"Lepasin!" Arisa berteriak pada dua pasukan penjaga yang menyeretnya masuk ke sebuah ruangan. Ia benar-benar merutuki kebodohannya yang bisa tertangkap secepat itu. Bayangkan! Baru lima menit Arisa berjalan keluar dari gedung lab, seorang pasukan penjaga langsung melihat, lalu menangkapnya. Payah sekali.
Melihat Biru ada di ruangan yang ia masuki sembari menodongkan pistol ke arah Arktik, Arisa langsung menatap malas. Berharap BIru tidak akan marah karena ia tidak hati-hati sehingga tertangkap. Padahal Arisa sudah sangat berhati-hati tadi, berjalan pelan-pelan sembari memandangi sekitar. Tapi tetap saja, pasukan penjaga yang menangkapnya seolah sudah tahu lokasinya sejak sebelum ia keluar.
"Pistolku pistol asli, Blue. Bukan electric gun." Arktik tiba-tiba menempelkan moncong pistolnya pada kepala Arisa. "Aku tidak menjamin keselamatannya jika kamu dan teman-temanmu masih merusuh," ujarnya.
Arisa tahu dirinya pengacau sekali. Ia sungguh tidak berguna. Mengapa dirinya harus tertangkap?
Biru bergeming, masih mengangkat pistolnya ke arah Arktik. Satu detik... Dua detik... Biru akhirnya memilih menurunkan senjatanya, membuang napas sebal. Arktik benar-benar licik.
"Sekarang apa yang Paman mau?" Biru bertanya.
Arisa harap sebenarnya Biru sedang mengulur waktu. Ia yakin Arival di sana masih meng-update informasi pada Biru lewat alat kom, memberi tahu hal yang perlu dilakukan. Semoga saja seperti itu.
"Apa mauku, Blue? Kalian berhenti mengganggu, itu saja. Aku sudah muak."
Arisa mengepalkan tangan. Jawaban Arktik benar-benar menyulut emosinya. Ia dan teman-temannya yang seharusnya muak! Bukan pria setengah abad itu!
"Itu berarti ngebiarin nyawa puluhan orang melayang." Biru berkata.
"Oke, begini saja." Pria yang berada di sebelah Arisa menurunkan pistolnya. "Arisa dan Elang akan kubebaskan jika kalian berhenti merusuh. Terkecuali Susan. Kalian tahu kan dia sudah mati." Arktik berbicara dengan mudahnya.
Arisa tidak bisa menahan diri. "Dipikir nyawa yang lain nggak penting?! Mereka juga teman-teman kita. Gila!" serunya. Seseorang seperti Arktik itu di luar nalar sekali. Arisa tidak mengerti mengapa bisa adalah manusia sejahat itu di dunia ini. Ia benar-benar ingin mengumpat ketika teringat jawaban pria itu 'dunia-jahat-yang-membuat-orang-jahat'. Itu alasan yang tidak bisa dibenarkan, meskipun keseluruhannya terasa benar.
"Paman punya keluarga, tapi apa gunanya kalau akhirnya mereka semua benci Paman? Terlebih anak-anak Paman. Bisa jadi kebencian mereka tumbuh subur lebih dari siapapun." Biru menerangkan, berharap pamannya itu juga memikirkan perasaan anak-anaknya. Betapa kecewanya mereka. Biru maupun V yang notabenenya adalah keponakan Arktik saja sudah sangat kecewa, apalagi kedua anaknya?
Arktik menyeringai. "Mereka hanya tidak mengerti tentang apa yang kulakukan, tidak mengerti tujuannya. Pilihan terbaik bukannya memang sering mengorbankan banyak jiwa?"
Arisa yang mendengarnya menghela napas lelah. Arktik itu sungguh gila. Tingkat keegoisannya benar-benar tak terbayangkan. Arisa tahu betapa sedihnya kehilangan seorang istri, tetapi perbuatan Arktik itu sungguh keterlaluan dan salah tempat. Pria itu merasa seolah dunia telah mencuranginya, tetapi pembalasan dendamnya bukan pada dunia, melainkan pada para penghuninya. Benar-benar biadab dan tak berperikemanusiaan.
Dalam ingatan ibunya, setelah menonton banyak film pasca apokalips dan dunia distopia yang tak berkesudahan, Arisa pikir semua hal mengerikan itu seharusnya menguatkan dan meneguhkan manusia yang masih hidup dan terus berjuang. Tapi kenyataannya, tidak sedikit juga yang menghancurkan.
Mereka mungkin kuat secara fisik, terlatih menghadapi tantangan apa pun. Tapi di sisi lain, semua itu menghancurkan rasa kemanusiaan mereka. Orang-orang seperti Arktik sudah tidak lagi memiliki hati nurani, apalagi kepedulian terhadap sesama manusia. Semua itu sudah menghilang, bahkan sampai tidak ada bekasnya.
Ingatan Arisa tidak hidup di zaman ini. Ia tidak merasakan keseluruhan dari kengerian dan kepahitan yang telah manusia pada zaman sekarang rasakan. Menghakimi Arktik begitu saja tidaklah benar. Apa lagi se-sentimentil itu. Dunianya dan Arktik memang berbeda. Arisa tidak akan tidak akan pernah bisa menyamakan pemimpin yang berhadapan dengan cobaan uang melimpah dengan pemimpin yang berhadapan dengan kemungkinan mati dan kehilangan. Itu sungguh berbeda.
"Apa yang bisa buat Paman berhenti ngelakuin rencana ini." Biru lagi-lagi bertanya. "Apa pun, aku bakal kasih," tawarnya.
Arisa menelan ludah. Ia tidak tahu Biru sungguhan bernegosiasi atau hanya memperpanjang waktu. Arisa sungguh berharap opsi kedualah yang terjadi. Ia berharap kakaknya di pusat pengawasan CCTV sana sedang menyusun sesuatu.
Arktik menggeleng, menolak mentah-mentah tawaran Biru. "Apa pun yang aku minta, itu tidak akan sepadan dengan rencanaku, Blue. Kekebalan itu tak bisa ditukar dengan apa pun."
Lagi. Arisa menutup mata lelah. Betapa sulitnya...
Suara pintu terbuka di tiba-tiba terdengar. Arisa membuka mata, terkejut ketika melihat Sarah berdiri tenang di depan pintu masuk sebelah barat-ada tiga pintu di ruangan itu. Arisa sendiri masuk dari pintu sebelah timur, sedangkan Biru sepertinya dari selatan.
"Berhenti, Pa. Tolong," ujar wanita berjas putih itu, membuat Arisa melotot kaget.
Sarah memanggil Arktik apa? Pa? Papa? Apa telinganya salah dengar? Astaga... Sarah anak pertama Arktik?
Arisa seolah belum bisa mempercayainya... Ini kebenaran yang sungguh mengejutkan. Mengapa Arisa sama sekali tidak berpikir sampai sana? Mengapa ia tidak menyadari hal itu?
Arisa bertanya pada Biru lewat tatapan. Dan hanya senyum getir yang ia dapatkan. Itu memang kenyataannya.
Jadi, Sarah adalah sepupu Biru dan V? Mereka saudara satu nenek dan kakek?
Rasanya masih sulit dipercaya... Arisa memang merasa Sarah seperti menyembunyikan sesuatu sejak awal, tapi ia tidak tahu kebenaran seperti ini yang wanita itu sembunyikan. Sarah itu terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak memiliki hubungan apa pun dengan Arktik. Bahkan Sarah yang nampak menenangkan Biru saat bercerita tentang Arktik di markas kala itu. Tetapi kali ini Arisa tahu, wanita itu orang yang merasakan rasa sedih dan kecewa yang paling dalam di sini. Lebih dari kekecewaan Biru maupun V, meskipun ia tidak-atau belum memperlihatkannya sama sekali.
"Berhenti ngelakuin pemanenan, Pa. Atau aku bakal terpaksa pakai antivirus ini." Sarah mengeluarkan tabung kaca berdiameter dua cm dengan tinggi sepuluh cm berisi cairan berwarna hijau dari saku jas putihnya, membuat orang-orang di ruangan terlonjak kaget.
"Itu lebih baik, meskipun nantinya sama aja Mama nggak bakal selamat," ujarnya.
Arisa terdiam, mengingat sesuatu. Ia menoleh ke arah Biru, menatap pemuda yang berdiri cukup jauh di depannya. Arisa teringat hal itu juga sama saja membunuh Mama Papa Biru yang baru saja ditemukan-status mereka masih infected.
Bagaimana bisa berjalan seperti ini? Beberapa waktu terakhir Biru tentu saja sangat mengharapkan kesembuhan kedua orang tuanya, berharap mimpinya untuk kembali bertemu mereka dapat terealisasikan. Tetapi sekarang, pemuda itu harus mengubur segala mimpinya. Dan Arisa bisa merasakan betapa menyesakkan posisi Biru sekarang.
Arktik menyeringai, tertawa meremehkan. "Pecahkan saja antivirus itu. Tidak ada pengaruhnya. Itu bukan antivirus yang asli, Sarah. Seharusnya kamu tahu watak Papamu yang tidak pernah percaya dengan seorang pun. Tentu saja aku yang menyimpannya. Dan hanya aku yang tahu tempatnya."
Arisa mencelos, begitu juga Sarah yang berubah ekspresi di seberang sana. Itu satu-satunya hal yang bisa mengancam Arktik, membuatnya berhenti melakukan pemanenan. Tetapi sekarang? Arisa benar-benar kehilangan harapan.
Suara sebuah revolver diputar terdengar. Seorang pasukan penjaga-yang baru Arisa ketahui merupakan Jenderal Joko saat di dunia kosong, bergerak menodongkan senjatanya ke kepala Sarah. Pria itu mengancam, "Percepat pemanenannya. Aku lelah menunggu, Bung. Satu jatah serum kekebalan untukku. Sekarang atau anakmu tidak akan selamat."
Benar-benar berbeda. Itu bukan Jenderal Joko yang Arisa kenal saat di basecamp. Itu sifat aslinya. Semua yang pernah Arisa lihat tentang Jenderal Joko di permainan pikiran hanyalah akting. Pria itu pasukan Arktik. Dan sekarang membelot darinya, tidak memihak siapapun. Joko-Arisa tidak sudi lagi memakai embel-embel Jenderal-adalah salah satu manusia lain hasil dunia yang bertambah biadab. Keegoisannya tidak berbeda dengan Arktik.
"Perintah mereka sekarang, atau anakmu-"
"Mau bunuh Sarah?" Arival tiba-tiba datang dari pintu tempat Sarah masuk yang disetel agar tidak tertutup, menempelkan pistolnya ke kepala Joko dari belakang.
Merasakan todongan Arival, Joko langsung terdiam tak bersuara.
Kakak Arisa itu menyeringai, "Nggak semudah itu. Lewati dulu mayat suaminya."
Arisa yang kedua tangannya masih dipegang erat oleh pasukan penjaga melebarkan mata, menatap Arival dan Sarah bergantian. Mereka?! Astaga... Arisa tidak salah dengar saat itu. Sarah memang memiliki suami. Dan suaminya adalah kakak Arisa sendiri. Mengapa Arival tidak cerita?
Pantas saja Arival tidak dipilih meskipun kakaknya itu kebal. Selain anak emas, peretas ulung, Arival itu juga menantu Arktik. Tentu saja pria itu tidak akan mengorbankan suami anaknya.
Gila. Pasti lebih banyak kenyataan yang Arisa tidak tahu.
"Sekarang Paman yang harus pilih. Sarah atau ambisi gila Paman?" Biru bertanya, menyadari ketegangan antara Arktik, Sarah, Joko dan Arival di seberang sana. Keadaan seolah berbalik. Tadi Biru yang diberi pilihan sulit, tetapi kali ini Arktik yang hanya merasakannya. Setimpal!
Arktik masih bergeming. Beberapa detik kemudian, pintu logam di belakang Biru berdesing terbuka. Arisa mengernyitkan dahi. Seorang pemuda ber-hoodie abu-abu masuk. Usianya sekitar 14, masih terlihat belia. Arisa tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya.
"Resa?" Sarah di seberang sana tampak terkejut. Mendengarnya Arisa jadi teringat sesuatu. Apa pemuda itu adik Sarah? Anak kedua Arktik?
Menyadari atensi yang teralih, Arival langsung memberi pukulan ke tengkuk Joko di depannya, menjatuhkannya sekali gerakan. Kakak Arisa itu mengambil senjata Joko, membekuk pria itu di tempat. Satu masalah terselesaikan.
Arisa sempat mendengar Arival bertanya keadaan Sarah, yang dijawab anggukan baik-baik saja oleh istrinya.
"Maaf, Pa. Tapi di mana pun Mama berada, meskipun aku nggak pernah lihat. Aku tahu Mama bakal bilang tindakanku benar. Kak Sarah juga bakal setuju." Pemuda ber-hoodie yang Arisa diketahui bernama Resa Samudra itu berbicara, membuat bingung seluruh ruangan, termasuk Arktik dan Sarah yang langsung menatap tidak paham ke arahnya.
"Aku tahu di mana antivirusnya."
"APA!" Arktik langsung berseru, terkejut mendengar perkataan anaknya. " Berikan itu ke Papa, Resa. Kamu mau seperti Sarah yang melawan?"
Lihat, apa yang Arktik harapkan? Kedua anaknya bahkan melawan dirinya. Lalu apa gunanya serum kekebalan yang melimpah jika hal berharganya menghilang? Arktik benar-benar berada dalam kesalahan besar. Sangat besar.
Ares tersenyum getir. "Terlambat. Paman Rey mungkin udah mecahin tabung kaca itu di luar. Beberapa saat lagi-"
Tubuh Joko yang tadi dibekuk Arival tiba-tiba mengejang beberapa detik. Empat pasukan lain, termasuk dua orang yang memegangi tangan Arisa juga mengejang sebentar, lalu terjatuh.
Arisa tidak tahu mereka kenapa, tapi Arival yang melihatnya langsung menarik baju yang menutupi lengan Joko ke atas, menampakkan urat nadi yang mulai menghitam dan bengkak.
"Mereka keinfeksi. Kabar baiknya antivirus itu manjur." Arival berkata.
"APA?!" Arktik kali ini yang paling gila mendengarnya.
Resa mengeluarkan electric gun dari saku hoodie-nya, langsung menembak Papanya dan dua pasukan penjaga yang tersisa.
Arktik tersetrum. Ia jatuh tak sadarkan diri.
Arisa menelan ludah, memandang tak percaya sekitarnya.
Semua sudah selesai?
"Arisa, kamu nggak pa-pa?" Biru bertanya, menghampirinya.
Arisa menatap Biru, mengangguk. Ia seharusnya senang sekarang, tapi mengingat kenyataan kedua orang tua Biru sudah tiada membuat hatinya ikut sesak. Terlebih ketika melihat pemuda itu tetap terlihat baik-baik saja, menyembunyikan rasa sedih untuk dirinya sendiri.
"Kak Blue ... maaf. Tapi itu yang terbaik." Resa berbicara. Sepertinya masih satu maksud dengan Arisa.
Biru tersenyum, merangkul sepupunya. "Orang tuaku udah pergi lama, Res. Dan nggak baik mengharapkan mereka yang udah pergi. Biarin mereka tenang. Itu juga kan yang kamu pikirin tentang Mamamu?"
Arisa terdiam. Perkataan Biru menyadarkannya. Ia tahu pemuda itu lebih kuat dari siapa pun.
"Semua baik-baik aja, kan? Nggak ada yang luka?" Arival datang bertanya, diikuti Sarah di belakangnya.
Arisa langsung menekuk wajah, menatap Arrival dan Sarah bergantian. "Kenapa nggak cerita? Bilangnya Sarah suka sama Blue lagi. Dasar suami sinting!" Arisa meninju bahu Arival di sebelahnya.
Kakaknya itu malah terkekeh. Tidak berubah. Tetap saja menyebalkan.
Sarah tersenyum, berucap, "Arival terlanjur suka ekspresi cemburumu, Sa, ekspresi kesalmu. Katanya lucu, bikin ketawa."
Arisa berdecak pelan, menahan malu. Terlebih Biru di sampingnya tambah mengulum senyum ketika mendengar ucapan Sarah, menatap dirinya dari samping.
ARIVAL MENYEBALKAN. TITIK, TIDAK PAKAI KOMA.