Arisa menghela napas berkali-kali, menatap malas dua orang yang sedang berjalan cepat sembari berbicara di depannya. Ini hal termenyebalkan yang pernah ia rasakan setelah keluar dari permainan pikiran. Bagaimana bisa ia menjadi obat nyamuk di antara Biru dan Sarah sekarang? Padahal ia memilih pergi bersama Biru agar bisa berada di dekatnya. Hmm... payah sekali.
"Aku baru aja dapat informasi dari rekanku, antivirus itu ada di lab blok B paling timur, ruangan dekat pintu keluar lab," ujar Sarah. Dia baru saja menerima panggilan dari seseorang.
Seperti rencana, Arisa, Biru, dan Sarah memang akan pergi ke gedung lab blok B tempat antivirus yang mereka cari berada. Blok A dan blok B sendiri dihubungkan oleh lorong berdinding dengan banyak jendela kaca.
"Udah tanya Arival apa di sana aman?" Biru bertanya, masih berjalan cepat. Arisa yang berada di belakang dengan wajah bersungut-sungut berusaha menyeimbangi langkah Biru dan Sarah.
Sarah mengangguk, "Kata Arival di sana aman. Nggak ada penjagaan ketat."
Ucapan Sarah barusan membuat Arisa teringat sesuatu. Ia mendongak ke atas, menatap CCTV yang menempel di pojok-pojok lorong setiap beberapa meter. Sarah bilang Arival telah menguasai pusat pemantau CCTV lab beberapa menit yang lalu. Jadi dia bisa tahu aman atau tidaknya banyak tempat di gedung laboratorium.
"Arival sibuk retas sistem keamanan sebelum waktu habis. Dia nggak bisa bantu kita lihat aman atau nggaknya jalur kita ke sana," ujar Sarah lagi.
"Nggak masalah, yang penting kita hati-hati." Biru menjawab singkat.
Biru dan Sarah tiba-tiba berhenti di depan sebuah pintu kaca. Sarah mendorong pintu kaca berdaun dua tersebut, membukanya. Masih mengikuti di belakang, Arisa memasuki sebuah lorong berjendela kaca besar. Dari dalam, Arisa bisa melihat keadaan luar gedung lab yang disinari matahari. Menurut perkiraan Arisa, waktu menunjukkan pukul 3 sore sekarang. Ada banyak pasukan keamanan yang berkeliaran di luar sana.
Arisa terlonjak kaget saat seseorang dari belakang tiba-tiba merangkul pundaknya dan menariknya agar menunduk. Dari wangi tubuhnya, Arisa tahu seseorang itu adalah Biru. Wanginya tetap sama meskipun ada di dunia yang berbeda, dunia pikiran dan dunia nyata. Bagaimana bisa mereka memanipulasi ingatan sampai sedetail itu? Wangi tubuh? Itu gila.
"Jalannya nunduk, Arisa. Nanti keliatan dari luar," ujarnya.
Arisa mengangguk mengerti, langsung melangkah menunduk ke pintu di seberangnya yang berjarak kurang lebih sepuluh meter. Sarah yang berada paling depan membuka pintu masuk blok B, menengok ke kanan kiri, melihat keadaan.
"Aman," beri tahunya, lalu mengambil jalur kanan.
"Kamu tahu jalan ke sana kan?" Arisa akhirnya bersuara.
"Gedung ini tempatku kerja sehari-hari, Arisa. Pasti aku tahu," jawabnya. Arisa mengangguk-angguk, ber-oh ria dalam hati.
Seperti Arival, Sarah juga mengambil jalan yang jarang dilewati pekerja lab. Jadi jarang ada ruangan yang tampak. Hanya dinding putih di sepanjang perjalanan.
Langkah Biru tiba-tiba terhenti, membuat Sarah dan Arisa di belakangnya juga ikut berhenti. Dahi Arisa berkerut bingung, bertanya kenapa dalam hati.
"Sembunyi di sana." Biru menunjuk pertigaan lorong di depannya, bergerak melangkah ke sana. Tentu saja Sarah dan Arisa dengan gerakan cepat langsung mengikuti. Tepat saat itu juga, sebuah panggilan masuk ke alat kom Sarah. Ia menekan logam bulat di telinganya, mendengarkan seseorang berbicara di seberang sana.
"Oke. Thanks, Lang," ucapnya, kemudian mematikan sambungan.
"Elang baru aja kasih tahu. Ada 7 pasukan di belokan depan sana. Tiga di depan bawa pistol, sisanya nggak, tangan kosong." Sarah memaparkan apa yang Merapi beritahukan padanya.
Biru mengangguk mengerti, "Oke, aku yang maju. Bawa pistol atau nggaknya, mereka pasti nggak akan bunuh kita berdua. Yang terpenting sekarang keselamatan Arisa," ujarnya.
Arisa menahan senyumnya agar tidak terkembang. Bagaimana bisa ia merasa senang hanya karena ucapan Biru barusan? Dasar...
"Perlu bantuan, Blue?" tanya Sarah.
Biru menggeleng, "Nggak perlu, Rah. Aku bisa sendiri."
Sarah mengangguk mengerti.
Langkah beberapa pasukan mulai terdengar mendekat. Biru telah bersiap-siap, mengambil ancang-ancang. Tangan kanannya menggenggam pistol entah jenis apa.
"Hati-hati, Blue," ujar Arisa, agak khawatir. Bagaimana ia tidak khawatir? Tujuh lawan satu? Yang benar saja?
Biru tersenyum tipis, mengangguk. Arisa jadi memikirkan sesuatu melihatnya. Akhir-akhir ini Biru jarang tersenyum lebar. Lebih tepatnya semenjak ia keluar dari permainan pikiran. Entah karena keadaan sekarang yang sedang menyebalkan atau sebenarnya ia memang jarang tersenyum? Arisa jadi berpikir, jangan-jangan Biru yang tersenyum di permainan pikiran itu hanya akting. Biru yang sebenarnya adalah orang yang dingin dan jarang tersenyum. Aahh, itu tidak mungkin. Arisa bergidik ngeri membayangkan Biru yang berbeda.
Merasa langkah beberapa pasukan tambah mendekat, Biru segera melangkah keluar. Hal yang Arisa dengar setelah itu adalah suara tiga tembakan. Entah itu dari Biru atau pasukan di depannya. Ingin tahu, Arisa akhirnya melongokkan kepalanya sedikit, mengintip.
Arisa menelan saliva. Biru terlibat baku hantam dengan dengan pasukan benteng di depannya. Ia memberikan tinjuan dan tendangan meskipun sedikit kelimpungan karena lawan yang banyak. Yang ia lihat terakhir, Biru tampak unggul dalam pertarungan tersebut. Setelah itu Arisa cepat-cepat menarik kepalanya kembali, takut terlihat dan ketahuan. Hal itu mengingatkan Arisa saat Biru membunuh berpuluh-puluh infected dengan pisau di permainan pikiran. Meskipun itu tidak nyata, Biru sekarang sama kerennya dengan Biru di permainan pikiran saat itu.
"Biru itu keren, ya?" Arisa bertanya retoris pada Sarah di sebelahnya.
"Kalau Biru nggak keren, dia nggak akan masuk tim pasukan khusus benteng, Arisa," katanya.
Arisa nyengir. Perkataan Sarah benar juga.
"Kata banyak orang kamu juga keren," ujar Arisa lagi.
Sarah tertawa, "Mereka bilang gitu karena aku perempuan. Aku nggak ada apa-apanya kalau disandingkan sama Elang, Arival, apalagi Blue."
Arisa ingin menampik perkataan Sarah, tapi ia memilih diam. Ia tahu seseorang memang suka merendah jika dipuji. Sarah memang sungguhan keren kok. Arisa sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Emm tidak juga sih. Arisa tidak bisa melihat aksi Sarah malam itu karena gelap.
"Ayo."
Arisa menoleh. Biru sudah berdiri di sampingnya. Ia melongokkan kepala, melihat pasukan yang tadi terlibat baku hantam dengan Biru sudah terjatuh di lantai. Pingsan.
Daebak.
Arisa meminjam kosakata V. Biru memang sungguhan keren ternyata.
"Kita harus temuin antivirus itu sebelum mereka sadar," ujarnya.
Arisa menatap Biru dari atas ke bawah. Tidak ada luka yang terlihat.
"Kamu nggak papa kan, Blue?" tanya Arisa retoris.
Biru tersenyum jenaka, "Kamu bisa lihat sendiri, aku masih sama kayak sebelumnya. Nggak ada yang berkurang kan?" Biru malah balik bertanya.
Arisa hanya tersenyum, segera bangkit berdiri. Sarah di sampingnya juga ikut bangkit.
"Bentar lagi sampai. Ayo ikutin aku," kata Sarah, segera melangkah memimpin jalan.
"Mereka dibiarin gitu aja? Kalau ada yang lihat gimana?" Arisa bertanya, melompati tubuh pasukan yang tergeletak di lantai.
"Nggak akan, Arisa. Aku udah bilang ke Arival buat tutup semua jalur ke tempat ini," papar Biru, tetap berjalan cepat mengikuti langkah Sarah.
Sarah yang berjalan paling depan mengerutkan dahi, bertanya, "Arival udah bisa masuk ke sistem keamanannya?"
Biru mengangguk, "Lab blok A sama blok B udah. Tapi kalau blok C tempat para penyumbang kekebalan on the way kata dia."
Sarah mengangguk mengerti, mempercepat langkahnya. Arisa sendiri terdiam mendengar ucapan Biru. Dia dikelilingi manusia keren rupanya. Arival alias kakaknya itu juga sama kerennya seperti Biru dan Sarah. Peretas tingkat tinggi.
"Sembunyi!"
Arisa tersentak kaget. Sarah tiba-tiba menarik tangannya untuk berbelok ke lorong di sebelah kanannya. Biru yang tadi berjalan paling belakang juga mengikuti.
"Itu ruangannya," ujar Sarah sembari menunjuk sebuah pintu logam yang terbelah jadi dua, terbuka. Ada seorang pria yang keluar dari sana. Pekerja lab dengan jas putih panjang seperti biasa. Ilmuwan.
Arisa menghela napas lega. Pria itu melangkah ke arah berlawanan dari tempatnya berpijak. Ia dan yang lainnya kembali berjalan menuju pintu itu ketika pria tadi mulai menghilang di kelokan lorong.
"Passwordnya pasti udah diganti. ID card kita juga udah di-blacklist. Kalau nggak ditolak, kita bakal hidupin sirene tanda ada penyusup kalau ID card kita digesek ke panel," terang Biru. "Kita butuh bantuan Arival sekarang," lanjutnya. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, berniat menghubungi Arival, tetapi Sarah tiba-tiba menyela.
"Nggak perlu. Itu butuh waktu lama. Kayaknya aku tahu apa password-nya," ujar Sarah, mendekat ke panel.
"Kemungkinan password itu udah diubah jadi tanggal lahir Resa. Tapi itu mainstrem. Yang antimainstream dan jarang ditebak, password-nya masih sama seperti sebelumnya, cuma dibalik jadi tahun lahir dulu," terang Sarah sembari menekan beberapa digit nomer di panel sebelah pintu logam.
Arisa mengerutkan dahi. "Resa itu siapa?"
"Dia anaknya Paman Arktik, sepupuku." Biru yang menjawab.
Arisa ber-oh ria, menganggukan-anggukan kepala. Dia jadi teringat Arktik yang bercerita tentang kedua anaknya yang tidak memiliki kekebalan dan terjangkit, kendati akhirnya sembuh karena penemuan ibunya.
"3I Maret 2040? Itu tanggal lahir siapa?" Arisa bertanya, membaca digit nomer yang nampak di panel. Hanya saja terbalik menjadi 20400331.
Sarah terdiam sejenak, lalu tersenyum getir, "Seseorang. Kamu bakal tahu nanti," jawabnya.
"Oh! Anak pertama Arktik, ya? Perempuan kan?" tanya Arisa.
Jika Resa itu laki-laki, maka dia pasti anak kedua Arktik-seperti yang pria itu ceritakan pada Arisa kala itu. Jadi kemungkinan besar password yang ditekan Sarah tadi merupakan tanggal lahir anak pertamanya. Dan Arisa jadi ingin tahu siapa dia.
"Kamu tahu dari mana?" Biru bertanya.
"Arktik," jawab Arisa. "dia cerita panjang lebar tadi."
Biru terdiam mendengar jawabannya. Sebenarnya Arisa ingin bertanya juga siapa anak pertama Arktik. Tetapi ia urungkan ketika panel di sebelah pintu menunjukkan warna hijau setelah Sarah memasukkan sandinya. Sepersekian detik kemudian, pintu di depan Arisa membelah terbuka. Password tadi benar!
"Ada beberapa rekanku disini. Aku urus bentar. Kalau udah aman, kalian bisa masuk," terang Sarah. Arisa menatap tidak paham. Kenapa tidak langsung masuk bertiga saja?
"Sendirian? Nggak perlu bantuan?" tanya Biru.
Sarah menggeleng, tersenyum "Nggak perlu, Blue. Aku bisa sendiri."
Biru mengangguk.
Wajah Arisa tiba-tiba tertekuk. Sarah menjawab sama persis seperti jawaban Biru. Saat Biru akan melawan pasukan tadi Sarah menawarkan bantuan. Sekarang Sarah yang akan melawan orang-orang di dalam sana Biru juga menawarkan bantuan. Mereka itu saling melindungi. Sedangkan Arisa? Dia sungguh tidak berguna dan menyusahkan saja.
"Aku masuk dulu." Sarah mengambil kacamata di saku jas, memakainya. Ia segera berjalan memasuki pintu di depannya.
"Ayo pergi dari sini." Biru tiba-tiba menarik tangan Arisa ketika pintu ruangan yang Sarah masuki sempurna menutup.
"Mau ke mana?" Arisa bertanya.
"Sembunyi. Kita nggak mungkin nunggu Sarah di depan pintu terus kan?" ujarnya. Arisa mengangguk mengerti.