Chereads / An Empty World (END) / Chapter 35 - 35-Fake Memory

Chapter 35 - 35-Fake Memory

"Aku masih 3 tahun waktu perang dunia ketiga meletus dua puluh tahun yang lalu. Semua yang kuceritain tadi dari cerita mama. Mama Papa mati-matian berlindung dari serangan manusia yang keinfeksi waktu itu. Aku nggak tahu apa-apa, nggak inget. Tapi aku bisa bayangin gimana kacau balaunya dunia waktu itu. Apalagi waktu virus mulai nyebar."

Arina hanya diam menyimak. Dia tidak bisa berkata. Membingungkan. Penjelasan Biru tentang keadaan awal dunia sungguh mengejutkannya. Mengapa dia tidak ingat apa-apa tentang hal itu? Dan perang dunia tahun 2042? Dua puluh tahun yang lalu? Berarti sekarang ini tahun 2062? Astaga! Yang benar saja? Bukannya ini masih tahun 2028?

"Aku tahu kamu bingung, Arisa. Pasti seinget kamu ini masih di tahun 2028. Pasti rasanya kayak tinggal selama ini tinggal di dunia lain karena kamu nggak inget peristiwa-peristiwa yang kuceritain. Tapi, oke, aku jelasin. Kayak yang aku bilang tadi, 18 tahun setelah infected apocalypse, atau dua tahun yang lalu, tahun 2060, ilmuwan wanita dari Indonesia berhasil nemuin penawar virus. Penawar itu diambil dari tubuh manusia yang kebal dan cuma bisa diambil setelah manusia itu ngerasain adrenalin yang kuat. Aku nggak paham gimana cara kerjanya, tapi setelah itu, si ilmuwan langsung cari cara buat memacu adrenalin itu. Seperti yang kita tahu, hormon adrenalin bisa keluar kalau kita ada di situasi yang menantang, mencekam, atau semisalnya. Ilmuwan itu bisa aja memacu adrenalin dengan nempatin manusia kebal di tengah ribuan infected. Tapi itu beresiko. Kemungkinan selamat kecil—karena mereka cuman kebal penyebaran lewat udara aja. Kalau digigit, mereka tetep aja bisa keinfeksi. Maka dari itu, alternatif lain dicari. Permainan otak dan pikiran."

"Jadi selama 7 hari, dalam posisi tidur, otak diberi tantangan lewat sebuah alat. Persis kayak mimpi, tapi dibuat-buat alurnya dan kita bisa ngelakuin apa yang kita mau. Rasanya nyata, tapi ternyata itu cuma mimpi. Dan itu ngeharusin manusia kebal buat ganti ingatannya sementara. Kita nggak mungkin ngerasa takut dan tertantang kan kalau tahu itu cuma permainan pikiran dan nggak nyata? Maka dari itu ingatan dimodifikasi sebaik dan se-real mungkin supaya manusia yang bakal diambil penawarnya lupa dan ngerasa itu nyata, bukan permainan, terus memacu adrenalinnya."

Arina menahan napas, terperangah, menduga sesuatu, "Jangan bilang, itu juga yang aku alami, Blue?"

Biru menghela napas, "Iya, Arisa. Kamu kebal. Dan semua ingatan yang ada di otak kamu itu ingatan ibumu di usia tujuh belas dengan sedikit modifikasi tambahan tentang Arival si psikopat. Kamu Arisa Rahmawati dan ibumu Arina Rahmawati. Sebenernya, kejadian pembunuhan bibi paman Arival itu nggak ada. Arival emang beneran ada—kamu bisa lihat dia tadi di gerbang tadi, tapi yang dia lakuin kayak yang ada di ingatanmu itu nggak nyata. Cuma buatan. Caranya? Jangan tanya aku. Itu tekhnologi."

Arina terdiam. Mencerna kalimat Biru dengan susah payah. Jadi, selama ini otaknya berisi ingatan ibunya, ingatan palsu? Itu berarti, seluruh memori tentang ayah, ibu, kakak, adik, rumahnya di Jogja dan seluruh teman-temannya adalah milik ibunya. Astaga! Arina mendesah lelah, bagaimana bisa? Siapa dirinya sebenarnya?

"Tahun 2028, perang dunia ketiga belum pecah. Indonesia masih aman, walaupun perang saudara pecah di beberapa tempat. Bukannya di ingatanmu—maksudnya ingatan ibumu kayak gitu, Arisa?"

Arina—yang sebenarnya bernama Arisa mengangguk. Ia ingat hal itu. Ia tahu. Bahkan otaknya segera memutar cuplikan beberapa berita di televisi yang menampilkan betapa kacaunya Indonesia karena hal itu. Arina atau Arisa mendesis tak percaya, bagaimana bisa?

"Blue, bukannya seharusnya memori wajahku di ingatanku sekarang muka ibuku? Tapi kenapa malah wajahku?" Arisa bertanya tak paham.

"Itu juga modifikasi ingatan, Arisa. Yang perlu ditambah dan yang nggak perlu dibuang. Kayak data, ingatan itu dicopy dari memori ibumu, diedit, terus di-paste di otakmu, sedangkan ingatan aslimu di-copy dan di-save di sebuah tempat lalu dihapus dari otakmu dan diganti ingatan ibumu. Sesederhana itu."

Arisa menghela napas. Dia mulai paham beberapa bagian. Yang tak ia pahami, bagaimana hal itu bisa terjadi? Ia yakin, yang melakukannya pastilah orang yang sangat jenius.

"Terus, siapa Arival sebenernya? Foto-foto berenam disini maksudnya apa?"

"Kita bahas itu nanti, Arisa. Harus runtut jelasinnya. Balik ke topik ilmuwan tadi."

Arisa menghela napas untuk kesekian kalinya, mengiyakan.

"Setelah dapet alternatif, ilmuwan itu ngelakuin percobaan untuk pertama kalinya. Ilmuwan itu punya sahabat. Sahabatnya kebal dan nawarin diri jadi bahan percobaan—walaupun ilmuwan itu juga kebal, tapi tetep aja, dia nggak bisa jadi bahan percobaan karena cuman dia yang tahu caranya. Jadi, setelah proses 7 hari ada di permainan pikiran, tubuh sahabat ilmuwan itu beneran ngeluarin cairan penawar—antibodi. Penawar itu majur. Setelah penawar itu disuntik ke infected, secara pelan-pelan tubuh infected itu berubah. Beberapa hari kemudian, infected itu jadi manusia seutuhnya lagi. Kamu tahu, penduduk benteng langsung heboh, pastinya seneng banget. Setelah 18 tahun lamanya tinggal di benteng, akhirnya mereka punya solusi untuk ngerubah dunia kayak semula. Tapi harga yang dibayar mahal, Arisa. Sahabat ilmuwan itu mati. Percobaan itu emang berhasil nyembuhin infected, tapi gagal karena sahabat ilmuwan itu mati karena percobaan. Satu manusia hidup, satu yang lain mati. Sama aja hasilnya."

Arisa terdiam. Tidak menyangka akan begitu akhirnya. Juga membayangkan betapa sedihnya ilmuwan itu saat sahabatnya meninggal.

Ruangan lengang sejenak. Arisa menoleh ke arah jendela di sampingnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajah, pening sedikit.