apa seorang Arival itu: kakak yang menyebalkan. Bukannya itu sempurna? Adik dan kakak yang sama-sama menyebalkan?
"Oh iya, tadi kamu tanya tentang Thor kan? Thor itu cyborg. Luarnya daging, tapi kalau kamu belah dagingnya, bakal ada mesin di dalamnya. Simpelnya, Thor itu robot," jelas Arival. Kakinya menendang pelan kaki depan Thor berkali-kali, mengganggunya tidur. Arisa hanya mengangguk paham. Rasanya canggung sekali. Mengingat beberapa hari yang lalu, Arival di sebelahnya adalah psikopat yang ingin sekali mendengar berita kematiannya dan keluarganya.
"Kamu tahu siapa yang ciptain Thor?" Arival bertanya. Arisa menggeleng. Biru sama sekali belum bercerita apapun tentang Thor.
"Ibu."
"Ibu?" Arisa membeo, menatap Arival tak percaya.
Arrival mengangguk, tersenyum. Ingatannya melayang ke sosok yang selama ini ia idolakan, ibunya sendiri. "Ibu kita itu keren, Sa. Nggak ada orang sehebat ibu di dunia ini. Benteng Jogja lebih maju dibanding benteng-benteng di daerah lain juga karena jasa-jasa ibu."
Arisa hanya diam. Itu juga yang dikatakan Biru beberapa jam yang lalu. Ibunya adalah orang yang paling hebat. Tidak ada orang sehebat ibunya di dunia ini.
"Setelah kabur dari kota yang penuh infected ke benteng yang dulunya cuma dikasih pagar pembatas, keluarga yang pertama kali ibu kenal itu keluarga Biru. Bibi Lyra, mamanya Biru itu temen baik ibu di benteng. Temen main pertamaku di benteng juga Biru. Umur kita nggak jauh beda. Setelah itu baru dateng Elang beberapa bulan kemudian. Dia pergi ke benteng Jogja sama bapaknya."
Arisa manggut-manggut mendengarnya.
"Sebelum perang dunia ketiga pecah, cyborg udah bisa dibuat sama beberapa ilmuwan," Arival lanjut bercerita, "termasuk ibu, walaupun lumayan susah ciptainnya. Kamu pasti tahu, remaja ibu dulu terobsesi sama raptor hewan prasejarah itu. Apalagi ada film Jurassic yang cerita tentang hewan prasejarah itu. Itu film legend banget. Rilis pertama tahun 1993, disusul movie-movie selanjutnya. Film terakhir rilis tahun 2041 kemarin. Berhenti ngerilis lagi karena perang dunia dan virus Moscow yang mulai nyebar."
Jeda sebentar. Arisa berpikir sejenak. Di ingatannya, film Jurassic yang terakhir itu rilis tahun lalu, tahun 2027. Dan tentu saja Arisa sudah menontonnya berkali-kali. Atau lebih tepatnya ibunya sudah menonton berkali-kali. Arisa sendiri tidak menyangka film itu masih terus berlanjut sampai 14 tahun kemudian. Akan bagaimana ceritanya?
"Tahu hal itu, Bibi Lyra coba minta ibu buatin cyborg bentuk raptor. Ibu sanggupin. Biru yang waktu itu umur tiga tahun ternyata juga suka sama raptor, jadinya Bibi Lyra mintanya cyborg bentuk raptor. Dan nggak tanggung-tanggung, ibu buatin cyborg raptornya yang ukuran dewasa. Jadi deh raptor ngantukan ini," canda Arival. Kakinya masih menendang kaki depan Thor, mengusik tidurnya. Thor tidak merespon, masih menutup mata.
Arival tersenyum miring, "Aku sendiri bingung. Apa kerennya raptor? Kenapa ibu bisa suka banget sama hewan prasejarah kayak gini," terangnya. Kali ini Arival menganggu Thor dengan mendorong moncongnya berkali-kali. Melihatnya, rasanya Arisa ingin menendang kaki Arival agar ia berhenti dari kegiatannya.
"Thor itu keren. Dia hewan terpintar di masanya. Hidup berkelompok. Bisa ngalahin T-rex kalau jumlah anggota kelompoknya banyak." Arisa tidak terima dengan perkataan Arival.
"Nggak ada T-rex disini, Arisa. Lagipula, kamu ada di ingatan ibu sekarang. Pastinya bakal bilang Thor itu keren lah. Arisa asli itu suka banget sama anak ayam, bukan raptor."
Mata Arisa membulat mendengar ucapan Arival. "Anak ayam? Jangan-jangan Brownie sebenernya ada? Dia juga cyborg?"
Arival mengangguk, "Iya, Brownie itu punyamu. Hadiah dari ibu, katanya. "Tapi aku mau selesain cerita tentang Thor dulu," lanjutnya. Arisa mengangguk.
"Buat Thor itu lama. Ibu cerita butuh waktu setengah tahun buatnya, cari bahannya susah. Selain itu, ibu lagi punya bayi alias kamu kecil. Jadi tambah lama. Setelah kamu tujuh bulan, Thor udah hidup. Udah kayak raptor beneran. Kata ibu, Thor sempet bikin geger warga benteng waktu itu."
Mendengarnya, Arisa terdiam. Dahinya berkerut samar. Ucapan Arival mengingatkannya tentang sesuatu. Dan Arisa berusaha mengingat sesuatu apa itu.
"Blue, suruh dia menjauh!" Arina memerintah.
Dan menyebalkannya, Biru malah tertawa ngakak sambil mengelus-elus wajah Thor di depannya. "Thor, kamu mundur, ya? Mbak Arina lagi parno sama kamu." Biru berucap lalu kembali tertawa. Arina langsung memukul punggung Biru berkali-kali. Sangat keras sampai Biru berteriak kesakitan kendati masih tertawa.
"Kok kamu panggil aku buat Thor 'Mbak Arina' sih? Kan tua-an dia?" tanya Arina.
"Nggak. Lebih muda Thor tujuh bulan," balas Biru lalu tertawa lagi.
"Sok tahu."
Ah iya, Arisa ingat. Sekarang ia baru tahu ucapan Biru beberapa hari yang lalu itu bukan sekedar candaan, melainkan kenyataan. Arisa memang lebih tua dari Thor. Lebih tua tujuh bulan lebih tepatnya.
"Setelah itu pastinya aku juga minta ibu buatin cyborg kaya Biru. Tapi aku minta yang lebih simple. Anak singa. Itu baru keren!" ucap Arival.
Arisa mengangguk, ber-oh ria. Anak singa memang menggemaskan. Dalam bentuk cyborg tentunya. Jika anak singa asli, Arisa akan berpikir dua kali untuk menyentuhnya.
"Tapi cyborg anak singa itu cuma bertahan lima tahun," Arival lanjut bercerita. Arisa menautkan kedua alisnya, bertanya kenapa lewat tatapan. "Simba kelindas truk waktu aku umur delapan tahun," jelasnya.
Arisa menatap tak percaya. Bukan karena cerita Arival tentang anak singanya yang terlindas truk, melainkan nama anak singa yang Arival sebut. "Namanya Simba? Lucu banget..."
Arival mengangguk, lanjut bercerita. "Waktu itu benteng lagi ada pembangunan besar-besaran. Dinding pembatas benteng diperkuat sekaligus dipertinggi. Kita berenam lagi main kejar-kejaran, biasalah anak kecil. Ibu udah larang aku bawa Simba sebelumnya. Tapi aku nggak dengerin. Simba tetep kubawa. Dan brak, dia keinjek truk yang bawa material karena ngikutin aku lari. Kasian kan? Untung nggak berdarah." Arival bercerita dengan dramatisnya.
Arisa malah tertawa ngakak. Bukan juga karena cerita Arival, melainkan karena wajah kakaknya itu tampak ikut bersedih saat bercerita. Arisa tahu Simba pasti teman yang menyenangkan. Rasanya seperti membuka luka lama saja. Jika Arisa tidak ingat Arival baru saja berakting menjadi psikopat kemarin, Arisa pasti tidak akan tertawa sekeras ini. Raut wajahnya benar-benar berubah 180 derajat dari mengerikan menjadi menyedihkan.
"Nggak ada yang lucu, Sa."
Arisa berhenti tertawa, bertanya, "Ibu marah?"
"Nggak. Ibu itu jarang marah. Ibu malah nawarin buat benerin Simba. Tapi aku gentleman sejak lahir, jadi aku tolak tawaran ibu. Aku terima akibatnya karena itu murni kesalahanku."
Alih-alih kagum, Arisa malah memberi ekspresi ingin muntah. Percaya dirinya Arival nyaris menyentuh tingkat percaya diri Merapi. Mereka itu benar-benar sahabat yang klop. Syukurnya Biru normal, tidak seperti kedua temannya yang tingkat PD-nya tidak wajar. Bahkan sampai tahapan membuat orang sebal seperti Merapi.
"Kalau Brownie, kapan dia dibuat? Sekarang dia di mana?" Arisa bertanya tidak sabaran.
"Masih di gedung lab. Tenang, dia aman di sana. Nggak bakal kelaperan juga meskipun nggak dikasih makan lama. Dan ya, kamu nggak minta dibuatin. Ibu yang inisiatif ciptain Brownie buat kamu," terang Arival. Arisa bertanya kenapa mendengarnya.
"Umur dua tahun lebih, kamu suka banget sama anak ayam. Ada warga benteng yang sempet bawa sepasang ayam ke benteng. Ayam itu berkembang biak. Setiap ada induk yang telurnya netas, pasti kamu minta satu anak ayam."
Arisa nampak serius mendengar cerita Arival.
"Masalahnya, setiap anak ayam yang kamu minta selalu mati dalam jangka waktu sepuluh hari setelah kamu ambil. Entah itu kamu banting, atau kamu pegang kekencangan, bahkan kadang nggak sengaja kamu injek. Ibu udah kasih kandang sendiri. Tapi namanya anak kecil, belum genap tiga tahun. Kalau aku sama ibu lagi ninggalin kamu bentar, kamu langsung ngeluarin anak ayamnya sendiri. Setelah itu, yaudah, tamat riwayat anak ayamnya setelah digecek-gecek sama kamu," Arival terkekeh. Arisa nyengir, ikut tertawa mendengarnya. Menggemaskan sekali membayangkan dirinya saat masih kecil.
Arisa tidak terlalu mendengarkan ucapan Arival yang terakhir. Ia malah memikirkan hal lain. Mengapa di keadaan dunia hancur seperti saat ini inovasi yang dibuat manusia berkembang lebih cepat? Ide-ide segar bermunculan dan usaha keras dilakukan. Teknologi semakin canggih dari tahun ke tahun. Tidak peduli masih ada virus Moscow di luar sana yang menguasai bumi. Mungkin manusia memang butuh penekanan kuat untuk mencapai hal maksimal.
"Cuman tiga yang ibu buat? Kalau Cassini, Ndeso, Ndesit, sama Eagle-nya Merapi?" Arisa diam sejenak. Ia baru sadar, nama merpati milik Merapi punya nama sama dengan nama aslinya, Elang.
"Cassini, Ndeso, sama Ndesit emang punya Bibi Ausans waktu muda dulu. Mereka nggak nyata, cuma di permainan pikiran. Seaslinya mereka udah mati. Bibi Ausans emang atlit equestrian dan panahan dulu. Pernah wakilin Indonesia di kompetisi internasional dan juara satu equestrian."
Arisa mengangguk paham. Susan tidak membual saat mengatakan akan ikut Asian Games saat di permainan pikiran. Ibunya memang atlit equestrian berprestasi.
"Merpatinya Elang juga gitu. Itu punya bapaknya. Kamu pasti pernah diceritain kalau Pak Budi alias bapaknya Elang pengen pelihara burung Elang, tapi nggak boleh sama bapaknya Pak Budi. Akhirnya, Pak Budi pelihara merpati, tapi dikasih nama Eagle," jelas Arival. Arisa mengangguk, membenarkan. Ia ingat sekali Merapi pernah bercerita hal itu.
"Btw, jangan panggil Merapi pakai nama asli. Nama Elang itu nggak cocok sama sekali sama mukanya. Dia lebih cocok dipanggil sapi daripada elang," kata Arisa, teringat kekesalannya pada Merapi beberapa saat yang lalu. Arival tertawa mendengarnya. Tidak tahu jika Merapi sedang sibuk mencari air karena tersedak makanannya di dalam sana.
"Namanya Elang Merbabu, tapi kamu selalu panggil dia Merapi. Itu jauh banget. Beda gunung, beda tempat," terang Arival, terkekeh.
Dahi Arisa terlipat. Ia sedang mencerna sesuatu. "Nama asli Merapi itu Elang Merbabu?"
Arival mengangguk membenarkan. "Pak Budi hobi naik gunung dulu. Hampir setiap bulan dia pergi ke gunung-gunung di Indonesia. Nah, waktu Pak Budi lagi daki gunung Merbabu, dua tahun sebelum perang dunia ketiga, tiba-tiba Pak Budi dapet kabar kalau istrinya udah lahiran. Karena Pak Budi juga suka Elang, makanya anaknya dikasih nama Elang Merbabu."
Arisa tertawa, nama asli Merapi keren sekaligus lucu. "Tapi kan Merapi sama sekali nggak kayak Elang. Beneran deh, dia itu lebih mirip sapi karena sukanya makan sama tidur, mager," kata Arisa.
"Tapi sapi jaman dulu kan pekerja keras. Dia suka bajakin sawah." Arival menampik.
"Merapi kan sapi manja. Harusnya dia dikasih nama Sapi Merbabu aja."
Arisa dan Arival tergelak bersamaan. Tidak peduli Merapi yang masih tersedak sampai terbatuk-batuk di dalam sana. Susan bahkan harus ikut membantu menepuk-nepuk punggung Merapi untuk meredakan batuk yang tidak hilang meskipun telah diminumi air putih sejak tadi.
Haha, poor Merapi.