Chereads / An Empty World (END) / Chapter 48 - 48-Stop It, Uncle!

Chapter 48 - 48-Stop It, Uncle!

Arival mengamati layar besar berukuran 4x2 meter di depannya, menelisik satu persatu setiap video rekaman CCTV di sana. Selain meretas sistem pengawasan CCTV gedung laboratorium, ia juga berhasil sistem pengawasan CCTV di kantor pusat yang gedungnya tidak jauh dari gedung tempatnya berada. Tujuannya satu: mencari tahu gerak-gerik Arktik di sana.

Mendapati sosok yang ia cari-cari tampak di salah satu video di depannya, Arival segera memindahnya ke layar utama yang lebih besar. Awalnya Arktik terekam di CCTV sebuah lorong, lalu berpindah memasuki ruang pertemuan yang Arival tahu berada di pusat gedung lantai bawah. Ada beberapa pasukan keamanan yang membawa senjata di sekelilingnya. Arktik duduk di sana, membuka laptop di depannya, tidak terdeteksi akan melakukan apa.

Arival terdiam, berpikir keras, menimang-nimang sesuatu.

"Apa dia udah sadar sistem keamanan benteng kita bajak?" Merapi bertanya di sebelah Arival, ikut menatap layar di depannya.

"Kemungkinan besarnya belum. Tapi jangan remehin Arktik. Dia itu licik," ujar Arival. Otaknya masih memikirkan rencana-rencana yang tepat untuk dilakukan.

Merapi tertegun sejenak. "Kapan blok C diretas?"

"Nggak sekarang, beberapa jam lagi. Rencananya itu gedung terakhir yang bakal kuretas sistem keamanannya," jawab Arival. Laboratorium blok C itu tempat para penyumbang kekebalan akan dipanen. Setelah dengan waktu pemanenan, lab blok C baru akan ia ambil alih. Dan itu masih nanti, tahap terakhir setelah tahap-tahap yang lain dilakukan.

"Gimana kalau Arktik kita singkirin lebih dulu?" Merapi memberi saran.

Arival mengangguk. Itu hal yang sedang ia pertimbangkan sejak tadi. Mendengar Merapi juga memiliki ide yang sama, Arival langsung bergerak menghubungi seseorang. Masalah menyingkirkan Arktik itu bukan urusannya. Ada dua orang yang lebih berhak untuk menyelesaikan masalah itu. Dan ia sudah memilih satu orang untuk ia hubungi.

Beberapa detik kemudian, telepon diangkat. Suara seseorang di seberang sana terdengar. Arival berdeham, berkata pada seseorang di telepon. "Arktik ada di ruang pertemuan, gedung pusat. Dijaga sama 7 pasukan keamanan di dalem, tapi luarnya nihil." Arival menerangkan keadaan tempat Arktik berada, kembali berkata, "Aku bakal arahin kesana. Terserah mau kamu apain, Blue. Aku ngikut."

Arival tersenyum miring. Tanpa diberitahu, ia sudah tahu apa yang akan Biru lakukan nantinya. Yang pasti bukan membunuh Arktik, itu tidak mungkin. Biru itu bukan manusia yang mudah melegalkan kosakata itu. Kendati seseorang itu sudah sangat pantas untuk dibunuh, Arival yakin Biru memilih cara lain yang lebih manusiawi: memaafkannya. Terlebih itu pamannya sendiri.

Tapi lihat saja nanti. Takdir manusia siapa yang tahu?

***

Arisa melangkahkan kaki mengikuti langkah dua orang di depannya, menatap kagum tempat yang ia masuki beberapa menit yang lalu. Bisa dibilang ini adalah tempat favorit kedua para ilmuwan setelah ruang lab, di mana seluruh penemuan pekerja lab benteng disimpan di tempat ini. Kebanyakan penemuan itu berbentuk serum—yang tentu saja fungsinya macam-macam. Suhu disini juga dijaga, membuat Arisa langsung kedinginan saat memasuki pintunya.

"Apa ruangan tempat antivirus dikunci, Pak?" Sarah yang berjalan di depan Arisa bertanya pada pria tua di sebelahnya.

"Pastinya." Pria tua berjas putih itu berujar. Ia satu-satunya pihak kontra Arktik yang menjaga gudang penemuan. Sisanya yang lain sudah dilumpuhkan oleh Sarah. Mereka disekap dan dikumpulkan di ruangan lain oleh gadis itu.

Arisa yang sempat mengobrol dengan pria yang berumur setengah abad itu segera tahu jika ia teman ibunya dulu. Sama-sama berprofesi sebagai ilmuwan. Bahkan pria tua yang Sarah panggil pak itu mengutarakan ketidakpercayaannya tentang ibu Arisa yang masih hidup setelah dua setengah tahun lamanya dianggap mati.

Arisa yakin itu memang berita yang menggemparkan. Terlebih berita proyek pengambilan kekebalan Arktik yang merenggut banyak nyawa orang tak tak bersalah. Jika warga benteng tahu hal itu, mereka pasti akan memberontak tidak terima atau setidaknya berdemo. Arisa sendiri tidak tahu apa berita itu sudah sampai ke telinga warga atau belum.

"Anda tahu password-nya, kan?" Sarah bertanya lagi.

"Pastinya tahu, Nak. Kecuali kalau password-nya tiba-tiba diganti," jawab pria itu. "Setahuku sistem keamanan di ruangan itu berdiri sendiri, jadi kalau password-nya diganti, aku tidak yakin suamimu bisa membantu," lanjutnya.

Arisa mengernyitkan dahi. Dia tidak terlalu mendengar percakapan Sarah dengan pria di sebelahnya tadi. Tapi saat mendengar kata 'suamimu' di akhir kalimat pria itu, Arisa langsung menatap tidak mengerti. Dia tidak salah dengar kan? Suami Sarah? Sejak kapan Sarah bersuami?

Arisa ingin menanyakan hal itu sebelum akhirnya alat kom Biru tiba-tiba bergetar, membuat Arisa mengurungkan niatnya untuk bertanya. Mungkin kupingnya sedang bermasalah tadi. Sarah sudah menikah? Itu tidak mungkin kan? Jika begitu Arival tidak sopan sekali mengatakan bahwa Sarah menyukai Biru tadi, meskipun itu hanya untuk mengerjai Arisa. Atau jangan-jangan Sarah dan Biru memang sudah menikah?!

Astaga! Arisa lupa tadi Biru baru saja menyatakan cinta padanya. Bagaimana bisa ia pintar sekali berpikir hal semacam itu?

Arisa menoleh, menatap Biru yang mengangkat panggilan. Biru tampak berbicara sejenak dengan seseorang di seberang sana.

"Kayaknya aku harus pergi," ujar Biru setelah menyelesaikan panggilannya, berhenti melangkah.

Dua orang di depan Arisa ikut berhenti, menoleh ke belakang menatap Biru. Sarah mengernyitkan dahi, bertanya pada Biru lewat tatapan.

"Buat itu. Kamu pasti tahu kan?" Biru menjawab tatapan Sarah.

Sarah terdiam sejenak, lalu mengangguk paham beberapa detik kemudian. "Oke, pergi aja, Blue. Aku yang bakal urus antivirusnya."

Biru mengangguk, berujar, "Arisa, kamu ikut aku."

Arisa mengernyitkan dahi ketika Biru menyebut namanya.

"Aku ikut ke mana?" tanya Arisa memastikan. Pasalnya ia masih trauma setelah tadi pergi berdua bersama Biru. Oke, kalimat Arisa terlalu berlebihan. Dia tidak trauma, hanya berdebar saja jika harus pergi bersama Biru lagi.

"Kamu nggak aman di gedung ini lama-lama. Aku punya tempat buat kamu sembunyi sampai semua ini selesai." Biru menerangkan.

Arisa terdiam, lalu mengangguk mengiyakan. Biru yang paling tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Jadi lebih baik bagi Arisa mengikuti ucapannya.

"Kita pergi dulu." Biru berkata pada dua orang di depannya. Sarah dan pria di sebelahnya mengangguk. Biru langsung balik kanan, berjalan menuju pintu awal tempatnya masuk tadi. Arisa mengikuti langkahnya dari belakang.

Biru menoleh ke kanan kiri setelah keluar pintu, memastikan keadaan. Lorong sepi. Tidak ada tanda-tanda pasukan yang lewat.

"Tetep di belakangku, oke?" ujar Biru, menoleh menatap Arisa di belakangnya.

Arisa mengangguk, langsung mengikuti langkah Biru di depannya. Pemuda di depan Arisa itu berjalan penuh waspada. Tangannya membawa pistol, bersiap-siap atas segala kemungkinan yang terjadi nanti.

Sedang dalam keadaan tegang, otak Arisa malah memutar kejadian beberapa menit yang lalu. Ia tersenyum, mengingat Biru baru saja menyatakan cinta padanya. Apalagi ketika mengingat aksi Biru yang membuat jantungnya sekarat tadi. Mungkin jika Biru melihat Arisa sekarang, ia pasti langsung mengernyit dahi bingung karena Arisa senyum-senyum di keadaan yang sama sekali tidak lucu ini.

Arisa jadi merasa seperti remaja labil yang sedang berbunga-bunga karena cinta. Meskipun di ingatannya umurnya memang masih 17 tahun. Beda tiga tahun dengan Arisa asli yang sudah berumur dua puluh tahun.

Berjalan cukup jauh, Arisa bersyukur karena belum bertemu dengan pasukan keamanan sama sekali. Lorong yang ia lewati sepi, tidak seperti perjalanan saat awal pergi tadi yang bertemu banyak pasukan keamanan. Mungkin lorong yang sedang dilewati Arisa dan Biru memang jarang dilewati orang. Mengingat sepanjang perjalanan tadi Arisa tidak melihat ruangan penting yang didatangi banyak ilmuwan. Hanya satu gudang penemuan yang Arisa masuki tadi. Selainnya sepertinya tidak ada.

Biru akhirnya berhenti di depan pintu logam di ujung lorong. Ia membuka beberapa slot pengunci di sana, lalu menarik pintu itu sampai sedikit terbuka. Arisa langsung tahu itu pintu keluar dari gedung ketika melihat beberapa pohon tinggi nampak di sana. Keadaan di luar gelap. Arisa sama sekali tidak menyadari bahwa di luar sana sudah malam. Mungkin sekarang waktu menunjukkan pukul tujuh lebih.

Biru menutup kembali pintu logam di depannya, menarik tangan Arisa agar duduk di lantai.

"Dengerin aku, Arisa," ujar Biru, membuat Arisa langsung menatap serius ke arahnya. Arisa memasang kupingnya, mendengarkan baik-baik apa yang akan Biru ucapkan.

"Nggak jauh dari pintu keluar ini ada rumahku. Jaraknya kurang lebih lima puluh meter. Aku rasa kamu bakal aman kalau sembunyi di sana. Kamu mau dianter sama Thor atau aku? Kalau sama Thor, dia udah nunggu di balik hutan sana." Biru menjelaskan.

Arisa terdiam sejenak. "Emang kamu mau ke mana, Blue?"

"Ngurus Paman Arktik. Dia harus dicegah sebelum pemanenan orang-orang kebal di gedung lab blok C mulai dilakuin," terang Biru, menjawab pertanyaan Arisa.

"Kalau gitu aku bisa sama Thor." Arisa berujar. Urusan Biru lebih penting, menyangkut keselamatan nyawa banyak orang. Tentu saja lebih baik baginya untuk mengurusi Arktik terlebih dahulu. Pusat segala hal yang terjadi sekarang itu Arktik. Jika Arktik selesai, itu berarti segala permasalahan ikut selesai. Para ilmuwan pro Arktik juga pasti hanya mengikuti perintahnya.

"Serius?" Biru bertanya memastikan. Arisa mengangguk mengiyakan.

"Oke, jadi gini. Kamu keluar pintu terus lurus beberapa meter ngelewatin jalan deket hutan di sana. Aku udah bilang ke Thor. Dia bakal nampakin diri kalau liat kamu." Biru menjelaskan. Arisa akan bertanya bagaimana cara Biru mengatakan hal itu pada Thor, tetapi urung. Thor itu cyborg. Dengan teknologi itu adalah hal mudah.

Arisa mengangguk mengerti mendengar perkataan Biru, bangkit berdiri. Biru membukakan pintu. Arisa segera keluar, menatap keadaan luar yang gelap dan sepi.

"Tempat ini jarang dilewati. Tapi kamu tetep hati-hati, Arisa. Liat sekitar," ujar Biru untuk terakhir kalinya. Arisa mengangguk mengiyakan.

Tempat itu memang sepi. Tapi Arisa dan Biru sama-sama tidak menyadari seseorang mengawasi mereka di kelokan lorong tak jauh dari pintu keluar. Seseorang itu menyeringai senang, seolah berhasil menemukan sesuatu yang selama ini dicari-cari olehnya. Parahnya, ia juga luput dari pengawasan CCTV Arival yang sedang sibuk mengawasi Arktik.

***

Biru berderap pelan, melangkah keluar dari gedung lab blok B menuju kantor pusat benteng. Sebenarnya ada perasaan tidak enak saat meninggalkan Arisa sendirian tadi, seolah ada yang salah dengan pilihannya. Tapi semua itu terlupakan ketika ia harus menghadapi beberapa pasukan yang ia temui saat perjalanan. Tidak banyak, hanya empat. Ia langsung berusaha bergerak melumpuhkan pasukan tersebut sebelum mereka menyadari keberadaannya. Arival di pusat pengawasan CCTV masih terus meng-update posisi Arktik dan pasukan keamanan di sekitarnya sehingga Biru bisa mengetahui hal itu.

Sampai di depan pintu ruang pertemuan tempat Arktik berada, Biru membuang napas. Ia mendorong pintu, langsung mengarahkan pistolnya ke seseorang di tengah ruangan.

"Stop lakuin semuanya, Paman."

Sesuai ekspektasinya, pasukan keamanan di sekitar Arktik langsung menodongkan senjata mereka ke arahnya. Arktik yang duduk di kursi utama ruang pertemuan tersenyum lebar, tidak terkejut sama sekali melihat kehadiran keponakannya yang tiba-tiba.

"Turunkan senjata kalian. Kalian tahu kan itu keponakanku?" Arktik berkata pada anak buahnya.

Biru menyeringai getir menatap pamannya. Juga anak buahnya yang mulai menurunkan senjata mereka.

"Aku tahu kamu tidak mungkin menembakku, Blue," ujar Arktik.

"Mungkin aja kalau paman tetep ngelakuin pemanenan orang-orang kebal." Biru berucap dingin, masih menodongkan senjata ke arah Arktik.

"Oh ya? Meskipun dia yang jadi taruhan?" Arktik berujar kembali, membuat Biru mengernyitkan dahi tidak mengerti.

Beberapa detik kemudian, suara seseorang yang sangat Biru kenal masuk ke pendengarannya.

"Lepasin!"

Biru bisa melihat Arisa diseret paksa oleh dua pasukan di kanan kirinya. Melihat dirinya, gadis itu langsung menatap melas, seolah berkata, 'maaf, Blue, aku ketangkep.'

Biru menghembuskan napas berat, benar-benar menyesal membiarkan Arisa pergi sendiri. Ia yakin, Arival di pusat pengawasan CCTV sana pasti sedang sibuk menyusun rencana menghajarnya setelah ini.