Biru membawa Arisa beberapa meter dari pintu tempat antivirus berada tadi. Kemudian berbelok ke celah selebar satu meter di dinding yang ternyata terdapat pintu ke sebuah ruangan di sana. Tempatnya yang agak gelap menjorok ke dalam membuat orang-orang di luar lumayan tidak bisa melihat ke dalam.
Arisa yang berdiri paling luar menyenderkan punggungnya ke dinding, menghela napas. Kepalanya sedikit pening. Banyak sesuatu yang ia pikirkan setelah keluar dari permainan pikiran. Ibunya, kebijakan tidak manusiawi Arktik, calon penyumbang yang berada dalam bahaya, termasuk perkataan Arival tentang Biru yang menyukai Sarah. Entah kenapa, Arisa tidak bisa menerima hal itu. Tapi atas dasar apa?
"Sarah itu... keren banget kan?" Arisa tersenyum tipis, memandang pintu tempat Sarah masuk yang terlihat dari tempatnya berpijak. Itu sebenarnya pertanyaan retoris, juga pancingan. Ia hanya ingin tahu perasaan apa yang Biru rasakan terhadap Sarah.
"Hmm... iya. Kamu tahu sendiri kan gimana Sarah."
Gagal. Tidak ada gelagat yang bisa Arisa baca dari Biru.
"Sarah itu keren. Pasti banyak yang suka dia." Arisa menelan ludah. Ucapannya jadi tambah tidak jelas saja.
"Emang kenapa?" Biru yang berdiri di sebelah Arisa dan juga menyender di dinding bertanya, menoleh menatapnya.
"Kamu suka Sarah kan?"
Kali ini Arisa tidak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan itu. Mata coklatnya yang gelap bersitatap dengan mata Biru. Hening menjalar sebentar, sebelum akhirnya Biru mengulum senyum, membuat jantung Arisa tambah berdegup kencang. Jangan-jangan Biru memang menyukai Sarah?
"Kamu cemburu?"
"HA?" Arisa melebarkan mata, bersuara agak keras. Setengah kaget, setengah tidak mengerti. Ucapan Biru sama sekali bukan jawaban.
"Cemburu? Nggak! Kenapa harus cemburu?" Arisa berkelit. Ia menoleh cepat ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Biru. Ia merasa jantungnya bekerja lebih cepat dari sebelumnya.
"Karena kamu suka aku." Biru berucap santai.
Arisa membeku di tempat, tertegun lama. Ucapan Biru berdengung di kepalanya.
Kamu suka aku.
Suka aku.
SUKA.
Arisa ingin membantah ucapan Biru barusan. Tapi setengah hatinya yang lain membenarkan. Bagaimana Biru bisa mengatakan jika Arisa menyukainya? Biru bukan makhluk seperti Merapi yang tingkat percaya dirinya mencapai ambang batas. Pasti ada seseorang yang mengatakan hal itu padanya.
"Siapa yang bilang?" Arisa melirik Biru sebentar, lalu membuang pandangan ke arah lain. Tidak baik bagi kesehatan jantungnya jika ia berkontak mata dengan Biru sekarang. Arisa sebenarnya sangat ingin tahu. Tapi agar tidak terdengar terlalu excited, ia akhirnya sok bertanya dengan malas.
"Nggak ada yang bilang. Aku tahu dari setiap perubahan ekspresi, gerak-gerik, sama tingkah lakumu. Semua orang bisa simpulin hal itu dari kamu, Arisa," ujarnya. Arisa tertegun mendengarnya. Dia jadi merasa diperhatikan. Parahnya, ia sama tidak menyadari jika segala tingkahnya menunjukkan jika ia menyukai Biru. Yang benar saja? Apa seterlihat itu?
"Termasuk Arival yang akhirnya ngerjain kamu," lanjutnya.
Arisa menoleh, menatap tidak paham. Arival mengerjainya? Mengerjai bagaimana?
"Arival ngerjain aku? Maksudnya?"
Mata Arisa kembali bersitatap dengan mata Biru untuk kesekian kalinya. Biru tersenyum manis, berujar, "Jangan khawatir. Aku nggak bakal nikah sama Sarah kayak yang Arival bilang."
"HA?"
Arisa melongo. Ia terdiam beberapa saat, mencerna kalimat Biru. "Kenapa kamu bisa tahu?"
Biru tersenyum. "Jadi di badan Thor punya alat semacam perekam yang nyalurin suara di sekitarnya ke alat kom di telingaku. Dan kemarin aku nggak sengaja dengerin obrolan kalian. Nggak salah kan? Tiba-tiba aja obrolan kalian masuk ke gendang telinga."
What? Astaga...
Baru tadi pagi Arival mengatakan hal itu. Dan Thor ada di sana sewaktu ia dan Arival mengobrol tentang Biru yang menyukai Sarah dan akan menikahinya. Segala hal yang didengar Thor, pastinya juga akan didengar oleh Biru. Alat perekam itu yang menyalurkan ke telinga Biru. Pantas saja!
"Arival cuma ngada-ngada. Dia bohong bilang aku suka sama Sarah. Niatnya cuma pengen buat kamu cemburu."
Arisa melebarkan mata, menatap tak percaya. Butuh beberapa detik baginya untuk memahami perkataan Biru barusan. Jadi selama ini ia mempercayai sesuatu yang tidak benar dan tidak ada dasarnya? Menyebalkan.
Arival... Kakaknya itu benar-benar...
"Udah nggak cemburu lagi kan?" goda Biru, tersenyum melihat Arisa yang mulai salah tingkah.
"Siapa yang cemburu?" Arisa masih tidak mau mengaku.
"Cuman kita berdua disini. Mumpung ada aku. Nggak mau jujur aja?" Biru melirik Arisa di sebelahnya.
Arisa tetap diam. Sebenarnya ia bingung harus menjawab apa. Padahal dia hanya perlu menjawab dengan mengatakan 'ya' atau 'tidak'.
Biru menghela napas, membalikkan badan menatap gadis di depannya. Bahu sebelah kanannya ia sandarkan ke dinding. "Kalau gitu aku aja yang jujur."
"HA?" Arisa berseru kembali, mengerutkan dahi tidak mengerti. Ia melirik Biru sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Arisa menelan saliva. Dia perlu memeriksakan kesehatan jantungnya setelah ini.
"Bukan Sarah orang yang aku suka, tapi kamu."
Deg!
Arisa membeku di tempat. Untuk kesekian kalinya, ia menelan saliva susah payah. Apa ia salah dengar? Biru menyukai dirinya? Tidak mungkin. Arisa membuang pikiran itu jauh-jauh. Dia itu Arisa palsu. Pasti yang Biru sukai adalah Arisa asli. Jadi Arisa, jangan ke-GR-an dulu, oke? ia bermonolog dalam hati.
Seperti tahu pikiran gadis di depannya, tiba-tiba Biru berujar, "Mau kamu di ingatan aslimu atau di ingatan Bibi Arin, kamu tetep Arisa yang kukenal. Cantik, manis, dan bikin ketawa karena muka saltingnya yang lucu. Arisa yang udah buat aku jatuh cinta."
Arisa menoleh ke Biru, menatap pemuda di depannya dengan tatapan yang sulit dibaca. Sial. Bukannya tersipu, ia malah mengumpat dalam hati. Astaga... Seseorang di sebelah Arisa sungguhan Biru kan? Dia sedang ada di dunia nyata kan?
"Kalau ingatanmu nggak akan hilang dan diganti nanti, pasti aku udah ngelakuin sesuatu yang bisa jadi kenangan indah di ingatanmu sejak kemarin," ujar Biru.
Arisa menatap tidak mengerti. "Ke-nangan in-dah? Ma-maksudnya?" Ucapannya jadi terbata-bata saking gugupnya.
Biru menyeringai, "Kamu beneran pengen tahu?" ia melangkah mendekat ke Arisa.
Arisa terdiam, melototkan mata. Biru sudah berdiri di hadapannya dengan tangan kanan tertumpu pada dinding di sebelahnya. Biru mencodongkan wajah, membuat Arisa mundur meski sudah terpojok ke dinding di belakangnya. Ia menelan saliva, menatap Biru yang masih tetap menunjukkan ekspresi yang... Kyaa! Rasanya Arisa ingin berteriak sekarang. Jantungnya sekarat. Tatapan Biru membuatnya ngeri. Posisinya sungguh terhimpit.
Lima senti.
Empat senti.
Tiga senti.
Astaga... Apa yang akan Biru lakukan?
Arisa hampir menutup mata sebelum akhirnya Biru tiba-tiba terkekeh, mundur ke belakang perlahan. Arisa menatap bingung, tapi juga bernapas lega
"Ekspresimu lucu banget. Kelihatan takut, tapi pengen."
"HA?" Arisa memasang wajah wajah tidak mengerti.
Biru tambah terkekeh melihat ekspresi gadis di depannya. "Tadi itu bercanda. Arival bisa hajar aku kalau tadi beneran kejadian. Aku cuma mau lihat ekspresimu kalau aku deketin buat cium. Nggak nolak kan? Itu tandanya kamu suka aku," ujar Biru, membuat Arisa terdiam memikirkannya.
Dia menyukai Biru?
"Btw, kamu tambah cantik kalau takut kayak gitu, Arisa. Mungkin aku harus sering ngelakuin hal itu biar bisa liat kamu yang tambah cantik."
Astaga! Arisa bisa mati muda jika Biru terus-terusan berkata seperti itu.
Tiba-tiba alat kom Biru bergetar. Ada panggilan masuk. Tanpa melihat, Biru segera menyimpulkan siapa yang memanggilnya.
"Sarah udah selesai. Ayo masuk. Kita bisa ke sana sekarang." Biru tersenyum, melangkah ke pintu tempat Sarah masuk yang cukup dekat dari tempatnya berpijak.
Arisa menghela napas panjang, tersenyum tipis, memegang dadanya yang masih berdetak kencang. Astaga... Jantung Arisa nyaris tidak tertolong tadi. Aksi Biru benar-benar mendebarkan.